Kena Epilepsi Sejak Usia 3 Bulan, Suka Benturkan Kepala ke Tembok
Bocah Luh Tia Nopiani bukan hanya menderita epilepsi dan suka ngamuk-ngamuk, tapi juga susah tidur sehingga sang ayah sering pilih jalan pintas memberinya obat tidur
Derita Luh Tia Nopiani, Bocah Penderita Epilepsi Asal Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Malang benar nasib Luh Tia Nopiani, 12, bocah perempuan dari Banjar Delod Margi, Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng. Di usianya yang beranjak remaja, dia tidak dapat menikmati kehidupan normal seperti anak-anak umumnya, lantaran menderita epilepsi sejak usia 3 bulan. Mirisnya lagi, kini Luh Tiia Nopiani malah suka menyiksa diri, seperti membenturkan kepala ke tembok hingga memukul kakinya sampai lebam.
Bocah Luh Tia Nopianti merupakan anak bungsu dari empat bersaudara keluarga pasangan Gede Ada, 52, dan Ni Ketut Beneh. Bocah malang ini sudah ditinggal ibundanya, Ketut Beneh, yang meninggal dunia 7 tahun silam
Ketika NusaBali berkunjung ke rumahnya di Banjar Delod Margi, Desa Nagasepaha, Kamis (11/5) siang, bocah Luh Tia sedang bermain dengan diawasi ayahnya, Gede Ada dan sang nenek, Ni Made Asih, 80. Saat ini, mereka memang hanya tinggal bertiga di rumah asalnya tersebut. Sedangkan tiga kakak Luh Tia tinggal di tempat terpisah sejak mereka menikah, yakni Putu Pageh Yasa, Kadek Pandirta, dan Komang Resining.
Pantauan NusaBali, bocah Luh Tia kemarin bermain di halaman rumahnya dengan melompat-lompat dan sesekali memukulkan telapak tangannya ke kakinya hingga memerah. Sang ayah, Gede Ada, hanya bisa pasrah melihat kelakuan anak gadis ciliknya yang tumbuh tidak normal ini.
Gede Ada mengisahkan, sakit epilepsi yang diderita anak bungsunya sejak usia 3 bulan ini membuat pertumbuhan fisiknya terhambat. Lagipula, kaki kirinya juga tidak sama panjang dengan kaki kanan. Ketika dilahirkan melalui proses persalianan normah, tidak ada ciri-ciri keanehan pada bocah malang ini. Selama dalam kandungan pun, ibunya tidak ada merasakan keanehan.
“Sejak masih dalam kandungan hingga lahir, tidak pernah ada masalah. Saya dan istri periksa ke bidan waktu hamil. Namun, penyakit anak saya ini baru ketahuan saat usianya menginjak 3 bulan,” kenang Gede Ada kepada NusaBali.
Menurut Gede Ada, gejala awal yang dialami putri bungsunya ini adalah panas tinggi, lalu kejang-kejang. Setelah dibawa ke dokter spesialis anak, Luh Tia yang kala itu masih bayi berusia 3 bulan divonis mengidap epilepsi (ayan). Penyakitnya semakin sering kambuh saat tubuhnya tidak kuat menerima suhu dingin. Kebetulan, waktu itu Luh Tia diajak kedua orangtuanya tinggal wilayah pegunungan Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Buleleng untuk menggarap kebun.
Awalnya, kata Gede Ada, kondisi tubuh bocah Luh Tia hanya lemas. Namun, kondisinya kemudian berubah menjadi super aktif saat menginjak usia 5 tahun. Waktu itu, bocah Luh Tia kembali diajak Gede Ada tinggal di kampung halamannya, Desa Nagasepaha, setelah istrinya meninggal karena sakit.
Gejala super aktif bocah Luh Tia semakin parah. Bahkan, kata Gede Ada, putri bungsunya ini seringkali menyiksa diri dengan membenturkan kepala ke tembok, selain juga memukuli kakinya hingga lebam. Bukan hanya itu, bocah epilepsi ini juga sering memukul-mukul ayah dan neneknya.
“Anak saya ini cenderung menjadi sosok pemarah bila keinginanya tidak dipenuhi. Dia seperti tidak sadar dan tak merasakan sakit ketika membenturkan kepala di tembok. Dia bahkan tersenyum, padahal kepalanya sudah benjol sana-sini setelah dibenturkan ke tembok,” tutur Gede Ada, yang kemarin sempat memangku putri bungsunya ini.
