Tari Sakral Endemik Batuan Sebagai Penetralisir Sasih Gering
1.000 Penari Rejang Sutri Tampil Memukau Saat ‘Sahasra Warsa Batuan’
Tradisi yang diwarisi secara turun temurun ini pantang ditiadakan, termasuk saat pandemi Covid-19, pementasan tetap digelar dengan mentaati protokol kesehatan.
GIANYAR, NusaBali
Tarian sakral Rejang Sutri dipentaskan secara massal di Jaba sisi Kelod Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar pada Redite Pon Julungwangi, Minggu (18/12) pukul 16.00 Wita. Tak main-main, tarian endemik ini diperagakan oleh 1.000 penari dari kalangan pemudi dan ibu PKK se Desa Batuan yang mengenakan setelan putih kuning. Angka 1.000 menjadi spesial dalam rangka memperingati Sahasra Warsa Batuan, 1.000 Tahun ditulisnya Prasasti Baturan (26 Desember 1022-26 Desember 2022).
Bendesa Adat Batuan I Nyoman Megawan didampingi Pangliman I Wayan Sudha menjelaskan Rejang Sutri merupakan tarian sakral yang berfungsi sebagai penolak bala. Tarian ini dipentaskan setiap malam mulai Rahina Kajeng Kliwon Enyitan Sasih Kalima sampai Ngembak Gni, sehari setelah hari suci Nyepi atau sekitar bulan November sampai bulan Maret tahun berikutnya.
Pementasan ini berlangsung setiap malam di wantilan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan. Tradisi yang diwarisi secara turun temurun ini pantang ditiadakan. Termasuk dalam situasi pandemi Covid-19, pementasan tetap digelar dengan mentaati protokol kesehatan. Nyoman Megawan menjelaskan, Rejang Sutri diyakini sebagai penetralisir sasih gering yang ditandai dengan berjangkitnya berbagai macam penyakit. Cikal bakal dipentaskannya Rejang Sutri, diperkirakan bermula pada abad ke 17 sekira Tahun 1658.
Adalah Ida Sri Aji Maha Sirikan menduduki tahta kerajaan Timbul yang diberikan oleh Raja Mengwi. Sebelum menduduki tahta, beliau terlebih dahulu meninjau wilayah. Dalam peninjauan tersebut terdengar masih ada pengikut Balian Batur yang bernama Gede Mecaling tinggal di Tegalinggah Banjar Jungut. Gede Mecaling terkenal suka mengusik ketentraman masyarakat, sehingga bermaksud diusir. Sri Aji Maha Sirikan kemudian memerintahkan I Dewa Babi untuk mengusir Gede Mecaling. Singkat cerita, terjadi adu kesaktian antara Dewa Babi dengan Gede Mecaling. Dengan perjanjian, barang siapa yang kalah harus bersedia diusir dari daerah Batuan.
Adu kesaktian tersebut menggunakan sarana 2 babi guling. Ada yang diikat dengan tali kulit pohon pisang (upas) dan benang. Gede Mecaling memilih babi guling yang diikat upas.
Sedangkan Dewa Babi memilih yang diikat dengan tali benang. Tali pengikat yang terbakar dinyatakan kalah. Ternyata, tali pengikat yang terbakar adalah milik Gede Mecaling sehingga dinyatakan kalah. Atas perjanjian yang telah disepakati, Gede Mecaling keluar dari Desa Batuan pergi ke wilayah Nusa Penida, namun dengan rasa dendam dan emosi. Gede Mecaling mengeluarkan pastu, bahwa setiap mulai sasih Kalima akan kembali datang ke Desa Batuan bersama rencang-rencangnya untuk berbuat keonaran. Pastu inilah yang membuat cemas masyarakat Desa Batuan. Oleh masyarakat Batuan rasa cemas tersebut ditangkal dengan cara melakukan persembahyangan ke Pura Desa.
Krama Lanang berkumpul menggelar gocekan, adu ayam. Diyakini rencang-rencang Gede Mecaling klangen dan terhibur dengan aksi adu ayam, sehingga melupakan emosinya untuk berbuat onar. Sementara krama istri, menghilangkan rasa cemas dengan menari sepanjang malam. Mereka menari dengan perasaan tenang, gembira dan hilang dari kecemasan. Para perempuan menari menurut irama yang teratur dengan gerak tari halus, lemah lembut.
