Seni Menggubah Wayang Kulit Berbau Mistis Pecalonarangan
MANGUPURA, NusaBali.com – Wayang kulit di Bali terdapat beberapa jenis. Salah satu yang mencuri perhatian adalah wayang kulit pecalonarangan. Pertunjukan wayang jenis ini dipentaskan di malam hari dengan unsur pangerehan dan pangundangan.
Selain memiliki unsur mistis dalam pementasannya, pembuatan wayang kulit pecalonarangan juga sedikit berbeda dari wayang kulit biasa. Masih terbilang sama karena ada tokoh panasar dan tokoh epos namun komposisi tokoh utama, jumlah keropak (set), dan hari baik pembuatan, bersifat khusus.
Menurut seorang perajin wayang kulit asal Banjar Semana, Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, Made Prapta, 65, wayang kulit pecalonarangan memiliki kekhasan dalam komposisi tokoh.
“Wayang kulit pacalonarangan itu, jumlah tokohnya tidak sebanyak wayang kulit biasa yang berdasarkan epos. Tokohnya didominasi tokoh dhurga, sisya, raksasa, dan antek-antek lain Bhatari Dhurga,” ungkap Prapta, dijumpai di stand pameran UMKM serangkaian HUT Ke-13 Mangupura di Lapangan Puspem Badung, Jumat (11/11/2022) siang.
Pria yang mewarisi seni kerajinan wayang kulit dari kumpi-nya (buyut) ini menjelaskan bahwa satu keropak wayang kulit pecalonarangan hanya terdiri dari 75 wayang. Jauh lebih sedikit dari wayang berbasis cerita epos seperti Ramayana dan Mahabharata yang berjumlah paling sedikit 118 wayang.
Sebelum memulai membuat wayang kulit pecalonarangan, Prapta terlebih dahulu mencari hari baik untuk membuat tokoh utamanya yakni tokoh kedhurgaan. Untuk tokoh pingit dan mistis ini, Prapta menyasar hari yang mengandung unsur Kala Geger. Kalau tidak, ia menyasar hari Kajeng Kliwon Pamelastali yang ada pada wuku Watugunung.
“Kala Geger biar hasilnya bisa membuat geger atau waktu Kajeng Kliwon Pamelastali, hari di mana Watugunung yang sakti mandraguna dan mengalahkan banyak raja dikalahkan,” terang perajin yang sudah menekuni seni pembuatan wayang kulit lebih dari 30 tahun ini.
Selain pemilihan hari baik, lanjut Prapta, pembuatan wayang pada saat Uncal Balung (rangkaian Galungan-Kuningan) harus dihindari karena tidak akan memberikan hasil yang baik dan segala pekerjaan akan gagal. Oleh karena itu, pastikan sudah melewati Buda Kliwon Pahang (Pegatuwakan), rangkaian terakhir Galungan-Kuningan.
“Kemudian saya selalu berdoa memohon kelancaran agar dalam pengerjaan tidak ada halangan dan hasilnya nanti ketika berada di tangan dalang juga bisa mataksu. Perantaranya adalah banten Santun Gede dan Pejati,” tutur Prapta.
Setelah hari baik ditentukan dan banten sudah dipersembahkan, pengerjaan tokoh utama atau tokoh pembawa kerusakan atau gering dalam pewayangan dibuat pertama. Tokoh ini tidak perlu harus dibuat dengan ulet hari itu juga. Pengerjaan pada hari baik ini dapat dimulai dengan goresan mempola gambar dan pukulan pertama untuk memahat bagian tenget (sakral) wayang kulit.
Bagian sakral tersebut secara umum adalah kepala wayang, namun bisa juga dimulai dari matanya. Bagian inilah yang diselesaikan pada hari baik tersebut agar hasilnya maksimal dalam arti sekala dan niskala. Untuk pengerjaan selanjutnya dapat dikerjakan sesuai kebutuhan.
“Sebenarnya tidak ada yang begitu spesial, karena untuk ‘menghidupkan’ wayang ini nanti adalah setelah berada di tangan dalang. Entah itu di-pasupati atau lain-lain. Tetapi langkah-langkah ini jadi pegangan saya untuk membuat karya yang baik,” tandas Prapta. *rat
Komentar