5 Mahasiswa Seni Karawitan ISI Denpasar Mentas di Desa Blahkiuh
Tampilkan Hasil Diseminasi Karya Seni Proyek Independen MBKM di Tiga Sanggar Seni
Bertempat di Wantilan Pura Dalem Desa Adat Blahkiuh di Banjar Ulapan II, lima orang siswa semester tujuh Seni Karawitan menampilkan hasil kolaborasi Diseminasi Karya Seni Proyek Independen. Kelima garapan menggunakan kombinasi alat musik Bali ini dipentaskan di hadapan dosen pembina dan tokoh serta masyarakat Desa Blahkiuh.
I Ketut Muka Pendet, Wakil Rektor II Bidang Keuangan dan Umum ISI Denpasar menjelaskan bahwa pementasan karya merupakan bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Selain itu, karya yang dihasilkan oleh kelima mahasiswa juga bagian dari tugas akhir mahasiswa.
“Dalam MBKM ini, mahasiswa boleh memilih opsi merdeka belajar seperti penelitian, magang, proyek independen, dan lainnya. Untuk yang dipentaskan saat ini merupakan garapan tabuh hasil dari proyek independen,” tutur Ketut Muka di sela-sela menghadiri acara.
Luaran dari belajar langsung di lapangan tersebut merupakan sebuah garapan tabuh yang dibawakan oleh mahasiswa penggarap dan anggota sanggar yang diajak bermitra. Hasil garapan tersebut menjadi tugas akhir dan dinilai secara proses maupun secara karya oleh dewan pembina dan oleh mitra.
Kelima mahasiswa semester tujuh Seni Karawitan yang pentas pada Selasa malam adalah IB Gede Angga Prabawa Manuaba dan I Putu Agus Kumara Dinata dari Desa Blahkiuh. Kemudian ada Dewa Gede Weda Astawa dari Desa Sangeh, I Putu Agus Mertayasa dari Desa Petang, dan I Made Andika Candra Wigraha dari Desa Banjar Anyar, Kediri, Tabanan.
Dari proyek independen yang diikuti oleh lima mahasiswa ini, ada tiga sanggar seni yang diajak bermitra. Sanggar Seni Guntur Madu di Desa Pangsan, Petang membina tiga mahasiswa yakni Gus Angga, Agus Dinata, dan Agus Mertayasa.
Kemudian, Sanggar Seni Taksu Agung di Kelurahan Kapal, Mengwi membina Dewa Astawa, dan Sanggar Seni Manik Sidhi di Desa Adat Jempeng, Desa Taman, Abiansemal yang membina Andika Candra.
“Kemudian kami pusatkan untuk lima orang mahasiswa ini pementasan garapannya dilakukan di Desa Blahkiuh terutama di Wantilan Pura Dalem ini yang lokasinya menjorok ke sawah dan cukup jauh dari pemukiman sehingga tidak mengganggu,” ungkap Gus Angga sebelum tampil pada selot ketiga.
Meskipun dikatakan jauh dari pemukiman, kelima hasil garapannya yang ditampilkan pun sukses menyedot penonton dan berhasil memukau warga setempat yang hadir.
Setiap peserta proyek menampilkan karya yang memiliki kekhasan sendiri. Kekhasan tersebut dapat berasal dari jumlah jenis instrumen yang dipakai seperti karya Maha Aksa oleh Andika Candra yang mengombinasikan sedikitnya tujuh jenis instrumen tradisional Bali dan diikuti modifikasi teknik pemakaian.
Ada pula yang memakai set gamelan repertoar seperti Semar Pegulingan bertajuk Ampas Angker oleh Agus Mertayasa. Namun, uniknya terdapat panggul gamelan yang kedua ujungnya tumpul. Satu ujung bermedium pukul kayu di ujung lainnya dilapisi karet sehingga penabuh bisa mengubah bunyi nyaring dari pukulan kayu menjadi bunyi bulat dengan pukulan karet dalam sekejap.
Hal senada pun dilakukan oleh Gus Angga lewat garapannya Sabda Hita, bedanya semua panggul gamelan dilapisi karet. Sesuai makna garapannya yakni ‘suara yang membahagiakan’, bunyi yang dihasilkan dari garapan Gus Angga pun bulat dan menenangkan.
Selain dari segi instrumen ada pula yang mengangkat tradisi setempat seperti karya Agus Dinata bertajuk Grebeg Singasari. Garapan ini terinspirasi dari tradisi ngrebeg di Pura Luhur Giri Kusuma, pura peninggalan Kerajaan Singhasari di depan Pasar Adat Blahkiuh. Tidak lupa ditambahkan vokal berupa kakidungan dan sloka.
Sementara itu, Camat Abiansemal IB Putu Mas Arimbawa mengapresiasi dan bersyukur bahwa Kecamatan Abiansemal khususnya Desa Blahkiuh telah dipilih sebagai tempat pementasan garapan proyek independen. Lebih-lebih ada dua putra daerah yang juga ikut menampilkan karyanya.
“Acara ini sangat baik sekali untuk melestarikan dan melahirkan seniman baru. Namun, akan lebih baik lagi apabila acara sebaik ini dirangkaikan dengan puja wali di Pura Kahyangan Tiga agar bisa jadi hiburan krama lebih luas,” saran Arimbawa.
Atas saran tersebut, I Ketut Muka Pendet selaku Wakil Rektor II ISI Denpasar membalas bahwa hal tersebut mungkin saja dilakukan namun akan cukup sulit lantaran mahasiswa dibatasi waktu. Ada periode khusus yang harus dijalani mahasiswa mulai dari mencari mitra hingga mementaskan hasil kolaborasi.
Sedangkan waktu puja wali pun baku sesuai penanggalan Bali. Oleh karena itu, merangkaikan pementasan garapan dengan piodalan sekaligus menghibur serta mengedukasi krama soal seni karawitan mungkin saja dilakukan. Dengan catatan, terjadi pertemuan atau berdekatan antara waktu pementasan dengan rahina piodalan. *rat
Komentar