Sebagai orangtuanya, Gede Ada tentu saja sering kelabakan dalam mengasuh bocah epilepsi yang suka ngamuk-ngamuk ini. Masalahnya, dalam shari, penyakit epilepsi Luh Tia bisa kumat sampai 5-8 kali, dengan gejala kejang, kaku, dan mulut mengeluarkan buih.
Bukan hanya itu, bocah Luh Tia juga susah tidur, selain suka ngamuk-ngamuk. Menurut Gede Ada, terkadang dirinya pilih jalan pintas memberi obat tidur kepada putrinya ini. Sebab, dalam sehari semalam, bocah epilepsi ini hanya bisa tidur lelap selama 2 jam. Biasanya, saat bangun dari tidurnya, bocah Luh Tia kembali membenturkan kepalanya ke tembok.
Gede Ada mengaku cukup kerepotan juga mengasuh putrinya yang epilepsi ini. Apalagi, di usianya yang sudah 52 tahun, Gede Ada juga harus cari nafkah dengan bekerja sebagai sopir angkut barang. “Saya bekerja kadang-kadang saja jika ada yang suruh angkut jerami atau kayu bakar. Kalau saya tinggal kerja, biasanya anak saya ini terpaksa dikunci di dalam rumah. Biar anak saya ini di dalam kamar sambil nonton TV. Kalau ibu saya sudah renta, tidak mampu mengatasi anak saya jika mengamuk,” papar Gede Ada.
Penghasilan yang diperoleh Gede Ada sebagai sopir angkut barang tidak menentu. Terkadang dia hanya mendapatkan upah angkut Rp 15.000 dalam sehari. Itu pun, kalau ada orang yang minta jasanya.
Sementara itu, bocah Luh Tia sering diperiksakan Gede Ada ke dokter spesialis anak dan bidan desa, dengan menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Sejauh ini, kata Gede Ada, putrinya yang epilepsi belum pernah dibawa ke dokter spesialis saraf maupun psikiater, karena terbentur biaya.
Meski demikian, Gede Ada mengaku bersyukur atas perhatian pemerintah saat ini, yang telah memberikan bantuan beras miskin dan jaminan kesehatan berupa KIS. Hanya saja, Gede Ada tetap berharap adanya bantuan dana Asistensi Orang dengan Kecacatan (ASODK) seperti dulu. Ketika masih tinggal di Desa Gitgit, bocah Luh Tia sempat mendapatkan dana ASODK. “Dulu pernah dapat dua bulan, selanjutnya sampai sekarang tidak pernah lagi,” papar Gede Ada. * k23
SINGARAJA, NusaBali
Malang benar nasib Luh Tia Nopiani, 12, bocah perempuan dari Banjar Delod Margi, Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng. Di usianya yang beranjak remaja, dia tidak dapat menikmati kehidupan normal seperti anak-anak umumnya, lantaran menderita epilepsi sejak usia 3 bulan. Mirisnya lagi, kini Luh Tiia Nopiani malah suka menyiksa diri, seperti membenturkan kepala ke tembok hingga memukul kakinya sampai lebam.
Bocah Luh Tia Nopianti merupakan anak bungsu dari empat bersaudara keluarga pasangan Gede Ada, 52, dan Ni Ketut Beneh. Bocah malang ini sudah ditinggal ibundanya, Ketut Beneh, yang meninggal dunia 7 tahun silam
Ketika NusaBali berkunjung ke rumahnya di Banjar Delod Margi, Desa Nagasepaha, Kamis (11/5) siang, bocah Luh Tia sedang bermain dengan diawasi ayahnya, Gede Ada dan sang nenek, Ni Made Asih, 80. Saat ini, mereka memang hanya tinggal bertiga di rumah asalnya tersebut. Sedangkan tiga kakak Luh Tia tinggal di tempat terpisah sejak mereka menikah, yakni Putu Pageh Yasa, Kadek Pandirta, dan Komang Resining.
Pantauan NusaBali, bocah Luh Tia kemarin bermain di halaman rumahnya dengan melompat-lompat dan sesekali memukulkan telapak tangannya ke kakinya hingga memerah. Sang ayah, Gede Ada, hanya bisa pasrah melihat kelakuan anak gadis ciliknya yang tumbuh tidak normal ini.
Gede Ada mengisahkan, sakit epilepsi yang diderita anak bungsunya sejak usia 3 bulan ini membuat pertumbuhan fisiknya terhambat. Lagipula, kaki kirinya juga tidak sama panjang dengan kaki kanan. Ketika dilahirkan melalui proses persalianan normah, tidak ada ciri-ciri keanehan pada bocah malang ini. Selama dalam kandungan pun, ibunya tidak ada merasakan keanehan.
