Wamenkumham: 'Kumham Goes to Campus' Ajang Sosialisasi RUU KUHP
DENPASAR, NusaBali
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy) menyatakan kegiatan 'Kumham Goes to Campus' sebagai ajang sosialisasi dan dialog publik tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
"Ini adalah hari terakhir Program 'Kumham Goes to Campus' yang bertujuan untuk memperkenalkan Kumham kepada masyarakat agar Kumham dekat dengan masyarakat, sekaligus kita gunakan kesempatan ini sebagai dialog publik RUU KUHP," katanya saat ditemui di kampus Universitas Udayana (Unud), Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Jumat (11/11).
Ia mengaku banyak mendapat masukan dari mahasiswa Universitas Udayana, termasuk memberikan masukan secara tertulis yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam rapat pembahasan di DPR RI.
Wamenkumham mengatakan ada tiga alasan mengapa RUU KUHP penting dan mendesak untuk segera diselesaikan karena draf RUU KUHP tersebut sudah dibahas dalam waktu sangat lama, KUHP yang ada sekarang sudah kedaluwarsa, dan terdapat perbedaan terjemahan-terjemahan dalam KUHP itu sendiri.
"Ini penting saya ungkapkan untuk menunjukkan bahwa RKUHP merupakan suatu perjalanan panjang. Kita tahu ketika itu disebut dalam era aliran hukum pidana yang klasik, maka hukum pidana memang diperuntukkan semata-mata sebagai sarana balas dendam atau sebagai 'lex salionis' (mata ganti mata)," kata dia.
Padahal, menurut Eddy, saat ini Indonesia telah mengalami perubahan paradigma hukum pidana sehingga RUU KUHP yang ada menjadi ujian untuk berubah. Alasan kedua yang diutarakan dia dalam forum diskusi yang diikuti civitas akademika Universitas Udayana dan mahasiswa dari berbagai kampus di Denpasar adalah perubahan pada KUHP yang dimiliki saat ini sudah "out of date" dalam pengertian tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
"Padahal kita berada pada era disrupsi, era 4.0 di mana tantangan dunia baru telah mengalami perubahan yang cukup signifikan sehingga paradigma hukum pidana berubah dari aliran klasik menjadi paradigma hukum pidana modern yang berlaku universal yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif," kata dia.
Menurut dia, alasan ketiga mengapa Indonesia mempunyai KUHP yang baru adalah terjemahan dan tafsir KUHP yang berbeda-beda antara para ahli termasuk oleh badan pembinaan hukum nasional.
Celakanya, kata Eddy, antara satu terjemahan dan terjemahan yang lain berbeda dan perbedaan itu sangat signifikan sehingga bagi hukum pidana yang mengutamakan kepastian dalam pengertian asas legalitas tersebut sangat memengaruhi kepastian hukum dan perbedaan terjemahan itu cukup fundamental.
"Dengan demikian diharapkan KUHP baru ini selain sudah berorientasi pada hukum pidana modern dan disesuaikan dengan perkembangan zaman," kata dia.
Dalam diskusi di Kampus Universitas Udayana, Eddy mengaku banyak mendapat masukan konstruktif dari kegiatan "Kumham Goes to Campus" yang selama ini dijalankan Kementerian Hukum dan HAM.
"Saya kira kita melakukan reformulasi terhadap beberapa pasal dan ada pasal yang dicabut berdasarkan masukan publik, seperti ada lima pasal yang sudah kita cabut, tetapi nanti akan ada pembahasan sekitar delapan sampai sembilan item pada tanggal 21 November 2022 nanti," kata dia.
Para pembicara lain yang dihadirkan dalam diskusi 'Kumham Goes to Campus' di Universitas Udayana adalah Prof. Marcus Priyo Gunarto (Guru Besar Hukum Pidana UGM), Ambeg Paramarta (Staf Ahli Menkumham RI Bidang Politik dan Keamanan), Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Albert Aries, dan Zainal Arifin Mochtar (Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada). *ant
Ia mengaku banyak mendapat masukan dari mahasiswa Universitas Udayana, termasuk memberikan masukan secara tertulis yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam rapat pembahasan di DPR RI.
Wamenkumham mengatakan ada tiga alasan mengapa RUU KUHP penting dan mendesak untuk segera diselesaikan karena draf RUU KUHP tersebut sudah dibahas dalam waktu sangat lama, KUHP yang ada sekarang sudah kedaluwarsa, dan terdapat perbedaan terjemahan-terjemahan dalam KUHP itu sendiri.
"Ini penting saya ungkapkan untuk menunjukkan bahwa RKUHP merupakan suatu perjalanan panjang. Kita tahu ketika itu disebut dalam era aliran hukum pidana yang klasik, maka hukum pidana memang diperuntukkan semata-mata sebagai sarana balas dendam atau sebagai 'lex salionis' (mata ganti mata)," kata dia.
Padahal, menurut Eddy, saat ini Indonesia telah mengalami perubahan paradigma hukum pidana sehingga RUU KUHP yang ada menjadi ujian untuk berubah. Alasan kedua yang diutarakan dia dalam forum diskusi yang diikuti civitas akademika Universitas Udayana dan mahasiswa dari berbagai kampus di Denpasar adalah perubahan pada KUHP yang dimiliki saat ini sudah "out of date" dalam pengertian tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.
"Padahal kita berada pada era disrupsi, era 4.0 di mana tantangan dunia baru telah mengalami perubahan yang cukup signifikan sehingga paradigma hukum pidana berubah dari aliran klasik menjadi paradigma hukum pidana modern yang berlaku universal yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif," kata dia.
Menurut dia, alasan ketiga mengapa Indonesia mempunyai KUHP yang baru adalah terjemahan dan tafsir KUHP yang berbeda-beda antara para ahli termasuk oleh badan pembinaan hukum nasional.
Celakanya, kata Eddy, antara satu terjemahan dan terjemahan yang lain berbeda dan perbedaan itu sangat signifikan sehingga bagi hukum pidana yang mengutamakan kepastian dalam pengertian asas legalitas tersebut sangat memengaruhi kepastian hukum dan perbedaan terjemahan itu cukup fundamental.
"Dengan demikian diharapkan KUHP baru ini selain sudah berorientasi pada hukum pidana modern dan disesuaikan dengan perkembangan zaman," kata dia.
Dalam diskusi di Kampus Universitas Udayana, Eddy mengaku banyak mendapat masukan konstruktif dari kegiatan "Kumham Goes to Campus" yang selama ini dijalankan Kementerian Hukum dan HAM.
"Saya kira kita melakukan reformulasi terhadap beberapa pasal dan ada pasal yang dicabut berdasarkan masukan publik, seperti ada lima pasal yang sudah kita cabut, tetapi nanti akan ada pembahasan sekitar delapan sampai sembilan item pada tanggal 21 November 2022 nanti," kata dia.
Para pembicara lain yang dihadirkan dalam diskusi 'Kumham Goes to Campus' di Universitas Udayana adalah Prof. Marcus Priyo Gunarto (Guru Besar Hukum Pidana UGM), Ambeg Paramarta (Staf Ahli Menkumham RI Bidang Politik dan Keamanan), Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Albert Aries, dan Zainal Arifin Mochtar (Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada). *ant
1
Komentar