MUTIARA WEDA : Sisi Lain Catur Purusa Artha
Badan yang disebut sarira ini hanya boleh digunakan sebagai alat untuk mencapai Dharma, Artha, Kama, dan Moksa.
“Dharma, artha, kama, moksana sarira sadhanam”.
Brahma Purana 228. 45
Badan diyakini sebagai temple tempat Tuhan bersemayam. Oleh karena demikian, badan mesti dirawat dengan baik. Jika badan bisa dirawat dengan baik, tentu Dia yang bersemayam di dalamnya menjadi senang. Sementara itu, Brahma Purana menyebutkan bahwa badan adalah alat sadhana untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Dikatakan hal yang harus dituju adalah Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Keempat ini adalah tujuan yang hendak diraih melalui badan.
Hanya saja, pandangan ini memiliki interpretasi yang beragam. Interpretasi pertama yang secara umum berlaku adalah keempat itu mesti harus diupayakan untuk diraih. Lebih dalam sedikit, orang mesti mencari Artha dan Kama dengan tidak bertentangan dengan dharma, sehingga moksa bisa diraih. Pemahaman inilah yang secara umum berkembang di masyarakat. Sehingga kekayaan dan kenikmatan bisa diraih sepanjang itu tidak bertentangan dengan Dharma. Dharma di sini memiliki makna aturan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama, tradisi, adat, dan kebiasaan yang ada. Dengan dipatuhinya dharma seperti itu, Artha dan Kama bisa dicari yang pada akhirnya akan mengantar pada Moksha.
Ada interpretasi kedua yang mengatakan bahwa keempat hal tersebut bisa dicari dan diraih disesuaikan dengan jenjang kehidupan. Jika pada masa menuntut ilmu, Dharmalah yang mesti dicari. Pada masa berumah tangga, Artha dan Kama yang menjadi prioritas dengan ketentuan tidak bertentangan dengan dharma. Pada masa Wanaprasta dan Sannyasin, Moksa yang menjadi objek tujuan. Pemahaman ini mengedepankan pada jenjang kehidupan. Hal ini sesuai dengan interpretasi yang diberikan oleh teks Kama Sutra.
Namun, ada interpretasi lainnya yang ketiga, yang narasi besarnya berasal dari kitab Upanisad. Menurut kitab Upanisad, yang menjadi tujuan hidup satu-satunya adalah kembali ke Sangkan Paraning Dumadi (Brahman). Oleh karena itu, hanya Moksha yang bisa menjadi tujuan. Sementara Dharma, Artha dan Kama itu bukan tujuan. Lalu apa? Dharma adalah sesuatu yang telah digariskan untuk dikerjakan. Ketika manusia telah dilahirkan, maka mereka berkewajiban melaksanakan dharmanya di dalam kehidupan ini. Jadi Dharma adalah suatu kewajiban yang inheren di dalam diri manusia yang harus dilaksanakan. Pelaksanaan ini tentu harus sesuai dengan hukum semesta (rta). Melaksanakan dharmanya sendiri itu tujuannya adalah untuk kembali ke asal. Agar manusia mampu menjalankan dharmanya dengan baik di dunia ini, maka diperlukan Artha dan kama sebagai kendaraannya. Artha adalah kendaraan yang digunakan untuk melakukan perjalanan sementara kama adalah bahan bakar yang mendorong kendaraan tersebut agar bisa melaju.
Oleh karena itu, interpretasi yang ketika melihat bahwa Artha dan Kama bukanlah tujuan, melainkan sesuatu yang sangat penting ada hanya sebagai alat untuk meraih tujuan. Artha telah disiapkan oleh alam semesta ini, sementara kama telah ada dan menjadi satu dengan badan dan pikiran kita. Oleh karena itu, Artha dan Kama bisa digunakan sebagai alat sadhana untuk meraih tujuan tertinggi. Jadi tidak ada Artha dan Kama itu hanya dipentingkan dalam masa atau jenjang kehidupan tertentu, sebab sejak lahir sampai mati, Artha dan Kama itu diperlukan.
Atas dasar interpretasi yang ketiga ini, jika hendak dihubungkan dengan interpretasi kedua akan menjadi begini. Saat masa menuntut ilmu, maka belajar dengan baik adalah dharmanya. Saat memasuki grhasta, maka memenuhi kewajiban duniawi seperti bekerja, melakukan yadnya, memenuhi kebutuhan rumah tangga, berderma dan yang lainnya adalah dharmanya. Sementara mereka yang memasuki tahan Wanaprasta, melepaskan diri dari kewajiban duniawi secara bertahap adalah dharmanya. Sementara pada saat memasuki jenjang Sannyasin, melepaskan diri dari keterikatan duniawi sepenuhnya adalah dharmanya. Jadi apapun yang dilakukan pada jenjang-jenjang tersebut pada prinsipnya adalah sadhana. Kualitas sadhana tersebut tidak ditentukan oleh jenis kewajibannya, tetapi intensitas dirinya terhadap pelaksanaan kewajiban tersebut. Jika mereka intens sejak awal, maka sebagai konsekuensinya, tujuan tertinggi akan tercapai, yakni moksa.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
Badan diyakini sebagai temple tempat Tuhan bersemayam. Oleh karena demikian, badan mesti dirawat dengan baik. Jika badan bisa dirawat dengan baik, tentu Dia yang bersemayam di dalamnya menjadi senang. Sementara itu, Brahma Purana menyebutkan bahwa badan adalah alat sadhana untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Dikatakan hal yang harus dituju adalah Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Keempat ini adalah tujuan yang hendak diraih melalui badan.
