Bali-Bhuwana Rupa, Kreativitas Tanpa Batas
Pameran Seni Rupa Internasional
Rektor ISI Denpasar, Prof Dr Wayan ‘Kun’ Adnyana, menyampaikan apresiasi setingginya atas partisipasi seniman-seniman mumpuni lintas bangsa pada perhelatan seni rupa ini.
DENPASAR, NusaBali
Pameran Seni Rupa Internasional Bali Bhuwana Rupa gelaran Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dibuka secara resmi oleh Direktur Kelembagaan Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek, Dr Lukman ST MHum, Kamis (8/12). Mengusung tajuk ‘Dharma-Tirtha-Prana’ dengan mengedepankan upaya Kreativitas Tanpa Batas, tersaji 65 karya terdiri dari dua dimensi maupun tiga dimensi, buah cipta 42 seniman terpilih lintas bangsa, di antaranya dari Prancis, Jepang, Yunani, Belanda, Australia, serta dari Indonesia termasuk Bali.
Sebagaimana perhelatan pertama tahun 2021, penyelenggaran kali kedua ini ada dalam naungan Festival Internasional Bali Padma Bhuwana, yang mengedepankan upaya inovasi-kreativitas serta berorientasi kepedulian pada lingkungan (Recent, Innovative and Environment-Oriented). Bila pameran terdahulu sepenuhnya disajikan secara virtual (daring), kali ini hadir langsung di ruang pameran (luring) sekaligus memaknai purna pugar (renovasi) Gedung Nata-Citta Art Space (N-CAS) ISI Denpasar, berlangsung hingga 8 Januari 2023.
International Art Exhibition yang dikuratori oleh Nyoman Dewi Pebryani PhD, Warih Wisatsana, dan Wicaksono Adi ini bukan hanya menghadirkan karya lukis namun juga fotografi, keramik, patung, topeng, seni serat, dan fashion design, berikut kreativitas yang mendayagunakan kecanggihan aplikasi teknologi informasi (TI). Masing-masing seniman ini dapat dirunut jejak kreativitasnya dalam mengelaborasi aneka rupa dan tematik melalui beragam media/medium, terbukti melahirkan kemungkinan penciptaan yang serba unik autentik.
Rektor ISI Denpasar, Prof Dr Wayan ‘Kun’ Adnyana, menyampaikan apresiasi setingginya atas partisipasi seniman-seniman mumpuni lintas bangsa pada perhelatan seni rupa ini. Menurut Prof Kun Adnyana, kehadiran mereka, yang memiliki reputasi dan pengalaman panjang penciptaan, selaras semangat penyelenggaraan Festival Bali-Padma Bhuwana yang mengharapkan adanya partisipasi, kolaborasi dan sinergi yang berskala internasional.
Para perupa mengapresiasi kehadiran Nata-Citta Art Space (N-CAS) sebagai ruang dengan fasilitas yang terbilang representatif untuk penyelenggaraan perhelatan seni rupa nasional bahkan internasional. Keberadaannya dalam naungan lembaga pendidikan seni ISI Denpasar memiliki arti tersendiri, dipandang bernilai strategis karena memungkinkan terjadinya kolaborasi dan sinergi penciptaan seni yang bersifat lintas bidang dan lintas bangsa. Selain itu, sinergi penciptaan tersebut diyakini akan dapat diakselerasi lebih dinamis karena dibarengi upaya kajian komprehensif secara akademis.
“Fasilitas atau tempat pameran ini sangat bagus dan representatif untuk skala internasional. Saya berharap dapat menyelenggarakan pameran foto yang diikuti fotografer-fotografer bereputasi dari berbagai bangsa. Ini memungkinkan untuk diwujudkan, justru karena Nata-Citta Art Space (N-CAS) ini berada di bawah pengelolaan institusi seni,“ ujar fotografer Prancis Aimery Joëssel, yang karyanya juga turut dalam pameran Bali-Bhuwana Rupa ini.
Putu Wirantawan, perupa dari Jembrana yang memiliki berbagai prestasi dan pengalaman pameran internasional, juga menyampaikan hal senada. Dia dengan antusias menyambut pameran Bali-Bhuwana Rupa dengan menghadirkan karya bertajuk ‘The Wandering Soul’ berukuran 381 cm x 244 cm. “Saya mengapresiasi ruang pameran di ISI Denpasar ini, bukan hanya fasilitasnya yang bagus melainkan juga dapat menampung jumlah karya yang banyak, termasuk yang berukuran besar sebagaimana karya saya,” kata alumni Seni Rupa ISI Jogjakarta dan peraih penghargaan First Prize Jakarta Art Awards 2010 ini.