Masyarakat Desa Batuan yakin ketika Tari Rejang Sutri dipentaskan, Gede Mecaling yang hendak datang meresahkan masyarakat menjadi mengurungkan niatnya, karena terpesona dengan adanya tarian ini. "Yang dipuja saat menari yakni Sang Hyang Dedari, sehingga setiap perempuan yang menari Sutri ketika dilihat oleh rencang-rencangnya Gede Mecaling seperti bidadari. Ini juga yang membuat dendam Gede Mecaling luluh," jelasnya.
Jaman dulu, pementasan Tari Rejang Sutri digelar sampai subuh. Karena diyakini, rencang-rencangnya Gede Mecaling akan pergi saat ayam berkokok pertanda hari telah pagi. Sejak saat itulah, Gocekan dan Rejang Sutri digelar setiap hari selama sasih gering. Kini, meski telah mengalami perkembangan jaman, pementasan tetap digelar sesuai pakem. Yang membedakan hanya kedatangan krama untuk ngayah Gocekan maupun Rejang Sutri.
"Untuk mempertahankan tradisi ini, krama ngayah dengan sistem giliran. Per hari, biasanya sekitar 50 krama istri," jelasnya. Pada rerainan tertentu, seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem dan lainnya Rejang Sutri digelar lebih meriah. Yakni para krama istri mepayas atau berhias. Biasanya, Anak-anak perempuan tertarik ikut ngayah Rejang Payas. Sehingga sebagai hadiah sekaligus motivasi, Desa Adat Batuan memberikan alat tulis berupa buku, pensil dan pulpen. Tradisi ini mesineb atau berakhir, ditandai dengan pementasan terakhir setiap Ngembak Gni atau sehari setelah Hari Suci Nyepi.
Sementara itu, Perbekel Batuan Ari Anggara menambahkan Sahasra Warsa Batuan akan dimeriahkan dengan kegiatan kebudayaan selama 9 hari penuh dalam balutan festival. "Akan dimulai pada 18 Desember 2022 hingga 26 Desember 2022 sebagai Puncak Rangkaian yang merupakan tanggal dimana prasasti dianugrahkan Raja sekitar seribu tahun yang lalu," jelasnya.
Rangkaian kegiatan kebudayaan dimulai pada 18 Desember dengan Pementasan Seribu Tari Rejang Sutri yang merupakan tarian endemik Batuan, Pembukaan Pameran Produk Ukir, Lukis, Topeng, Keris, Kerajinan Terbarukan dan Lomba Baleganjur se Bali di Panggung Purbakala, Baturan Art Space dan Jaba Sisi Kelod Pura Puseh Desa Batuan. Selanjutnya ada kegiatan Widyatula (Seminar) tentang Kesejarahan Batuan, Widyatula (Seminar) tentang Seni Lukis Gaya Batuan, tentang Topeng, Warna Bali dan Keris, aneka lomba, hiburan musik, dan kuliner.
Pada peringatan Puncak Sahasra Warsa Batuan dengan mengundang tokoh-tokoh Nasional di Panggung Utama yang akan dibangun di Jaba Sisi Kelod Pura Puseh Desa Adat Batuan. "Sampai hari ini, sementara beberapa tokoh Nasional menyatakan siap hadir untuk Bersama-sama menjadi saksi bahwa Desa Batuan akan tepat memasuki tahun ke seribunya," ujarnya.
Salah satu penari, Ni Wayan Sekariani, 60, mengatakan sangat bangga bisa ikut terlibat dalam momentum peringatan Sahasra Warsa Batuan. "Bangga bisa berpartisipasi di momen langka ini," jelasnya. Selaku pembina Rejang Sutri Batuan, Sekariani berusaha mempertahankan pakem gerak tari yang telah diwarisi turun temurun. "Kita tidak berani menambah apalagi mengurangi, gerakannya simpel. Mudahan generasi kedepan bisa menjaga tradisi ini," harapnya. 7 nvi
Komentar