Komitmen Bijak dan Solusi Eco-Cultural Tourism
Bali Mesti Segera Sikapi Degradasi Persubakan
Pertumbuhan penduduk Bali yang disertai laju pembangunan daerah, di satu sisi adalah kemajuan bagi Bali.
Di lain sisi, kemajuan ini menjadi ancaman berat bagi eksistensi lingkungan, khususnya sumber daya hayati. Perhelatan KTT G20 di Nusa Dua, Badung, Bali, 15 – 16 November 2022, pun memberi porsi khusus terkait ancaman sumber daya hayati karena eksploitasi lingkungan.
Seiring harapan KTT G20, Indonesia, khususnya Bali, sangat membutuhkan perubahan paradigma, regulasi, dan perilaku masyarakat untuk merawat lingkungan yang berkelanjutan. Jika tidak, degradasi lingkungan akan berlanjut hingga berujung pada krisis sumber daya hayati. Salah satu sistem daya hayati yang kian terancam di Bali adalah pertanian melalui subak. Subak adalah organisasi pengairan tradisional yang dimiliki Bali sejak sistem pertanian tersebut ada di pulau dewata ini.
Dilansir dari metronews, subak telah diakui oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia. Pemerintah daerah dan pusat, serta lembaga milik PBB tersebut sangat berkepentingan untuk menjaga agar subak lestari. Beberapa faktor yang mengancam eksistensi subak, seperti peningkatan populasi penduduk, lemahnya politik pengelolaan dan daya tarik pertanian. Peningkatan populasi penduduk menyebabkan meningkatnya tekanan pemanfaatan lahan, dan menjadi momok utama dalam upaya pelestarian ini.
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat jumlah penduduk di Pulau Bali mencapai 4,29 juta jiwa pada Juni 2022. Sedangkan, sensus 12 tahun terakhir di tahun 2010 menunjukkan penduduk Bali 3.890.757 jiwa. Dari peningkatan pertumbuhan penduduk yang makin tajam, maka lahan pertanian kian menyempit. Karena alih fungsi lahan pertanian, terutama lahan subak basah ke lahan non pertanian makin tidak terkendali untuk kebutuhan pemukiman. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardha, pada tahun 2020, alih fungsi lahan pertanian di Bali relatif tinggi dan mengkhawatirkan dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Alih fungsi lahan rata – rata mencapai 700 hektare per tahun.
Politik pengelolaan lingkungan juga menjadi faktor utama dalam keberlangsungan sumber daya hayati. Saat ini, beberapa regulasi pemerintah melalui undang – undang condong mendukung pembangunan ekonomi yang mendegradasi luas dan fungsi lahan pertanian.
Kebijakan hukum yang ramah investasi asing juga memicu pengurangan pembangunan berbasis ramah lingkungan. Kebijakan politik dari lembaga pemerintahan acapkali bertentangan dengan kepentingan pelestarian subak. Kalau toh ada kebijakan, pelaksanaannya kerap tidak efektif karena bertabrakan dengan pelbagai kepentingan yang muaranya tidak menguntungkan subak.
Subak pun makin tragis. Petani tidak memperoleh jaminan atas kebijakan pemerintah yang sungguh berpihak untuk pertanian. Alih fungsi lahan pertanian di Bali makin tidak terkendali. Tidak hanya karena pertumbuhan penduduk, pertanian Bali dengan wajah cutak-cutak dan terasering subak menjadi salah satu daya tarik pariwisata yang terkenal di Bali. Kemajuan pariwisata Bali berekses peningkatan alih profesi dari pertanian ke pariwisata. Ujung-ujungnya petani atau pengolah lahan pertanian kian sedikit. Bali hanya menyisakan petani-petani tua. Generasi milenial menghindari kerja bertani. Alih fungsi lahan tidak terelakkan. Lahan yang seharusnya menjadi sumber pangan telah bertransformasi menjadi pemukiman, bangunan industri, dan tempat wisata, serta fungsi lain yang dianggap oleh masyarakat lebih menjanjikan secara ekonomi.
Hasil sensus pertanian pada tahun 2013 menyebutkan bahwa Bali kehilangan sekitar 700 rumah tangga pertanian tiap bulan. Pada 2003, rumah tangga petani Bali hampir 492 ribu, lalu berkurang menjadi 408 ribu pada tahun 2013. Prof I Wayan Windia SU, guru besar pertanian Universitas Udayana, Denpasar, Bali, mengatakan bahwa persawahan di Bali sudah compang-camping. Alih fungsi lahan menyebabkan banyak sarana irigasi rusak. Petani subak bersaing merebut air dengan kebutuhan air bersih rumah tangga dan industri (termasuk pariwisata). Banyak sumber air dahulu buat pertanian, beralih ke kepentingan PDAM atau pariwisata.
Berangkat dari rumpun persoalan tersebut, pemerintah pusat dan daerah, perlu segera merevitalisasi komitmen untuk penguatan sumber daya hayati, khususnya pertanian dan subaknya. Mewujudkan kedaulatan pangan tidak sekadar visi dan misi belaka. Lembaga terkait secara konsisten agar melaksanakan kebijakan yang pro pertanian. Jika petani dengan huma subaknya sejahtera, maka lingkungan akan terjaga. Kebijakan yang berpihak pada pertanian perlu terus ditingkatkan hingga generasi muda tertarik untuk bertani. Pemerintah sedapat mungkin menggalakkan eco-cultural tourism sebagai solusi untuk mensinergikan bidang pertanian - pariwisata dengan peradaban subak. Dikutip dari G. Tiberghien, eco-cultural tourism adalah sebuah konsep di mana aspek ekologi dan budaya dari suatu lanskap digabungkan bersama untuk menciptakan surga wisata. Konsep ini sejalan dengan citra pulau Bali karena wisata Bali yang memiliki daya tarik berupa budaya dan keindahan alam. Konsep ini pula dapat menjadi strategi potensial untuk mendukung konservasi habitat alami Bali sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.*
1
Komentar