Mewakili kurator pameran, Warih Wisatsana, mengungkapkan bahwa sejumlah perupa hadir dengan karya-karya dua dimensi atau lukisan dengan capaian cemerlang dan mengesankan. Karya-karya mereka membuktikan kematangan dengan proses cipta yang telah teruji waktu, di mana tak ada lagi halangan secara estetik-stilistik dalam menanggapi tematik. Mereka antara lain Ketut Budiana, Nyoman Erawan, Wayan Karja, I Made Bendi Yudha, I Wayan Gulendra, I Wayan Setem, Made Sumadiyasa, Made Wiradana, Putu Wirantawan, I Wayan Adnyana, I Made Ruta, Wayan Sujana ‘Suklu’, Sujana Kenyem, Made Gunawan, I Nyoman ‘Polenk’ Rediasa, Diwarupa, Galung Wiratmaja, I Wayan Adi Sucipta, termasuk Ni Kadek Karuni yang mengemuka dengan seni rajutnya.
Pematung Keiji Ujiie (Jepang) dan Filippos Bourbo (Yunani) juga menghadirkan karya yang bersifat simbolik-metaforik, meski terbaca dalam wujud rupa pilihannya suatu cara pandang penciptaan yang berbeda dari pematung-pematung Bali di atas. Kepiawaian Keiji Ujiie dan Filippos Bourbo dalam mengolah media/medium, lebih didasari cara pandang yang menempatkan subjek pencipta sebagai pusat kreativitas. Melalui karyanya, Filippos mengedepankan sosok rupa yang mengingatkan pada simbol esoteris, atau eksplorasi simbol kosmis. Sedangkan Keiji Ujiie mengolah bentuk pilihannya secara sublim, hadir sebagai karya simbolik yang imajinatif, mengekspresikan kisahan mitologi burung Phoenix sebagai lambang keabadian atau hidup yang immortal. Seturut itu layak pula disimak karya fotografi Ted van der Hulst (Belanda) dan woodcut print dari pegrafis Paul Trinidad (Australia).
Demikian pula pada karya-karya keramik, Ketut Muka Pendet, Rai Wahyudi dan Ida Ayu Artayani tidak tergoda untuk menjadikan tema pameran kali ini sebagai sebentuk pengucapan rupa. Karya keramik mereka justru menegaskan bagaimana kecakapan teknis telah menjadi sesuatu yang organis dalam proses cipta mereka. Karya fashion design juga menawarkan kreativitas yang tidak biasa, seperti karya Tjokorda Gede Abinanda (Tjok Abi), Tjok Ratna Cora Sudarsana, Dewa Ayu Putu Leliana Sari, dan Yuni Diantari; juga menyuguhkan sentuhan penciptaan yang lintas batas; melampaui kemilau glamor, menegaskan keautentikan karya yang mempribadi. *
Sebagaimana perhelatan pertama tahun 2021, penyelenggaran kali kedua ini ada dalam naungan Festival Internasional Bali Padma Bhuwana, yang mengedepankan upaya inovasi-kreativitas serta berorientasi kepedulian pada lingkungan (Recent, Innovative and Environment-Oriented). Bila pameran terdahulu sepenuhnya disajikan secara virtual (daring), kali ini hadir langsung di ruang pameran (luring) sekaligus memaknai purna pugar (renovasi) Gedung Nata-Citta Art Space (N-CAS) ISI Denpasar, berlangsung hingga 8 Januari 2023.
International Art Exhibition yang dikuratori oleh Nyoman Dewi Pebryani PhD, Warih Wisatsana, dan Wicaksono Adi ini bukan hanya menghadirkan karya lukis namun juga fotografi, keramik, patung, topeng, seni serat, dan fashion design, berikut kreativitas yang mendayagunakan kecanggihan aplikasi teknologi informasi (TI). Masing-masing seniman ini dapat dirunut jejak kreativitasnya dalam mengelaborasi aneka rupa dan tematik melalui beragam media/medium, terbukti melahirkan kemungkinan penciptaan yang serba unik autentik.
Rektor ISI Denpasar, Prof Dr Wayan ‘Kun’ Adnyana, menyampaikan apresiasi setingginya atas partisipasi seniman-seniman mumpuni lintas bangsa pada perhelatan seni rupa ini. Menurut Prof Kun Adnyana, kehadiran mereka, yang memiliki reputasi dan pengalaman panjang penciptaan, selaras semangat penyelenggaraan Festival Bali-Padma Bhuwana yang mengharapkan adanya partisipasi, kolaborasi dan sinergi yang berskala internasional.
