Geopolitik Soekarno dari RI untuk Dunia
Kepemimpinan Indonesia yang dimaksud Soekarno dalam konsep geopolitik, meliputi seluruh aspek kehidupan. Khususnya melalui penguasaan lingkup pengetahuan dan teknologi, serta politik diplomasi luar negeri.
JAKARTA, NusaBali
Sekjen DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan, geopolitik Soekarno mengacu tentang bagaimana refleksi kepemimpinan Indonesia bagi dunia di masa depan. Doktor Ilmu Pertahanan Universitas Pertahanan (Unhan) itu menyampaikannya saat diskusi ilmiah bertajuk ‘Pemikiran Geopolitik Bung Karno dalam Suara Kebangsaan’, di Ballroom Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (4/11), yang digelar oleh Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam).
Hadir Menko Polhukam Mahfud MD bersama jajarannya. Selain itu turut hadir pula, Badiklatpus DPP PDIP Daryatmo Mardiyanto, Philip Vermonte dari CSIS, Rektor Unhan Laksdya Amarulla Octavian. Serta Sekjen PKB Hasanuddin Wahid dan Sekjen PPP Arwani Thomafi.
“Ilmu geopolitik Soekarno pada dasarnya suatu ilmu kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Melalui apa, melalui cara-cara dan upaya untuk memperjuangkan nasional interest kita, khususnya melalui foreign policy dan defence policy,” kata Hasto dalam keterangan tertulisnya.
Hasto menegaskan, kepemimpinan Indonesia yang dimaksud Soekarno dalam konsep geopolitiknya, adalah meliputi seluruh aspek kehidupan dengan berbagai kemampuan. Khususnya melalui penguasaan lingkup pengetahuan dan teknologi, serta politik diplomasi luar negeri.
Pemikiran Geopolitik Soekarno bercorak kritis sebagai progressive geopolitical coexistence berdasarkan body of knowledge dan 7 variabel geopolitik Soekarno. Adapun ketujuh variabel itu adalah demografi, teritorial, sumber daya alam, militer, politik, ko-eksistensi damai, serta sains dan teknologi.
Karena itu, semua pihak harus menyatukan tekad untuk bisa mewujudkannya dalam kondisi aktual pada dewasa ini. “Kita bisa menyatukan tekad kita, mengambil spirit kepemimpinan Indonesia bagi dunia, dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam upaya itu, yang menjadi ancaman dari luar, bukan saudara sebangsa sendiri,” pesan Hasto.
Menurut Hasto, perwujudan geopolitik Bung Karno ini masih relevan dengan situasi saat ini. Dia mencontohkan bagaimana dahulu Indonesia bisa menghasilkan Deklarasi Djuanda, sebuah hukum internasional yang diawali dengan Konferensi Asia Afrika 1955. Dengan Deklarasi Djuanda, Indonesia mampu memperluas wilayah tanpa perang, atau hanya menggunakan diplomasi, sebesar 2,5 kali lipat.
“Wilayah kita naik dua setengah kali lipat tanpa melalui perang. Modelnya apa? Kepemimpinan Indonesia bagi dunia,” kata Hasto.
Hasto menambahkan, teorinya menemukan bahwa Pancasila adalah ideologi politik dunia. Misalnya bagaimana lewat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, mengawali gerakan yang memerdekakan negara-negara seperti Aljazair, Maroko, dan Pakistan.
“Belajar sejarah ini kita belajar api semangat para pendiri bangsa, sehingga kita di masa kini bisa berdiri kokoh mencari penyelesaian atas masalah yang kita hadapi di masa kini dan merangkai masa depan. Jangan kita cenderung berantem antaranak bangsa. Padahal, yang kita hadapi adalah bangsa-bangsa asing yang akan terus berusaha kembali menjajah kita,” tegas Hasto. *k22
Hadir Menko Polhukam Mahfud MD bersama jajarannya. Selain itu turut hadir pula, Badiklatpus DPP PDIP Daryatmo Mardiyanto, Philip Vermonte dari CSIS, Rektor Unhan Laksdya Amarulla Octavian. Serta Sekjen PKB Hasanuddin Wahid dan Sekjen PPP Arwani Thomafi.
“Ilmu geopolitik Soekarno pada dasarnya suatu ilmu kepemimpinan Indonesia bagi dunia. Melalui apa, melalui cara-cara dan upaya untuk memperjuangkan nasional interest kita, khususnya melalui foreign policy dan defence policy,” kata Hasto dalam keterangan tertulisnya.
Hasto menegaskan, kepemimpinan Indonesia yang dimaksud Soekarno dalam konsep geopolitiknya, adalah meliputi seluruh aspek kehidupan dengan berbagai kemampuan. Khususnya melalui penguasaan lingkup pengetahuan dan teknologi, serta politik diplomasi luar negeri.
Pemikiran Geopolitik Soekarno bercorak kritis sebagai progressive geopolitical coexistence berdasarkan body of knowledge dan 7 variabel geopolitik Soekarno. Adapun ketujuh variabel itu adalah demografi, teritorial, sumber daya alam, militer, politik, ko-eksistensi damai, serta sains dan teknologi.
Karena itu, semua pihak harus menyatukan tekad untuk bisa mewujudkannya dalam kondisi aktual pada dewasa ini. “Kita bisa menyatukan tekad kita, mengambil spirit kepemimpinan Indonesia bagi dunia, dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam upaya itu, yang menjadi ancaman dari luar, bukan saudara sebangsa sendiri,” pesan Hasto.
Menurut Hasto, perwujudan geopolitik Bung Karno ini masih relevan dengan situasi saat ini. Dia mencontohkan bagaimana dahulu Indonesia bisa menghasilkan Deklarasi Djuanda, sebuah hukum internasional yang diawali dengan Konferensi Asia Afrika 1955. Dengan Deklarasi Djuanda, Indonesia mampu memperluas wilayah tanpa perang, atau hanya menggunakan diplomasi, sebesar 2,5 kali lipat.
“Wilayah kita naik dua setengah kali lipat tanpa melalui perang. Modelnya apa? Kepemimpinan Indonesia bagi dunia,” kata Hasto.
Hasto menambahkan, teorinya menemukan bahwa Pancasila adalah ideologi politik dunia. Misalnya bagaimana lewat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, mengawali gerakan yang memerdekakan negara-negara seperti Aljazair, Maroko, dan Pakistan.
“Belajar sejarah ini kita belajar api semangat para pendiri bangsa, sehingga kita di masa kini bisa berdiri kokoh mencari penyelesaian atas masalah yang kita hadapi di masa kini dan merangkai masa depan. Jangan kita cenderung berantem antaranak bangsa. Padahal, yang kita hadapi adalah bangsa-bangsa asing yang akan terus berusaha kembali menjajah kita,” tegas Hasto. *k22
Komentar