New Music for Gamelan, Putu Septa Dobrak Batas-Batas Tradisi Gamelan Bali
GIANYAR, NusaBali.com – I Putu Adi Septa Suweca Putra, 30, komposer musik dan pendiri Sanggar Nata Swara mendobrak batas-batas tradisi gamelan Bali lewat penampilan apik dan radikal bertajuk New Music for Gamelan, Selasa (29/11/2022) malam.
Gubahan musik eksperimental berbasis alat musik gamelan tersebut dipentaskan di Wantilan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Bali, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pertunjukan dengan penonton yang didominasi insan musik dan ekspatriat tersebut digelar serangkaian Pameran Video Imersif Museum Arkeologi Gedong Arca.
Menurut Putu Septa, New Music for Gamelan ini merupakan bentuk kebebasan berekspresi dalam khazanah musik Bali. Sebagai seorang seniman, pelaku tradisi, dan komposer muda, pria asal Desa Adat Padangtegal, Kecamatan Ubud ini ingin mendobrak batasan-batasan tradisi atau konvensional dari musik Bali yang sudah mapan.
“New Music for Gamelan ini adalah bentuk musik baru yang belum memiliki label seperti musik tradisi yang sudah mapan,” ungkap Putu Septa ketika dijumpai usai pertunjukan.
Kata musisi muda yang sudah melanglang buana ini, selama ini masyarakat Bali mengenal label musik tradisi yang sudah mapan seperti lelambatan dan bebarungan. Oleh karena itu, pertunjukan yang dibawakan Putu Septa dan Sanggar Nata Swara ini adalah pengejawantahan sebuah kerinduan terhadap perspektif baru dalam musik Bali dengan cara mendobrak batasan yang ada.
Dalam mendobrak batasan tersebut, Putu Septa mengedepankan gaya musik yang eksperimental. Aspek ini diperlihatkan dengan penggunaan nada yang radikal dan penambahan unsur musik elektronik. Selain itu, jenis gamelan yang digunakan pun sama sekali berbeda.
Putu Septa membuat dan menyusun sendiri set gamelan tersebut dan ia beri nama Sada Sancaya. Sekilas gamelan ini terlihat lebih panjang dengan gender yang berjumlah belasan tergantung posisinya.
Dalam penampilan berdurasi lebih dari 50 menit tersebut, ada lima karya yang ditampilkan di bawah tajuk New Music for Gamelan. Pertama ditampilkan sebuah karya bernama Spirit of Sailing, sebuah karya musik perkusi di mana empat jenis gendang dengan karakter suara yang berbeda dimainkan bersamaan. Garapan ini membawa makna semangat berlayar, bahwa kehidupan bagaikan berlayar, tidak dapat diprediksi, namun harus siap menghadapi.
Untuk karya kedua hingga keempat merupakan satu karya yang berepisode yakni Kedok I, II, dan III. Pada segmen ini digunakan beberapa instrumen seperti jegog namun nadanya terdengar cenderung metalik, reong yang dimainkan dengan cara digantung, dan unsur elektronik seperti acid dan synthesizer. Karya bertajuk Kedok ini terinspirasi dari kehidupan sehari-hari di mana banyak terjadi kepalsuan dan tantangan dalam bersikap jujur.
Pertunjukan New Music for Gamelan ini kemudian ditutup dengan sebuah karya berjudul Piwal IV yang sangat representatif terhadap makna dari tajuk pertunjukan. Karya berbasis gamelan Sada Sancaya ini dibawakan dengan gending yang sama sekali berbeda dari gending tradisi yang ada.
Namun, Piwal IV yang bermakna tidak menurut juga tidak menyimpang seakan menjadi jawaban dan pendirian pertunjukan New Music for Gamelan. Oleh karena itu, penyimpangan terhadap kaidah konvensional tidak selalu berkonotasi negatif melainkan memberikan perhatian yang lebih serius terhadap gamelan dan musiknya.
Ideologi bermusik yang eksperimental dan radikal dengan perantara alat musik tradisi ini memang tidak bisa menyenangkan semua pihak. Perubahan irama musik gamelan Bali yang begitu drastis berbeda dari yang biasa didengar masyarakat membuat sebagian kalangan sukar menerima. Putu Septa pun tidak menampik kontroversi ini. Hanya saja, ia menegaskan bahwa sebagai pelaku tradisi, ia pun tidak ingin merusak tatanan yang sudah mapan.
Eksperimen yang dilakukannya itu, kata Putu Septa, mengambil ruang dan kesempatan di mana kebebasan itu dilakukan dengan santun dan diterima. Seperti halnya panggung yang disediakan oleh BPCB Provinsi Bali. Putu Septa sadar bahwa dirinya bukan dalam posisi memaksakan masyarakat agar menyukai karya-karyanya.
“Ada yang siap, ada yang tidak (menerima hal baru). Ada yang suka, ada yang tidak suka. Hal ini menjadi dualisme yang biasa dalam mengapresiasi seni musik. Saya tidak bisa memaksakan bahwa, ‘Kamu harus suka musik saya!’ semua ada ruang dan wilayahnya. Yang penting saya tidak mengobrak-abrik yang sudah mapan,” ucap Putu Septa.
Sebagian besar penonton yang hadir pun memberikan kesan yang positif terhadap pertunjukan Putu Septa dan kawan-kawan, seperti Amin Hamdi, 31. Pria asal Padang, Sumatera Barat ini pun mengakui bahwa di daerahnya pun sudah banyak terjadi eksplorasi musik tradisional.
Senada dengan Putu Septa, Amin Hamdi berpendapat bahwa mendobrak batasan tradisi adalah sah-sah saja. Namun, mendobrak batasan tersebut bukan berarti melecehkan tatanan yang sudah ada lantaran hal tersebut merupakan bentuk kebebasan berekspresi dalam musik. Lebih-lebih, eksperimen tersebut sudah dilakukan dengan cara terukur tanpa merusak musik tradisi yang sudah mapan.
“Di Bali ataupun di wilayah Indonesia lainnya itu kan ada musik yang boleh dipentaskan (sebagai hiburan) dan ada yang tidak. Untuk bereksperimen menggunakan musik tradisi itu patut saja, asal tidak melanggar tatanan yang sudah ada misalnya merombak musik yang tidak bisa dipentaskan,” tandas Amin Hamdi yang juga lulusan Seni Musik di ISI Padang Panjang ketika dijumpai usai pertunjukan. *rat
Komentar