Museum Subak Bangkitkan Seni Lelakut
Selain sebagai upaya melestarikan budaya, lomba dibuat untuk mengedukasi masyarakat utamanya anak-anak.
TABANAN, NusaBali
Patung berwujud orang-orangan sawah, dikenal dengan nama lelakut, kian sulit dijumpai. Produk seni agraris ini merupakan tiruan manusia yang ditempatkan di sawah. Fungsinya untuk mengusir burung pemangsa buah padi.
Biasanya, patung lelakut ini dibuat secara otodidak oleh petani. Umumnya dibuat dari jerami, rumput atau pun bahan seadanya yang ada di sekitar sawah. Lelakut sangat membantu petani menjelang padi mulai menguning.
Karena sulit dijumpai, maka keberadaan dan fungsi lelakut tak banyak diketahui masyarakat, terutama kalangan anak-anak. Untuk itu sebagai tempat edukasi pertanian, UPTD Museum Subak Tabanan melaksanakan lomba lelakut. Ada 28 peserta mengikuti lomba tersebut.
Kepala UPTD Museum Subak Tabanan Si Putu Eka Putra Santi mengatakan, lomba lelakut ini untuk peserta mulai anak-anak jenjang SMP sampai umum. Lomba dilaksanakan Jumat (25/11). "Jumlah peserta yang ikut sudah sesuai dengan target kami," ujarnya, Jumat (25/11).
Menurutnya, lomba lelakut ini untuk melestarikan budaya yang hampir punah. Lelakut ini sangat melekat dengan kehidupan pertanian nusantara, apalagi di Bali.
Museum Subak menggelar lomba ini karena museum ini menitikberatkan pelestarian dan edukasi di bidang pertanian tradisional Bali. "Lomba ini didanai dari DAK (Dana Alokasi Khusus) dalam bidang program publik," terangnya.
Kata Putra Santi, selain sebagai upaya melestarikan budaya, lomba dibuat untuk mengedukasi masyarakat utamanya anak-anak. Sebab dewasa ini lelakut ini sulit dijumpai dan jarang didengar. "Lelakut ini sudah jarang kita temui, bahkan hampir tak terdengar. Karena itu, kami kembali kenalkan kepada masyarakat terutamanya anak-anak. Bahwa lelakut ini bagian dari pertanian yang sangat membantu petani untuk mengusir burung," bebernya.
Dari lomba, peserta tidak membuat langsung lelakut di lokasi lomba. Lelakut bisa dibuat di rumah masing-masing dengan pertimbangan mempersingkat waktu. Begitu lelakut selesai, baru dibawa ke Museum Subak untuk dinilai. "Kriteria, misalnya harus dibuat dari bahan ramah lingkungan dan berkonsep tradisional Bali, tanpa plastik," jelasnya.
Dia berharap lewat lomba ini, masyarakat tak lupa dengan budaya pertanian. Apalagi di Tabanan terkenal dengan kawasan agraris. "Biar tidak hanya tahu nama. Kami berharap lomba ini agar masyarakat, khususnya anak-anak tahu fungsi lelakut ini," katanya.*des
Biasanya, patung lelakut ini dibuat secara otodidak oleh petani. Umumnya dibuat dari jerami, rumput atau pun bahan seadanya yang ada di sekitar sawah. Lelakut sangat membantu petani menjelang padi mulai menguning.
Karena sulit dijumpai, maka keberadaan dan fungsi lelakut tak banyak diketahui masyarakat, terutama kalangan anak-anak. Untuk itu sebagai tempat edukasi pertanian, UPTD Museum Subak Tabanan melaksanakan lomba lelakut. Ada 28 peserta mengikuti lomba tersebut.
Kepala UPTD Museum Subak Tabanan Si Putu Eka Putra Santi mengatakan, lomba lelakut ini untuk peserta mulai anak-anak jenjang SMP sampai umum. Lomba dilaksanakan Jumat (25/11). "Jumlah peserta yang ikut sudah sesuai dengan target kami," ujarnya, Jumat (25/11).
Menurutnya, lomba lelakut ini untuk melestarikan budaya yang hampir punah. Lelakut ini sangat melekat dengan kehidupan pertanian nusantara, apalagi di Bali.
Museum Subak menggelar lomba ini karena museum ini menitikberatkan pelestarian dan edukasi di bidang pertanian tradisional Bali. "Lomba ini didanai dari DAK (Dana Alokasi Khusus) dalam bidang program publik," terangnya.
Kata Putra Santi, selain sebagai upaya melestarikan budaya, lomba dibuat untuk mengedukasi masyarakat utamanya anak-anak. Sebab dewasa ini lelakut ini sulit dijumpai dan jarang didengar. "Lelakut ini sudah jarang kita temui, bahkan hampir tak terdengar. Karena itu, kami kembali kenalkan kepada masyarakat terutamanya anak-anak. Bahwa lelakut ini bagian dari pertanian yang sangat membantu petani untuk mengusir burung," bebernya.
Dari lomba, peserta tidak membuat langsung lelakut di lokasi lomba. Lelakut bisa dibuat di rumah masing-masing dengan pertimbangan mempersingkat waktu. Begitu lelakut selesai, baru dibawa ke Museum Subak untuk dinilai. "Kriteria, misalnya harus dibuat dari bahan ramah lingkungan dan berkonsep tradisional Bali, tanpa plastik," jelasnya.
Dia berharap lewat lomba ini, masyarakat tak lupa dengan budaya pertanian. Apalagi di Tabanan terkenal dengan kawasan agraris. "Biar tidak hanya tahu nama. Kami berharap lomba ini agar masyarakat, khususnya anak-anak tahu fungsi lelakut ini," katanya.*des
1
Komentar