“Sejak masih dalam kandungan hingga lahir, tidak pernah ada masalah. Saya dan istri periksa ke bidan waktu hamil. Namun, penyakit anak saya ini baru ketahuan saat usianya menginjak 3 bulan,” kenang Gede Ada kepada NusaBali.
Menurut Gede Ada, gejala awal yang dialami putri bungsunya ini adalah panas tinggi, lalu kejang-kejang. Setelah dibawa ke dokter spesialis anak, Luh Tia yang kala itu masih bayi berusia 3 bulan divonis mengidap epilepsi (ayan). Penyakitnya semakin sering kambuh saat tubuhnya tidak kuat menerima suhu dingin. Kebetulan, waktu itu Luh Tia diajak kedua orangtuanya tinggal wilayah pegunungan Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Buleleng untuk menggarap kebun.
Awalnya, kata Gede Ada, kondisi tubuh bocah Luh Tia hanya lemas. Namun, kondisinya kemudian berubah menjadi super aktif saat menginjak usia 5 tahun. Waktu itu, bocah Luh Tia kembali diajak Gede Ada tinggal di kampung halamannya, Desa Nagasepaha, setelah istrinya meninggal karena sakit.
Gejala super aktif bocah Luh Tia semakin parah. Bahkan, kata Gede Ada, putri bungsunya ini seringkali menyiksa diri dengan membenturkan kepala ke tembok, selain juga memukuli kakinya hingga lebam. Bukan hanya itu, bocah epilepsi ini juga sering memukul-mukul ayah dan neneknya.
“Anak saya ini cenderung menjadi sosok pemarah bila keinginanya tidak dipenuhi. Dia seperti tidak sadar dan tak merasakan sakit ketika membenturkan kepala di tembok. Dia bahkan tersenyum, padahal kepalanya sudah benjol sana-sini setelah dibenturkan ke tembok,” tutur Gede Ada, yang kemarin sempat memangku putri bungsunya ini.
Sebagai orangtuanya, Gede Ada tentu saja sering kelabakan dalam mengasuh bocah epilepsi yang suka ngamuk-ngamuk ini. Masalahnya, dalam shari, penyakit epilepsi Luh Tia bisa kumat sampai 5-8 kali, dengan gejala kejang, kaku, dan mulut mengeluarkan buih.
Bukan hanya itu, bocah Luh Tia juga susah tidur, selain suka ngamuk-ngamuk. Menurut Gede Ada, terkadang dirinya pilih jalan pintas memberi obat tidur kepada putrinya ini. Sebab, dalam sehari semalam, bocah epilepsi ini hanya bisa tidur lelap selama 2 jam. Biasanya, saat bangun dari tidurnya, bocah Luh Tia kembali membenturkan kepalanya ke tembok.
Gede Ada mengaku cukup kerepotan juga mengasuh putrinya yang epilepsi ini. Apalagi, di usianya yang sudah 52 tahun, Gede Ada juga harus cari nafkah dengan bekerja sebagai sopir angkut barang. “Saya bekerja kadang-kadang saja jika ada yang suruh angkut jerami atau kayu bakar. Kalau saya tinggal kerja, biasanya anak saya ini terpaksa dikunci di dalam rumah. Biar anak saya ini di dalam kamar sambil nonton TV. Kalau ibu saya sudah renta, tidak mampu mengatasi anak saya jika mengamuk,” papar Gede Ada.
Penghasilan yang diperoleh Gede Ada sebagai sopir angkut barang tidak menentu. Terkadang dia hanya mendapatkan upah angkut Rp 15.000 dalam sehari. Itu pun, kalau ada orang yang minta jasanya.
Sementara itu, bocah Luh Tia sering diperiksakan Gede Ada ke dokter spesialis anak dan bidan desa, dengan menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Sejauh ini, kata Gede Ada, putrinya yang epilepsi belum pernah dibawa ke dokter spesialis saraf maupun psikiater, karena terbentur biaya.
Meski demikian, Gede Ada mengaku bersyukur atas perhatian pemerintah saat ini, yang telah memberikan bantuan beras miskin dan jaminan kesehatan berupa KIS. Hanya saja, Gede Ada tetap berharap adanya bantuan dana Asistensi Orang dengan Kecacatan (ASODK) seperti dulu. Ketika masih tinggal di Desa Gitgit, bocah Luh Tia sempat mendapatkan dana ASODK. “Dulu pernah dapat dua bulan, selanjutnya sampai sekarang tidak pernah lagi,” papar Gede Ada. * k23
1
Komentar