Saya dari Lovina
Sebelum pandemi, Pudit bekerja di hotel tepi pantai Sanur. Gajinya lumayan, ia bisa mengganti motor lama, beli yang baru. Bapak-ibunya di kampung bangga, baru tiga tahun tamat sekolah menengah pariwisata, Pudit sudah mandiri.
Ia mengaku sering mendapat tip lumayan dari tamu. Begitu pandemi menghantam, ia menganggur full, pulang kampung, membantu orangtua berkebun di Desa Dawan, Klungkung. Toh ia masih mengaku beruntung karena motor sudah lunas. “Coba kalau masih mencicil, duit dari mana?” katanya dalam hati.
Setelah pandemi berakhir, banyak hotel beroperasi kembali, warung-warung buka, restoran ramai pengunjung, orang plesir bertambah, pemandu wisata sumringah. Tapi, Pudit tak kunjung dapat lowongan kerja. Hotel tempatnya bekerja sudah dijual. Pemilik baru merenovasi penginapan itu. Pudit mengajukan lamaran. Ia yakin pasti diterima karena ia orang lama di hotel itu. Tapi, ketika bagian personalia membaca CV-nya, ia cuma dijanjikan segera dipanggil nanti.
Lebih tiga bulan janji itu menggantung di awan gemawan, tinggal janji. Pudit sangat kesal, jasanya bekerja di hotel itu seperti tak ada arti. Ia mulai merasakan, kadang dunia kerja itu kejam, tak peduli orang lama atau orang baru. Tak soal senior atau tidak berpengalaman.
“Sabar, Dit,” hibur bapaknya. “Ini ujian hidup. Kalau lama tidak dapat lowongan kerja, di sini saja, di kampung, kita pelihara sapi, menanam rumput gajah.”
Tapi, mengapa teman-temannya gampang mengisi lowongan kerja, ia malah alot. Ia datangi Tarja, rekannya satu angkatan sekolah yang mulus dapat lowongan kerja di Canggu.
“Aku ajukan lamaran begitu saja, seperti sudah-sudah. Seminggu kemudian aku dipanggil,” ujar Tarja. “Ke mana saja kamu melamar?”
“Sudah ke mana-mana, selalu ditolak, diberi harapan palsu.”
“Ketika wawancara lancar?”
“Ya lancar, biasa-biasa saja. Pasti ditanya dari mana.”
“Kamu bilang dari mana?”
“Aku kan dari Dawan, ya kubilang dari Klungkung.”
“Ha-ha-ha-ha, mungkin itu sebabnya. Aku dari Tabanan, waktu wawancara kubilang dari Lovina, langsung diterima.”
“O ya? Ah, masak?”
“Sungguh. Teman-teman kita seperti Dema, Rinda, Raka, Wulan, Sundari, pokoknya rata-rata semua bilang dari Lovina. Padahal tak seorang pun dari Singaraja, apalagi dari Lovina. Kamu kan tahu mereka dari Bangli, Gianyar, ada yang dari Negara, Karangasem, tapi ngakunya dari Lovina.”
“Kok bisa? Kan ketahuan kalau KTP dicek?”
“Biasanya yang diperhatikan itu umur, tanggal lahir. Tempat lahir sering gak digubris. Bisa saja kan lahir di Denpasar, tapi kawitannya, keluarga asli, dari Lovina.”
“Apa karena Lovina di Singaraja dikenal bagus pariwisatanya ya? Pewawancara yakin, untuk kerja di industri pariwisata warga Lovina lebih unggul, bisa diandalkan,” Pudit menebak-nebak.
Dulu, bisa saja sampai kini, Bali lebih dikenal dibanding Indonesia di luar negeri. Sudah menjadi perbincangan sehari-hari, banyak orang asing kecele, Indonesia itu dikira bagian dari Bali. Tampaknya seperti itulah Lovina dan Singaraja. Perlahan-lahan Lovina lebih beken tinimbang Singaraja atau Buleleng. Menyebut Lovina langsung terbayang atraksi lumba-lumba di tengah laut, pariwisata pantai yang unik dan berkesan. Lovina itu identik dengan wisata, dengan piknik, bersenang-senang.
Pagi itu Pudit berangkat ke Seminyak, berniat mengajukan lamaran kerja ke sebuah vila. Ia sudah bersiap-siap jika asal-usulnya ditanya, ia akan bilang, “Saya dari Lovina.”
Jika si pewawancara menyelidik, “Lho, ini alamat KTP kamu di Klungkung?”
“Saya lahir di Singaraja, tinggal dengan ayah, ibu, dan saudara di Klungkung. Aslinya saya dari Lovina, Pak.”
Pudit berharap si pewawancara akan manggut-manggut, dan segera menerimanya bekerja. *
Aryantha Soethama
Komentar