Badung Diminta 'Serok' Wisatawan, Jangan Pilih-Pilih
MANGUPURA, NusaBali.com – Pemkab Badung disarankan untuk tidak berfokus pada strategi pariwisata MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) tourism saja sehingga mengesampingkan perspektif mass tourism.
Di masa yang masih penuh dengan ketidakpastian ini, menarik wisatawan tanpa mengotak-kotakkan kualitasnya dinilai lebih realistis dilakukan.
Pendapat dan saran kepada Pemkab Badung ini disampaikan oleh akademisi Universitas Udayana (Unud) Prof Dr I Wayan Ramantha SE MM Ak dan Ketua PHRI Badung I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya. Usulan ini disampaikan kedua tokoh tersebut dalam acara Badung Economic Outlook 2023 yang digelar pada Rabu (14/12/2022) di Puspem Badung.
Saran dan masukan ini merespons pernyataan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho yang menyebutkan Pemkab Badung dapat memfokuskan MICE tourism lantaran dipastikan mendongkrak PAD.
Namun, menurut Prof Ramantha, pariwisata yang berbasis MICE cenderung akan menguntungkan pemain besar saja. Lantaran pengusaha MICE di Bali dikatakan tidak ada atau sangat sedikit sekali orang lokal Badung yang bermain di ranah ini.
“Saran saya untuk pertumbuhan Badung yang berkualitas. Kalau dibahasakan secara sederhana, saup gen malu (diserok saja dulu). Ne berkualitas datang, astungkara. Ne cenik-cenik jek saup gen malu sakadi nyau (yang kecil juga diserok saja dulu seperti menyerok ikan). Ne cenik-cenik nu dadi anggo gerang (yang kecil masih bisa dijadikan ikan teri kering),” ungkap Prof Ramantha.
Menurut guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unud ini, selama belasan tahun berkecimpung sebagai komisaris ITDC, belum ada satupun krama Badung yang punya Bisnis MICE.
Bisnis pariwisata krama Badung dikatakan berupa vila dan hotel yang berada di gang-gang alias bisnis perhotelan kecil dan menengah. Apabila, pola mass tourism yang lebih banyak dianut krama Badung ini tidak dihiraukan Pemkab maka krama Badung sendirilah yang merasakan getahnya. Alih-alih berorientasi peningkatan PAD, kesejahteraan pengusaha Badung sendiri yang dipertaruhkan.
Pendapat Prof Ramantha pun diperkuat oleh Rai Suryawijaya selaku ketua PHRI Badung. Menurut Rai, Badung tidak dipungkiri memang menjadi pusat MICE pasca perhelatan MICE tingkat global yakni KTT G20. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadi alasan bagi Badung untuk hanya berfokus pada satu strategi bisnis pariwisata.
Senada dengan Prof Ramantha, keacuhan terhadap mass tourism yang sebagian besar dilakukan krama Badung dapat membunuh ekonomi rakyat sendiri. Lantaran bisnis pariwisata mereka lebih banyak berskala kecil hingga menengah.
“Saya rasa Badung harus bisa buka ke any market, any budget (wisatawan manapun dengan daya beli seberapa pun),” ujar Rai Suryawijaya.
Mass tourism seperti leisure alias kegiatan wisata pada umumnya, lanjut Rai, juga tidak kalah dari segi tingkat pengeluaran wisatawan meskipun masih di bawah MICE tourism. Akan tetapi, mass tourism biasanya memiliki length of stay atau durasi tinggal lebih panjang.
Menengok statistik investasi pariwisata di Bali saat ini mencapai angka Rp 900 triliun. Dari angka tersebut hanya 10 persen saja yang dimiliki oleh krama Bali. Oleh karena itu, keberadaan mass tourism membantu mengisi hotel dan vila yang masih dikelola swadaya oleh krama Bali ketimbang MICE yang menguntungkan kapitalis.
Kedua tokoh ini sama-sama mengakui bahwa untuk menjaga pertumbuhan yang baik di Badung yakni diproyeksikan rata-rata 5,2 persen pada tahun 2023 perlu dilakukan beberapa langkah awal. Lantaran, angka tersebut masih di bawah rata-rata sebelum pandemi yakni 6,2 persen.
Prof Ramantha menyarankan sangat perlu dukungan stimulus bagi pelaku pariwisata dari kalangan krama Badung. Hal ini dapati dilakukan melalui reinvestasi seperti modal beroperasi kembali, pelatihan ulang karyawan, dan renovasi. Tentunya hal ini tidak akan bisa dilakukan tanpa PAD yang solid melalui pajak.
“Oleh karena itu suasana yang kondusif sangat diperlukan. Kuncinya adalah kolaborasi. Tan hana wong sakti sinunggal (tidak ada orang sakti/hebat sendirian),” tandas Rai Suryawijaya.
Komentar