Seluruh Penari Kaum Pria, Desa Adat Jimbaran Jalankan Tradisi Sakral Mepajar
MANGUPURA, NusaBali.com - Desa Adat Jimbaran. Kabupaten Badung, menggelar tradisi sakral Mepajar untuk menjaga kesucian, kesejahteraan, dan keharmonisan warga penyungsung dan wilayah sekitarnya pada Wraspati Umanis Dunggulan, Kamis (5/1/2022) sore.
Mepajar merupakan suatu aktivitas seni yang melibatkan beberapa jenis tarian seperti, tari Barong Ket, Sandaran atau Telek, Jauk serta tari Rangda dan Rarung.
Kesenian Mepajar ini biasa dijumpai di daerah-daerah di seluruh Bali, seperti di daerah Gianyar, Tabanan, Klungkung, Badung, dan Denpasar.
Namun keberadaan kesenian sejenis Mepajar di Bali, dalam pertunjukannya tidaklah sama, karena di masing-masing daerah memiliki ciri khas dan aturan tersendiri dalam penyajiannya.
Untuk pergelaran Mepajar di Desa Adat Jimbaran ini keseluruhan penarinya adalah kaum pria, sama seperti halnya tradisi Mepajar yang dilakukan di Desa Adat Kedonganan, Kuta Selatan.
Tradisi Mepajar yang ada di Desa Adat Jimbaran, Kabupaten Badung, merupakan pertunjukan sakral yang memiliki nilai magis dan unsur ritual, sebagai sungsungan masyarakat Desa Adat Jimbaran.
Kesakralan pertunjukan Mepajar ini sangat dijaga oleh masyarakat Desa Adat Jimbaran. Krama dari 13 Banjar di Desa Adat Jimbaran pun antusias memadati sepanjang jalan raya depan Pura Parerepan saat pelaksanaan tradisi Mepajar, Kamis (5/1/2023).
Apalagi tradisi Mepajar terakhir dilakukan berlangsung enam tahun silam. “Ini tradisi pertamakali setelah pandemi dan tahun 2017 bulan April itu terakhir. Maka dari itu antusiasme masyarakat sangat luar biasanya,” kata Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga saat ditemui di Pura Parerepan, Desa Adat Jimbaran
Karena itulah Bendesa I Gusti Made Rai Dirga menyebut adanya kerinduan masyarakat terhadap tradisi ini. “Karena kita di Hindu mengenal yang namanya dharma agama dan dharma negara. Jadi dharma agama bisa jalan kalau dharma negara memungkinkan, kalau dharma negaranya tidak memungkinkan ya kita tunggu dulu, jadi kita harus tetap disiplin dalam kewajiban kita sebagai warga negara,” tuturnya.
Pertunjukan Mepajar di Desa Adat Jimbaran ini dilangsungkan mulai pukul 16.00 sampai 20.00 Wita diiringi dengan gamelan Bebarongan. Pada akhir pertunjukan Mepajar terjadi kerauhan dan atraksi ngunying yang diikuti oleh 200 orang lebih yang prosesi berikutnya dilanjutkan di Pura Ulun Swi Kahyangan Jagat, Desa Adat Jimbaran.
Pertunjukan ini diawali dengan munculnya tari Sandaran (sejenis dengan tari Telek yang ditarikan secara berkelompok), Telek, Sandar Gede, dilanjutkan dengan pertunjukan tari Barong Ket, Rarung dan Rangda.
Pertunjukan tradisi Mepajar di Desa Adat Jimbaran mempunyai keunikan tersendiri, dimana seluruh pertunjukan ini ditarikan oleh sebanyak 14 orang penari pria.
Dari barisan penari ini, 6 orang penari sebagai Sandar Cenik dan satu orang penari berperan sebagai Telek yang merupakan pemimpin dari kelompok penari Sandar Cenik yang menari dengan dipayungi dan memakai topeng yang sama, namun topeng tersebut memakai hiasan telinga dan hiasan rumbing.
Keunikannya lain yang terlihat adalah adanya 7 orang penari Sandar, namun para penari Sandar Gede ini mempunyai nama yang berbeda dan warna wajah topeng yang berbeda-beda.
Kemudian 2 orang penari Barong Ket, 2 orang penari Rarung perwujudan serba merah dan serba putih, serta 1 orang penari Rangda yang seluruh penarinya warga asli Desa Adat Jimbaran.
Kemudian adanya tokoh-tokoh, gerak tari, kostum, cerita serta fungsi pertunjukan ini sebagai sarana ritual yang bersifat sakral.
“Yang pertama ditarikan adalah tari Sandar dan Oman, kalau di tempat lain namanya Telek dan Jauk. Jumlah penarinya masing-masing 6 orang, untuk Teleknya atau pimpinannya 7 orang yang semuanya laki-laki, yang semuanya remaja putra yang belum berkeluarga,” paparnya.
Nilai-nilai sakral yang terdapat pada Mepajar ini terlihat dari ditempatkannya peralatan yang digunakan seperti topeng dan gelungan di sebuah tempat penyimpanan khusus. Kemudian adanya prosesi upacara yang dilakukan sebelum kesenian ini dipertunjukkan.
Bendesa I Gusti Made Rai Dirga menjelaskan prosesi tradisi ini dimulai dengan persiapan sarana dan prasarana yang memakan waktu selama tiga bulan lamanya.
Selanjutnya seluruh warga Desa Adat Jimbaran akan melanjutkan prosesi tradisi ini pada tanggal 22 Januari 2023 dengan berjalan kaki ke Pura Luhur Uluwatu.
“Jadi seluruh masyarakat pengiring itu akan ngiring Ida Bhatara dengan berjalan kaki, hanya saja perlengkapan gong itu dibawa oleh kendaraan. Sekitar kurang lebih 2,5 jam sampai di Desa Pecatu, selanjutnya sorenya kami menuju ke Pura Luhur Uluwatu, kemudian menginap semalam di Desa Adat Pecatu dan besok paginya kembali ke Jimbaran. Setelah itulah kami menunggu hari Kajeng Kliwon, baru mesolah lagi,” jelasnya
Mepajar sendiri memiliki arti menyampaikan sesuatu atau pesan. Dimana kata Pajar berarti suara yang disampaikan. Hanya saja implementasi tradisi Mepajar di Jimbaran hampir sama dengan upacara mesolah (menari, Red).
“Sama saja dengan kegiatan nyolahan Ida Bhatara Pelawatan atau Barong. Namun sisi lain ada beberapa hal yang berbeda, karena dalam hal sesolahan di Jimbaran ini waktunya memang sangat berbeda yakni mencari kondisi-kondisi tertentu,” ujar Bendesa I Gusti Made Rai Dirga.
Terkait kapan tradisi Mepajar dimulai, Bendesa I Gusti Made Rai Dirga memperkirakan dari abad 16 atau 17 atau di tahun 1700an. Perkiraan ini tak lepas dari berbagai benda peralatan barong dan tapakan yang disebut oleh para penekun dan seniman berawal dari tahun 1700an. Hal serupa itulah yang disebut juga terjadi di Desa Adat Jimbaran, yakni, bermula di tahun 1700an atau setelah berdirinya Kerajaan Mengwi.*ris
Komentar