Para perupa mengapresiasi kehadiran Nata-Citta Art Space (N-CAS) sebagai ruang dengan fasilitas yang terbilang representatif untuk penyelenggaraan perhelatan seni rupa nasional bahkan internasional. Keberadaannya dalam naungan lembaga pendidikan seni ISI Denpasar memiliki arti tersendiri, dipandang bernilai strategis karena memungkinkan terjadinya kolaborasi dan sinergi penciptaan seni yang bersifat lintas bidang dan lintas bangsa. Selain itu, sinergi penciptaan tersebut diyakini akan dapat diakselerasi lebih dinamis karena dibarengi upaya kajian komprehensif secara akademis.
“Fasilitas atau tempat pameran ini sangat bagus dan representatif untuk skala internasional. Saya berharap dapat menyelenggarakan pameran foto yang diikuti fotografer-fotografer bereputasi dari berbagai bangsa. Ini memungkinkan untuk diwujudkan, justru karena Nata-Citta Art Space (N-CAS) ini berada di bawah pengelolaan institusi seni,“ ujar fotografer Prancis Aimery Joëssel, yang karyanya juga turut dalam pameran Bali-Bhuwana Rupa ini.
Putu Wirantawan, perupa dari Jembrana yang memiliki berbagai prestasi dan pengalaman pameran internasional, juga menyampaikan hal senada. Dia dengan antusias menyambut pameran Bali-Bhuwana Rupa dengan menghadirkan karya bertajuk ‘The Wandering Soul’ berukuran 381 cm x 244 cm. “Saya mengapresiasi ruang pameran di ISI Denpasar ini, bukan hanya fasilitasnya yang bagus melainkan juga dapat menampung jumlah karya yang banyak, termasuk yang berukuran besar sebagaimana karya saya,” kata alumni Seni Rupa ISI Jogjakarta dan peraih penghargaan First Prize Jakarta Art Awards 2010 ini.
Mewakili kurator pameran, Warih Wisatsana, mengungkapkan bahwa sejumlah perupa hadir dengan karya-karya dua dimensi atau lukisan dengan capaian cemerlang dan mengesankan. Karya-karya mereka membuktikan kematangan dengan proses cipta yang telah teruji waktu, di mana tak ada lagi halangan secara estetik-stilistik dalam menanggapi tematik. Mereka antara lain Ketut Budiana, Nyoman Erawan, Wayan Karja, I Made Bendi Yudha, I Wayan Gulendra, I Wayan Setem, Made Sumadiyasa, Made Wiradana, Putu Wirantawan, I Wayan Adnyana, I Made Ruta, Wayan Sujana ‘Suklu’, Sujana Kenyem, Made Gunawan, I Nyoman ‘Polenk’ Rediasa, Diwarupa, Galung Wiratmaja, I Wayan Adi Sucipta, termasuk Ni Kadek Karuni yang mengemuka dengan seni rajutnya.
Pematung Keiji Ujiie (Jepang) dan Filippos Bourbo (Yunani) juga menghadirkan karya yang bersifat simbolik-metaforik, meski terbaca dalam wujud rupa pilihannya suatu cara pandang penciptaan yang berbeda dari pematung-pematung Bali di atas. Kepiawaian Keiji Ujiie dan Filippos Bourbo dalam mengolah media/medium, lebih didasari cara pandang yang menempatkan subjek pencipta sebagai pusat kreativitas. Melalui karyanya, Filippos mengedepankan sosok rupa yang mengingatkan pada simbol esoteris, atau eksplorasi simbol kosmis. Sedangkan Keiji Ujiie mengolah bentuk pilihannya secara sublim, hadir sebagai karya simbolik yang imajinatif, mengekspresikan kisahan mitologi burung Phoenix sebagai lambang keabadian atau hidup yang immortal. Seturut itu layak pula disimak karya fotografi Ted van der Hulst (Belanda) dan woodcut print dari pegrafis Paul Trinidad (Australia).
Demikian pula pada karya-karya keramik, Ketut Muka Pendet, Rai Wahyudi dan Ida Ayu Artayani tidak tergoda untuk menjadikan tema pameran kali ini sebagai sebentuk pengucapan rupa. Karya keramik mereka justru menegaskan bagaimana kecakapan teknis telah menjadi sesuatu yang organis dalam proses cipta mereka. Karya fashion design juga menawarkan kreativitas yang tidak biasa, seperti karya Tjokorda Gede Abinanda (Tjok Abi), Tjok Ratna Cora Sudarsana, Dewa Ayu Putu Leliana Sari, dan Yuni Diantari; juga menyuguhkan sentuhan penciptaan yang lintas batas; melampaui kemilau glamor, menegaskan keautentikan karya yang mempribadi. *
1
Komentar