Pasar Sudah Nyata, Penenun Malah Langka
Potret Usaha Pertenunan Kain Tradisional Bali
Anak muda sekarang menganggap kerja menenun itu kuno. Mereka lebih suka kerja yang ada berhiasnya, seperti di konter HP.
SEMARAPURA, NusaBali
Pasar kain tenun tradisional Bali, terutama jenis endek, makin terbuka lebar. Masyarakat makin merasa wellgroomed (berterima baik, penuh sopan) dengan busana endek. Busana endek pula makin lumrah dipakai mulai dari hajatan resmi/formal perkantoran, seragam untuk upacara adat dan agama, hingga casual atau mode busana santai dan sederhana. Intinya, pasar tak lagi jadi kendala usaha kerajinan ini.
Meski demikian, para pengusaha atau perajin tenun mesti berkomitmen kuat dan konsisten untuk menghadapi segala hambatan dan tantangan produksi. Karena seiring lonjakan pasar, pengusaha tenun malah didera kendala berat yakni kelangkaan penenun kain.
Pemilik Pertenunan Astiti di Banjar Jerokapal, Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung, Nyoman Sudira, mengakui tantangan terberat usaha tenun tradisional Bali kini ada pada SDM. Pengelola pertenunan kain tradisional Bali sejak tahun 1978 ini membeberkan kelangkaan penenun terasa sejak tahun 2000an, dan makin berat mulai tahun 2006. Hingga kini, secara umum, Bali benar-benar mengalami krisis penenun. Krisis itu terasa karena sejak tahun 2006, usaha tenun makin bangkit, seiring peningkatan permintaan kain tenun tradisional Bali. Di lain sisi, jumlah penenun stagnan, bahkan cenderung berkurang karena penenun sudah tua-tua. Kalangan muda Bali amat sulit untuk terjun ke pertenunan, apalagi mau jadi penenun kain. ‘’Anak muda sekarang menganggap kerja menenun itu kuno. Mereka lebih suka kerja yang ada berhiasnya, seperti di konter HP,’’ jelas Magister SDM 2002 ini.
Nyoman Sudira mengakui, masyarakat menganggap pekerjaan menenun kain tradisional Bali, kalah pamor jika dibandingkan pekerjaan lain yang lebih modern. Seperti bidang hospitality atau pariwisata, dan sektor kerja lain.
Padahal, menurut pengusaha tenun kain tradisional Bali kelahiran 31 Mei 1952 ini, beberapa tahun sebelum 1980an, usaha tenun di Gelgel dan Klungkung umumnya, belum pernah mengalami hambatan seperti sekarang.
Padahal jika masyarakat Bali, terutama kaum perempuan mau menjadi penenun kain, tentu tidak sulit. Sebagaimana dilakukan di Pertenunan Astiti, calon penenun bisa menenun kain dengan baik, setelah berlatih sekitar beberapa hari. Karena penenun kain tidak mengambil pekerjaan dengan tahapan panjang dan berat, yakni proses pembuatan pakan tenun. Pakan tenun adalah motif tenun yang dibuat dengan sejumlah tahapan berupa pemilihan dan penggarapan desain, mengkomposisi dan memilih benang, pewarnaan, hingga siap ditenun oleh penenun.
Dari banyaknya tahapan pembuatan kain tenun tradisional Bali, karena teknologi sudah canggih, maka penggarapan desain bisa dengan digitalisasi melalui pemaduan gambar-gambar yang dihasilkan melalui komputerisasi. Sistem pengerjaan desain ini menjadikan tenun tradisional Bali sebagai produk hybrid atau paduan antara teknologi Bali zaman dulu dengan kekinian atau modern. Namun proses menenun kainnya tetap secara manual, pakai ATBM (alat tenun bukan mesin) dan mecin cagcag. Proses penenunan yang manual ini menjadikan tenun tradisional Bali berstatus industri rumah tangga atau bukan pabrik skala besar, seperti tenun modern. ‘’Tapi, konsumen, apalagi orang asing, lebih menyukai kain hasil proses tenun tradisional Bali, bukan tenun pabrikan,’’ jelasnya.
