IGAK Sudaratmaja Sebut Ayahanda Anak Lingsir Gelitik
MANGUPURA, NusaBali.com – Bendesa Adat Blahkiuh I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja menyebut sang ayahanda sekaligus konseptor Tri Hita Karana, I Gusti Ketut Kaler, sebagai ‘anak lingsir gelitik’.
Menurut Kamus Bahasa Bali-Indonesia dari Balai Bahasa Provinsi Bali, ‘gelitik’ bermakna ‘suka memerhatikan hal-hal kecil’ atau ‘suka memungut sesuatu yang kecil-kecil namun berguna’. Dalam arti lain, ‘anak lingsir gelitik’ ini bermakna orang tua yang suka memerhatikan sesuatu yang jarang diperhatikan orang lain.
Menyebut sang ayahanda sebagai ‘anak lingsir gelitik’ bukannya tanpa alasan bagi Sudaratmaja. Sebab, IGK Kaler hanya seorang lulusan SLTP namun gemar menjadi pemikir dan pemerhati nilai adat di Bali. Hasil pemikirannya ini kemudian ditulis menjadi naskah dan ada pula yang dibukukan.
“Kalau di pagi hari terdengar mesin tik yang ribut dari kamar Beliau, itu pertanda bahwa Beliau sedang sangat sehat,” ujar Sudaratmaja saat mengilas balik memori dan peninggalan sang ayah di hadapan hadirin seminar tentang Tri Hita Karana di Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal, belum lama ini.
Sebutan ‘anak lingsir gelitik’ ini semakin relevan tat kala Sudaratmaja mewarisi dokumen dengan ratusan judul dari buah pemikiran sang ayahanda. Beberapa di antaranya adalah yang sudah diterbitkan dan sudah dikenal luas oleh kalangan pemerhati adat Bali.
Judul-judul seperti Manik ring Cecupu yang juga disebut sebagai demokrasi ala Bali. Kemudian, judul lain seperti Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? dan kumpulan 187 artikel dalam Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali, serta masih banyak lagi.
Foto: I Gusti Ketut Kaler. -NGURAH RATNADI
“Istilah-istilah dalam ranah adat di Bali itu ditulis sebanyak 187 kali dalam rubrik Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali. Di mana istilah aturan pembuatan pekarangan, isitilah subak, dan lain-lain yang sudah tenggelam itu ada di sana. Niki anak lingsir gelitik,” kata ahli waris IGK Kaler yang juga mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Badung.
Selain ‘gelitik’, dalam memori Sudaratmaja muda, sang ayahanda juga merupakan sosok idealis. Saking idealisnya, ketika ada perspektif yang tidak sejalan dengan nilai yang dipegangnya, televisi pun bisa dimarahi.
Saat ini, Sudaratmaja yang juga penggagas Festival Budaya Petanian Badung ini mengaku sedang memegang dua naskah mentah warisan sang ayahanda. Naskah mentah ini dan beberapa naskah lain, kata panglingsir Jero Bakungan, Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal ini, bakal diajukan ke Pemkab Badung untuk dibukukan.
Selain untuk dibukukan, naskah tersebut pun diyakini bisa menjadi pegangan bagi bendesa adat karena berisikan nilai adat Bali yang sudah terpola dengan filosofi Tri Hita Karana.
Berkat tabiat ‘gelitik’ sang ayahanda, akademisi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana pada tahun 2015 mengajukan proposal untuk meneliti biografi intelektual IGK Kaler. Namun, Sudaratmaja mempertanyakan basis penelitian tersebut lantaran membawa embel-embel intelektualitas sedangkan sang ayahanda hanya lulusan SLTP.
“Tim peneliti pun menjawab bahwa ada fenomena paradoks atau nungkalik (bertentangan), di mana ayah saya yang hanya lulusan setara SLTP mampu membuahkan pemikiran yang brilian. Tidak seperti seorang profesor doktor yang linear dengan teori yang ada,” ungkap Bendesa Adat Blahkiuh ini.
Ke depan, untuk mengabadikan nilai pemikiran IGK Kaler, Sudaratmaja selaku ahli waris nama besar sang ayahanda berencana menjadikan Jero Bakungan di Desa Blahkiuh menjadi sebuah museum. Kata Sudaratmaja, proposal sudah diajukan ke Pemkab Badung sebelum tahun 2020 namun kemudian terbentur pandemi. Ia cukup optimis, proposal tersebut dapat dibangkitkan lagi. *rat
Komentar