Pentingnya Peran Perumda dalam Pengembangan Sapi Bali
DENPASAR, NusaBali.com – Tidak dapat dipungkiri, untuk melakukan pengembangan sapi Bali diperlukan political will yang kuat seperti pemberian subsidi pakan tambahan, inseminasi buatan yang intensif, dan penugasan perumda.
Menurut ahli peternakan dari Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (Unwar), Dr Ir I Dewa Nyoman Sudita MP, pengembangan sapi Bali selain dilakukan dengan mendorong pihak swasta juga diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Ada beberapa ruang yang dapat diisi oleh peran pemerintah agar sapi Bali dapat berkembang dan bersaing dengan daging sapi impor.
“Harus ada political will yang kuat dari pemerintah. Misalnya soal subsidi pakan tambahan seperti konsentrat yang sangat diperlukan sebagai pendamping pakan hijau sehingga pemenuhan energi dan protein sapi dapat terpenuhi,” ujar Dr Dewa Sudita dijumpai di Kantor Kaprodi Magister Sains Pertanian, Kamis (17/11/2022) sore.
Selain itu, kata Dr Dewa Sudita, apabila hanya mengandalkan peternakan sapi Bali yang dilakukan secara kerakyatan saja, sangat sulit untuk mengejar ketertinggalan dalam pengembangan kualitas daging sapi Bali yang bermutu. Hal ini dikarenakan sapi Bali idealnya mulai dipelihara dan digemukkan pada usia 1,5-2 tahun dengan bobot di atas 200 kilogram.
Namun, dengan sistem kerakyatan seperti yang dilakukan para petani, sapi tersebut malah dijadikan sampingan dan tabungan. Oleh karena itu, kebanyakan sapi yang dipelihara secara kerakyatan didiamkan dalam waktu yang lama dan baru akan dijual apabila petani memerlukan sokongan finansial. Padahal, apabila memang tujuannya untuk dijadikan produksi daging, maksimal sapi tersebut harus sudah dijual dalam kurun waktu 5 bulan dengan bobot ideal sedikitnya 800 kilogram untuk sapi Bali.
“Sapi yang dipelihara terlalu lama ini dapat membuat otot (daging) sapi menjadi alot. Apalagi kalau tidak ada pakan tambahan yang menunjang pemenuhan protein pembentuk jaringan daging,” tutur mantan Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali ini.
Oleh karena itu, penugasan perumda menjadi sangat krusial apabila wacana pengembangan sapi Bali benar-benar diseriusi. Karena selain masih di bawah kendali pemerintah, perumda juga menjalankan tugas profit sehingga kerja sama dengan petani dapat dilakukan dengan saling menguntungkan.
Menurut Direktur Utama Perumda Pasar dan Pangan Mangu Giri Sedana (MGS) di Kabupaten Badung, I Made Sukantra, ketika ditemui belum lama ini, dirinya memiliki gagasan untuk menjalankan mekanisme kerja sama dengan petani. Sebagai dirut yang memimpin perumda dengan nomenklatur baru yakni perumda pangan, Sukantra ingin menyiapkan strategi sedari dini untuk menghilangkan ketergantungan Perumda MGS dengan Unit Pasar Hewan Beringkit.
Kekhawatiran ini dipicu oleh tren penurunan sirkulasi sapi Bali di Pasar Beringkit dari tahun ke tahun. Sebabnya, Sukantra membeberkan gagasannya bahwa daripada mengandalkan Pasar Beringkit sebagai hub pengantarpulauan sapi Bali, lebih baik sapi Bali tersebut dikelola sendiri di Badung untuk dijadikan daging sehingga nilai tambahnya tetap berada di Bali. Hal ini dinilai jauh lebih menguntungkan alih-alih mengirim hewan hidup untuk dipotong di luar Bali.
“Kalau bisa mengapa tidak kita kerja sama dengan petani untuk penggemukan. Kemudian hasilnya diserap perumda untuk nanti dibawa ke RPH Mambal dan disalurkan ke hotel-hotel yang ada di Badung,” usul Sukantra.
Birokrat asal Bukit Jimbaran, Kuta Selatan ini menegaskan bahwa kerja sama atau hibah dengan petani hendaknya dilakukan dengan mekanisme kontrak dan pengawasan bukan dengan cuma-cuma. Dengan adanya ikatan secara hukum ini, kerja sama tersebut dapat dipertanggungjawabkan outputnya.
Misalnya dalam hal pengembangan sapi Bali, pemerintah sendiri atau melalui perumda dapat memberikan bibit sapi beserta bantuan pakan tambahan agar dapat dilakukan penggemukan dan pemeliharaan berorientasi produksi. Karena sudah terikat kontrak maka ada kewajiban bagi petani untuk menjual sapi tersebut kepada perumda setelah bobot sapi sudah laik dipotong.
“Jangan dikasih bantuan cuma-cuma tetapi ada perjanjian yang dapat mengoptimalkan output,” tandas Sukantra.
Kedua gagasan ini dinilai relevan dilakukan mengingat belum ada perusahaan yang menyeriusi pengembangan sapi Bali. Kalaupun ada, kata Dr Dewa Sudita, masih kembang-kempis dan belum ada hasil signifikan. *rat
Komentar