Dari segenap persoalan bidang pertenunan tradisonal Bali, Nyoman Sudira menawarkan gagasan untuk mengkompetensikan perajin pertenunan, termasuk penenun. Menurutnya, standar berkompeten melalui uji kompetensi amat penting di era pasar global. Karena beragam profesi lain sudah ‘terikat’ dengan standar kompetensi masing-masing. ‘’Muaranya, kompetensi pekerja ini pula akan menentukan standarisasi sebuah usaha hingga kualitas produknya. Dengan ketentuan itu, konsumen tak akan ragu karena ada kepastian tentang keaslian kain hasil pertenunan tradisional Bali,’’ jelas ayah dua putra dan dua putri ini.
Tak kalah penting, dengan kompetensi, penenun juga punya jaminan kerja. Terkait dengan pengembangan usaha pertenunan tradisional Bali, suami Ni Wayan Astiti ini sejak hampir dua tahun lalu merintis pembentukan koperasi beranggotakan pengusaha tenun tradisional Bali. Koperasi ini juga beranggotakan pihak-pihak yang peduli dengan pelestarian kain tenun tradisional Bali. Koperasinya diberi nama, Koperasi Produsen Cipta Wastra Sundara Provinsi Bali. Koperasi didirikan pada Juni 2021, dan tahun 2022 sudah melaksanakan RAT (Rapat Anggota Tahunan). Di koperasi ini, Nyoman Sudira menjadi sekretaris.
Dia menyebutkan, melalui koperasi tersebut akan dijajaki kerja sama bidang peningkatan SDM melalui pelatihan pertenunan. Pelatihan ini sangat baik menyasar ibu-ibu rumah tangga yang punya waktu lebih luang di rumah. Sangat baik juga menyasar para penghuni Rutan (Rumah Tahanan) atau Lembaga Pemasyarakatan. Karena mereka, terutama yang tahunan menghuni, akan bosan jika tidak diberikan aktivitas. Jika mereka konsisten menekuni, maka para warga binaan ini tak hanya punya bekal keterampilan, namun juga produktif selama dalam pembinaan itu.*ls
Meski demikian, para pengusaha atau perajin tenun mesti berkomitmen kuat dan konsisten untuk menghadapi segala hambatan dan tantangan produksi. Karena seiring lonjakan pasar, pengusaha tenun malah didera kendala berat yakni kelangkaan penenun kain.
Pemilik Pertenunan Astiti di Banjar Jerokapal, Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung, Nyoman Sudira, mengakui tantangan terberat usaha tenun tradisional Bali kini ada pada SDM. Pengelola pertenunan kain tradisional Bali sejak tahun 1978 ini membeberkan kelangkaan penenun terasa sejak tahun 2000an, dan makin berat mulai tahun 2006. Hingga kini, secara umum, Bali benar-benar mengalami krisis penenun. Krisis itu terasa karena sejak tahun 2006, usaha tenun makin bangkit, seiring peningkatan permintaan kain tenun tradisional Bali. Di lain sisi, jumlah penenun stagnan, bahkan cenderung berkurang karena penenun sudah tua-tua. Kalangan muda Bali amat sulit untuk terjun ke pertenunan, apalagi mau jadi penenun kain. ‘’Anak muda sekarang menganggap kerja menenun itu kuno. Mereka lebih suka kerja yang ada berhiasnya, seperti di konter HP,’’ jelas Magister SDM 2002 ini.
Nyoman Sudira mengakui, masyarakat menganggap pekerjaan menenun kain tradisional Bali, kalah pamor jika dibandingkan pekerjaan lain yang lebih modern. Seperti bidang hospitality atau pariwisata, dan sektor kerja lain.
