Peran Fotografi di Awal Abad ke-20 Terhadap Pariwisata Bali
Terungkap dalam Disertasi Dosen ISI, I Made Bayu Pramana
DENPASAR, NusaBali
Fotografi punya peranan penting terhadap hadirnya pariwisata di Bali pada awal abad ke-20.
Saat itu, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mendatangkan para fotografer terbaiknya untuk mengkonstruksi Bali sebagai sebuah tempat eksotis yang menjadikannya terlihat sangat layak didatangi orang-orang Belanda yang berada ribuan kilometer di Benua Eropa.
Gambaran tersebut diungkap Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Made Bayu Pramana SSn MSn,38, pada ujian terbuka Program Studi Seni, Program Doktor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar untuk mempertahankan disertasinya yang berjudul 'Fotografi Orientalistik Pariwisata Bali Era Kolonial Hindia-Belanda (1920-1930-an) di Kampus ISI Denpasar, Rabu (23/11).
Bayu Pramana yang juga Koordinator Program Studi Fotografi ISI Denpasar menuturkan setelah Bali sepenuhnya dikuasai pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada 1908, mereka tidak menemukan potensi yang besar di Bali dari sisi ekonomi. Satu-satunya hal yang paling kuat yang mereka dapatkan di Bali adalah kekayaan seni dan budayanya.
"Beranjak dari hal tersebutlah mereka memutuskan untuk meregulasi Bali menjadi sebuah destinasi wisata," ungkap Bayu. Pada saat itu, ungkap Bayu, konsep pariwisata adalah sesuatu yang asing bagi sebagian besar orang Bali. Belum banyak tempat yang dikreasi menjadi tempat wisata. Namun dengan melihat potensi yang ada, Bali oleh pemerintah kolonial Belanda dijadikan sebagai pilot project pariwisata demi meraih keuntungan dari kedatangan para wisatawan, baik yang datang dari Belanda maupun negara Eropa lainnya.
Langkah awal adalah dengan mendatangkan fotografer-fotografer, penulis, dan juga pembuat film untuk datang ke Bali yang ditugaskan membuat karya-karya yang bisa 'menampilkan' Bali di mata internasional. Menurut Bayu, Bali oleh kolonial Hindia-Belanda dikonstruksi sedemikian rupa agar tampak menarik atau memiliki pesona yang berbeda atau eksotis di mata orang-orang Belanda di Eropa. Hal tersebut termasuk dengan menggambarkan orang-orang Bali yang terbiasa bertelanjang dada, di manapun dan pada saat apapun.
"Jadi mereka dari perspektif kolonial melihat Bali ini banyak ada wanita berdada terbuka, tempat-tempat yang indah. Padahal keseharian orang Bali memang seperti itu, tapi tidak pada ritual di pura, tidak pada saat menari misalnya, tetapi hanya pada pemandian," terang putra dari I Nyoman Suamba asal Banjar Kedaton, Kesiman, Denpasar ini.
Untuk membongkar wacana yang dibangun pemerintah kolonial Hindia-Belanda tersebut, Bayu menelisik data ke beberapa tempat. Seperti misalnya perpustakaan Museum Sonobudoyo di Jogjakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, Arsip Nasional Jakarta, Perpustakaan Erasmus Huis di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Sebagian lagi bahkan harus dicari di KITLV Universitas Leiden Belanda.
"Saya rencananya berangkat ke Belanda tapi karena pandemi nggak bisa berangkat akhirnya komunikasi dan akhirnya diizinkan membuka portal digital mereka mengakses foto-foto dan arsip," terang suami dari Ni Putu Dian Kartika ini. Sidang ujian promosi doktor dipimpin Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Wayan 'Kun' Adnyana yang juga selaku promotor. Sidang ujian menyatakan menerima disertasi Bayu Pramana serta dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dengan IPK 3,95.
Bayu berharap hasil penelitiannya dapat dijadikan pijakan bagi pemerintah, media, atau para konten kreator untuk membawa kembali Bali kepada 'asalnya'. Menurutnya apa yang dikonstruksi kolonial Belanda tentang Bali di masa lalu juga bisa dilihat secara positif. "Bagaimana kemudian kita merancang, meriset, mengkonstruksi dan juga membuat gambaran baru tentang Bali di masa depan yang mungkin sekarang kan macet, yang berkebalikan 180 derajat dengan yang dicitrakan di periode kolonial. Bali sekarang jadi tempat yang polusi, alih fungsi lahan," kata bapak dari tiga anak ini.
Rektor ISI Denpasar, Prof Kun Adnyana merasa bangga dan mengucapkan selamat kepada Bayu yang kini resmi menyandang gelar doktor. “Saat membimbing Bayu, seperti menemukan partner baru, sahabat baru juga mendapat data otentik. Dia menemukan di zaman kolonial kehidupan orang Bali yang sederhana dan itu adalah konstruksi orientalistik, kita mendapatkan gambaran sesungguhnya. Pariwisata ini tak datang begitu saja tetapi ada banyak kepentingan di dalamnya,” kata Prof Kun. Ia menambahkan, sumbangan terbesar riset Bayu ini menjawab kejadian di tahun 1920-1930-an yang dibangun atas hasrat pariwisata, ada hegemoni yang diatur oleh imajinasi orang barat," pungkas Prof Kun. *cr78
Komentar