Hanya saja, pandangan ini memiliki interpretasi yang beragam. Interpretasi pertama yang secara umum berlaku adalah keempat itu mesti harus diupayakan untuk diraih. Lebih dalam sedikit, orang mesti mencari Artha dan Kama dengan tidak bertentangan dengan dharma, sehingga moksa bisa diraih. Pemahaman inilah yang secara umum berkembang di masyarakat. Sehingga kekayaan dan kenikmatan bisa diraih sepanjang itu tidak bertentangan dengan Dharma. Dharma di sini memiliki makna aturan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama, tradisi, adat, dan kebiasaan yang ada. Dengan dipatuhinya dharma seperti itu, Artha dan Kama bisa dicari yang pada akhirnya akan mengantar pada Moksha.
Ada interpretasi kedua yang mengatakan bahwa keempat hal tersebut bisa dicari dan diraih disesuaikan dengan jenjang kehidupan. Jika pada masa menuntut ilmu, Dharmalah yang mesti dicari. Pada masa berumah tangga, Artha dan Kama yang menjadi prioritas dengan ketentuan tidak bertentangan dengan dharma. Pada masa Wanaprasta dan Sannyasin, Moksa yang menjadi objek tujuan. Pemahaman ini mengedepankan pada jenjang kehidupan. Hal ini sesuai dengan interpretasi yang diberikan oleh teks Kama Sutra.
Namun, ada interpretasi lainnya yang ketiga, yang narasi besarnya berasal dari kitab Upanisad. Menurut kitab Upanisad, yang menjadi tujuan hidup satu-satunya adalah kembali ke Sangkan Paraning Dumadi (Brahman). Oleh karena itu, hanya Moksha yang bisa menjadi tujuan. Sementara Dharma, Artha dan Kama itu bukan tujuan. Lalu apa? Dharma adalah sesuatu yang telah digariskan untuk dikerjakan. Ketika manusia telah dilahirkan, maka mereka berkewajiban melaksanakan dharmanya di dalam kehidupan ini. Jadi Dharma adalah suatu kewajiban yang inheren di dalam diri manusia yang harus dilaksanakan. Pelaksanaan ini tentu harus sesuai dengan hukum semesta (rta). Melaksanakan dharmanya sendiri itu tujuannya adalah untuk kembali ke asal. Agar manusia mampu menjalankan dharmanya dengan baik di dunia ini, maka diperlukan Artha dan kama sebagai kendaraannya. Artha adalah kendaraan yang digunakan untuk melakukan perjalanan sementara kama adalah bahan bakar yang mendorong kendaraan tersebut agar bisa melaju.
Oleh karena itu, interpretasi yang ketika melihat bahwa Artha dan Kama bukanlah tujuan, melainkan sesuatu yang sangat penting ada hanya sebagai alat untuk meraih tujuan. Artha telah disiapkan oleh alam semesta ini, sementara kama telah ada dan menjadi satu dengan badan dan pikiran kita. Oleh karena itu, Artha dan Kama bisa digunakan sebagai alat sadhana untuk meraih tujuan tertinggi. Jadi tidak ada Artha dan Kama itu hanya dipentingkan dalam masa atau jenjang kehidupan tertentu, sebab sejak lahir sampai mati, Artha dan Kama itu diperlukan.
Atas dasar interpretasi yang ketiga ini, jika hendak dihubungkan dengan interpretasi kedua akan menjadi begini. Saat masa menuntut ilmu, maka belajar dengan baik adalah dharmanya. Saat memasuki grhasta, maka memenuhi kewajiban duniawi seperti bekerja, melakukan yadnya, memenuhi kebutuhan rumah tangga, berderma dan yang lainnya adalah dharmanya. Sementara mereka yang memasuki tahan Wanaprasta, melepaskan diri dari kewajiban duniawi secara bertahap adalah dharmanya. Sementara pada saat memasuki jenjang Sannyasin, melepaskan diri dari keterikatan duniawi sepenuhnya adalah dharmanya. Jadi apapun yang dilakukan pada jenjang-jenjang tersebut pada prinsipnya adalah sadhana. Kualitas sadhana tersebut tidak ditentukan oleh jenis kewajibannya, tetapi intensitas dirinya terhadap pelaksanaan kewajiban tersebut. Jika mereka intens sejak awal, maka sebagai konsekuensinya, tujuan tertinggi akan tercapai, yakni moksa.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
Komentar