Padahal, menurut pengusaha tenun kain tradisional Bali kelahiran 31 Mei 1952 ini, beberapa tahun sebelum 1980an, usaha tenun di Gelgel dan Klungkung umumnya, belum pernah mengalami hambatan seperti sekarang.
Padahal jika masyarakat Bali, terutama kaum perempuan mau menjadi penenun kain, tentu tidak sulit. Sebagaimana dilakukan di Pertenunan Astiti, calon penenun bisa menenun kain dengan baik, setelah berlatih sekitar beberapa hari. Karena penenun kain tidak mengambil pekerjaan dengan tahapan panjang dan berat, yakni proses pembuatan pakan tenun. Pakan tenun adalah motif tenun yang dibuat dengan sejumlah tahapan berupa pemilihan dan penggarapan desain, mengkomposisi dan memilih benang, pewarnaan, hingga siap ditenun oleh penenun.
Dari banyaknya tahapan pembuatan kain tenun tradisional Bali, karena teknologi sudah canggih, maka penggarapan desain bisa dengan digitalisasi melalui pemaduan gambar-gambar yang dihasilkan melalui komputerisasi. Sistem pengerjaan desain ini menjadikan tenun tradisional Bali sebagai produk hybrid atau paduan antara teknologi Bali zaman dulu dengan kekinian atau modern. Namun proses menenun kainnya tetap secara manual, pakai ATBM (alat tenun bukan mesin) dan mecin cagcag. Proses penenunan yang manual ini menjadikan tenun tradisional Bali berstatus industri rumah tangga atau bukan pabrik skala besar, seperti tenun modern. ‘’Tapi, konsumen, apalagi orang asing, lebih menyukai kain hasil proses tenun tradisional Bali, bukan tenun pabrikan,’’ jelasnya.
Dari segenap persoalan bidang pertenunan tradisonal Bali, Nyoman Sudira menawarkan gagasan untuk mengkompetensikan perajin pertenunan, termasuk penenun. Menurutnya, standar berkompeten melalui uji kompetensi amat penting di era pasar global. Karena beragam profesi lain sudah ‘terikat’ dengan standar kompetensi masing-masing. ‘’Muaranya, kompetensi pekerja ini pula akan menentukan standarisasi sebuah usaha hingga kualitas produknya. Dengan ketentuan itu, konsumen tak akan ragu karena ada kepastian tentang keaslian kain hasil pertenunan tradisional Bali,’’ jelas ayah dua putra dan dua putri ini.
Tak kalah penting, dengan kompetensi, penenun juga punya jaminan kerja. Terkait dengan pengembangan usaha pertenunan tradisional Bali, suami Ni Wayan Astiti ini sejak hampir dua tahun lalu merintis pembentukan koperasi beranggotakan pengusaha tenun tradisional Bali. Koperasi ini juga beranggotakan pihak-pihak yang peduli dengan pelestarian kain tenun tradisional Bali. Koperasinya diberi nama, Koperasi Produsen Cipta Wastra Sundara Provinsi Bali. Koperasi didirikan pada Juni 2021, dan tahun 2022 sudah melaksanakan RAT (Rapat Anggota Tahunan). Di koperasi ini, Nyoman Sudira menjadi sekretaris.
Dia menyebutkan, melalui koperasi tersebut akan dijajaki kerja sama bidang peningkatan SDM melalui pelatihan pertenunan. Pelatihan ini sangat baik menyasar ibu-ibu rumah tangga yang punya waktu lebih luang di rumah. Sangat baik juga menyasar para penghuni Rutan (Rumah Tahanan) atau Lembaga Pemasyarakatan. Karena mereka, terutama yang tahunan menghuni, akan bosan jika tidak diberikan aktivitas. Jika mereka konsisten menekuni, maka para warga binaan ini tak hanya punya bekal keterampilan, namun juga produktif selama dalam pembinaan itu.*ls
Komentar