Kisah I Made Rai Suweca Tentang Panggilan Niskala Sebelum Melakoni Balian Usadha
Sempat Bertangguh Ngiring, Ekonomi Kacau dan Sakit-sakitan
Rai Suweca mulanya tidak tahu menahu akan didapuk niskala ngemargiang pengusadha, karena memang tidak ada niat dan kalau bisa mau menghindari kewajiban itu.
DENPASAR, NusaBali
Petunjuk niskala memang tidak terduga seperti yang dialami I Made Rai Suweca,57. Warga asal Banjar Gede, Kelurahan Sempidi, Kecamatan Mengwi, Badung ini sekarang ngiring sebagai pengusada atau balian usada. Dia sejatinya tak menginginkan menjadi seorang pengusada/balian. Namun menurut penuturannya, niskala mewajibkan dia ngiring. Karenanya pria yang berlatar belakang sarjana pertanian alumni Fakultas Pertanian Unud ini melakoni ‘tugasnya’ ngayah membantu warga atau orang yang datang meminta tolong penyembuhan dari bermacam penyakit.
“Saya sudah ngiring sejak umur 30 tahun,” ungkap Rai Suweca di sela-sela Deklarasi Usaha UD Tri Hita Karya di Banjar Kwanji, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Selasa (13/12). Namun ngemargiang (menjalankan) pengusadha dia lakoni setelah usia 57 tahun. Jadi selama 27 tahun dia metanggeh (bertangguh).
Rai Suweca pada mulanya tidak tahu menahu akan didapuk niskala ngemargiang pengusadha. Karena memang tidak ada niat. Malah, kalau bisa mau menghindari kewajiban niskala itu. Hal itu berawal dari mimpi. Tak hanya sekali. Namun beberapa kali dan berulang-ulang. Dalam bermimpi dia dilatih meracik tamba (obat).
“Kalau orang sakit begini, obatnya ini, kalau sakit begini obatnya ini ” ungkap dia tentang mimpi aneh yang dia alami dulu. Karena mimpi aneh itu, Rai Suweca mengaku takut. “Beh ne dadi balian be semengan (Wah ini jadi balian sudah paginya, Red),” ungkap dia tentang perasaannya pasca mimpi belajar meracik usadha (obat). Namun Rai Suweca tak langsung mengikuti petunjuk niskala itu. Makanya dia bertangguh, terus menundanya.
Barangkali karena sudah waktunya harus ngiring, namun Rai Suweca tak kunjung menjalankan petunjuk niskala tersebut, dia dan keluarganya tertimpa persoalan. Ekonomi keluarganya kacau, morat-marit. Demikian juga masalah kesehatan, anggota keluarga alami sakit-sakitan. Karena itulah dia akhirnya melaksanakan petunjuk niskala, ngiring matetamban (melakoni pengobatan).
“Dari segi ekonomi, dibuka. Kita ada pendapatan. Demikian juga masalah kesehatan. Kita sehat semua,” ungkap Rai Suweca tentang gejala positif perubahan yang dia alami setelah ngiring melakoni usadha. Di rumahnya di Banjar Gede, Kelurahan Sempidi kini Rai Suweca melakoni kewajiban membantu orang yang datang nunas tamba. Dari penyakit medis seperti kanker dan lainnya sampai penyakit non medis. Dia melakoni ‘tugas ngayah’ mulai pukul 18.00 Wita hingga selesai. Hal itu dilakukan sore hari, sebab pada siang hari Rai Suweca melakoni kegiatan pokoknya, di antaranya kerja sebagai kontraktor dan pekerjaan lainnya. “Kecuali pasah, baru tiyang tidak ngayah,” ungkapnya.
Rai Suweca sangat percaya, pengobatan yang dia lakoni karena ada bantuan niskala. “Beliau maha tahu segalanya,” kata pria 5 bersaudara ini. Bahan-bahan obat yang dipakai Rai Suweca diusahakan ditanam sendiri di rumahnya. Namun juga kalau boleh dibeli, ya dibeli. Di antaranya ginseng, bunga rosela, teh hijau, jahe dan lainnya.
Warga yang datang minta tolong dibantu kesembuhan oleh Rai Suweca, juga banyak dari luar daerah, selain dari Bali. Keluhannya juga macam-macam. Ada keluhan kanker seperti kanker serviks, kanker paru-paru, getah bening, termasuk dokter juga ada yang meminta pengobatan kepada Rai Suweca. *k17
1
Komentar