'No Work No Pay' Menyalahi Hak Pekerja
JAKARTA, NusaBali
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan usulan pengusaha soal kebijakan no work no pay harus didiskusikan terlebih dahulu dengan serikat pekerja.
Namun Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjutak menuturkan usulan aturan tentang no work no pay akan menyalahi hak-hak pekerja. "Ya itu bicarakan dengan teman-teman serikat pekerja. Pokoknya kalau serikat atau perwakilan pekerja di perusahaan itu setuju, kita setuju. Kuncinya tuh di situ," tegas Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja Dita Indah Sari di Gedung Kemnaker RI, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (10/11).
Dita menjelaskan jika ingin ada aturan no work no pay, maka perlu ada perjanjian bersama antara perusahaan dan pekerja. Kedua pihak harus membuat kontrak kerja baru. Kendati, ia belum memastikan apakah aturan tersebut bakal didukung dengan adanya permenaker.
"Enggak, sejauh ini belum. Pada prinsipnya, pertama waktunya harus terbatas. Jadi, no work no pay ini jangan sampai 2024 dong, harus jelas kapan. Misalnya, bikin kesepakatan dengan buruh, ya sudah no work no pay, buruhnya setuju misal 6 bulan kah atau 8 bulan," jelasnya.
Kedua, Dita menjelaskan aturan ini tidak bisa berlaku di semua sektor. Ia menjelaskan masih ada beberapa sektor yang tumbuh positif, seperti kelapa sawit hingga tambang.
"No work no pay itu (untuk) yang ordernya kurang-kurang itu lah, garmen, tekstil itu wajar. Nanti tambang, nikel, timah, ikut-ikutan. Makanya itu jangan, buruhnya juga harus kritis dong. Jangan disamakan sawit sama sepatu," tegasnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi menambahkan usulan aturan no work no pay dari pengusaha masih dalam tahap pembicaraan. Kemnaker masih perlu mendengar suara dari buruh.
"Kita sendiri kan juga baru menerima, artinya kita akan mempelajari usulan itu, tentunya kita akan mempertimbangkan banyak aspek. Tadi saya katakan, ini kan usulan satu sisi, kita kan juga harus mempertimbangkan sisi yang lain. Pokoknya gini, apapun kebijakan itu prinsipnya kita mencari solusi terbaik dari segala pilihan yang ada," jelasnya.
Menaker Ida Fauziyah sejatinya hadir langsung dalam penandatanganan kerja sama pelatihan vokasi bersama Kementerian Federal Tenaga Kerja dan Ekonomi Republik Austria, Kamis (10/11). Namun, ia menolak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan wartawan seputar buruh.
Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjutak menuturkan usulan aturan tentang no work no pay akan menyalahi hak-hak pekerja. Menurutnya, lebih baik industri melakukan PHK dari pada merumahkan pekerja dengan tanpa upah.
"Kalau memang tidak ada pekerjaan, lebih baik di-PHK. Jadi jelas status dan hak-haknya. Pemerintah juga jelas melakukan kebijakan untuk menyalurkannya. Pekerja juga boleh berupaya keras untuk mencari pekerjaan baru," kata Payaman.
"Pekerja boleh dirumahkan sementara sambil menunggu proses lebih lanjut tetaplah menerima upah untuk kelangsungan hidupnya dan keluarganya," imbuhnya.
Senada, Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan selama ini pengusaha sudah menjadi anak emas pemerintah di mana setiap aturan tentang ketenagakerjaan lebih banyak berpihak ke dunia usaha. Tak hanya itu, pengusaha juga sudah diguyur pelbagai stimulus oleh pemerintah dengan jumlah yang cukup besar. Baik stimulus pajak maupun non pajak.
Jika pemerintah mengabulkan permintaan pengusaha dengan menerbitkan aturan no work no pay, hal itu sama saja dengan memberikan ketidakpastian pendapatan pekerja.
"Jadi apa beda nya perusahaan yang menerima stimulus dan tidak? Pada saat pandemi juga berbagai regulasi berpihak kepada pengusaha, misalnya pengesahan UU Cipta Kerja yang di dalamnya justru memuat penurunan standar perlindungan dan perubahan aturan pengupahan yang pro pengusaha," kata Bhima.
"Kalau pemerintah di tengah pertumbuhan ekonomi 5,7 persen, kemudian meloloskan aturan no work no pay maka buruh tidak punya pelindung sama sekali," imbuhnya. *
1
Komentar