Kritikus Sastra Arif Bagus Prasetyo Raih Penghargaan Sastra Kemdikbudristek 2022
DENPASAR, NusaBali
Kritikus sastra berbasis di Bali Arif Bagus Prasetyo mendapatkan Penghargaan Sastra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud) Tahun 2022.
Arif yang juga dikenal sebagai penerjemah buku berbahasa asing meraih penghargaan pada kategori Kumpulan Esai Sastra, seperti diumumkan Kemdikbudristek, pada Jumat (28/10), bertepatan Hari Sumpah Pemuda ke-94.
"Tentu saya senang," ucap Arif mengenai perasaannya, ketika dikonfirmasi NusaBali, Kamis (3/10). Penghargaan yang diraihnya berkat buku kritik sastra yang ditulisnya berjudul 'Saksi Kata'. Arif mengungkapkan, dinominasikannya ia dalam Penghargaan Sastra Kemdikbudristek Tahun 2022, tidak terlepas dari pengajuan yang dilakukan beberapa pihak. Setidaknya ada tiga pihak yang mengajukan Arif, yakni Balai Bahasa Provinsi Bali, Penerbit DIVA Press, dan Komunitas Sastra Bengkel Muda Surabaya.
Arif mengungkapkan, ia dan 'Saksi Kata' ternyata bukan kali pertama diajukan pada ajang Penghargaan Sastra Kemdikbudristek. Pada tahun lalu Arif dan Saksi Kata juga sempat diajukan pada ajang Penghargaan Sastra Kemdikbudristek 2021, namun hanya sampai tahap nominasi (lima besar). "Karena buku yang berhak diajukan kan terbit dalam tiga tahun terakhir," jelas Arif.
Arif mengatakan, buku setebal 352 halaman tersebut terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menyajikan kritik prosa dan puisi sejumlah penyair dan prosais besar Indonesia, seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, Nukila Amal, dan lain-lain.
Bagian kedua mengajukan, beberapa juga menjawab, problem-problem serius dalam kritik sastra kita. Ia mencoba menghadirkan argumen teoretis kritik sastranya HB Jassin, metakritik atas kritik sastranya Subagio Sastrowardoyo, dan juga membongkar kembali beberapa 'pakem' dalam wacana sastra kontemporer.
Sementara bagian ketiga mengungkap hal-hal yang menjadi masalah pelik dalam penerjemahan karya sastra. Ia, misalnya, membandingkan dua terjemahan Indonesia novel terkenal 'The Old Man and the Sea' dengan teks asli dari sang penulis Ernest Hemingway, terjemahan Kakawin Sumanasantaka dan Dharma Patanjala, dan lain-lain.
"Sebagian besar tulisan dalam Saksi Kata berasal dari makalah untuk berbagai acara sastra. Saya sampaikan terima kasih kepada pihak penyelenggara acara yang telah mengundang saya bicara, dan dengan itu memberi saya alasan untuk menulis. Tanpa mereka, esai-esai panjang di buku ini tidak akan pernah ada," terang Arif.
Arif selama ini memang kerap diundang bicara sastra oleh berbagai lembaga, dalam beragam acara, di pelbagai kota. Setiap kali diundang menjadi pembicara dalam diskusi sastra, ia mengaku berusaha menulis makalah yang cukup mendalam.
"Bagi saya, undangan menjadi pembicara bukan saja kesempatan untuk berbicara, melainkan terutama alasan untuk menggali pemikiran dan menulis secara leluasa, tanpa dibatasi ruang," ujar suami penulis Oka Rusmini ini.
Selain makalah diskusi, Arif yang juga pernah menerima Anugerah Widya Pataka dari Pemerintah Provinsi Bali, menuturkan dirinya kemudian juga kerap menulis esai sastra di berbagai media massa, kebanyakan berdasarkan pesanan. "Tak jarang pula, saya memberi pengantar (atau penutup) untuk buku sastra. Walhasil, kadang-kadang saya dipandang sebagai 'kritikus sastra' oleh kalangan sastra," ungkap pria kelahiran Surabaya.
Arif menyebut, sejumlah tulisan tentang penerjemahan sastra dalam buku Saksi Kata merupakan tulisan yang dibuatnya relatif baru. Teks-teks itu dihasilkan ketika dirinya belakangan menekuni masalah penerjemahan secara formal. Ia menuturkan setelah satu dekade lebih berpraktik sebagai penerjemah dan menghasilkan puluhan buku terjemahan, beberapa tahun yang lalu Arif 'mencari alasan' untuk memikirkan penerjemahan secara lebih terfokus dan terstruktur.
"Saya ingin mendekati hakikat penerjemahan, meraba makna dari apa yang selama ini hanya saya praktikkan, hampir tanpa saya renungkan," ungkap alumni Program Magister Ilmu Linguistik Universitas Udayana ini.
Untuk diketahui, Arif Bagus Prasetyo, 51, sudah dikenal secara luas sebagai salah seorang kritikus sastra Indonesia terkuat saat ini. Bahkan, ia dikenal pula sebagai penyair dengan sajak-sajaknya yang berisi dan penerjemah kompeten yang telah menerbitkan puluhan terjemahan.
Sebelum membuat 'Saksi Kata' sebelumnya ia juga telah menghasilkan buku kritik sastra 'Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih' (2005). Tulisan-tulisannya dikenal bernas, mendalam, dan ide-idenya acapkali 'mengagetkan'. Ia banyak mengambil sudut pandang yang berbeda, bahkan kadang terlupa oleh kita, dan diolahnya menjadi sajian pemikiran yang segar dan menggugah. *cr78
1
Komentar