Sebagai Fenomena Budaya, Sosiolog Unud Sebut Tak Bertahan Lama
Saat Permainan Lato-lato Digemari Anak-anak, Bahkan Orang Dewasa Ikut Mencoba
Untuk bertahan lama sebuah permainan tersebut harus bisa menumbuhkan modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik dan lain sebagainya.
DENPASAR, NusaBali
Tren permainan lato-lato terutama di kalangan anak-anak merebak dari Pulau Jawa sampai ke Pulau Bali dan di seantero Indonesia. Kehadiran media sosial ditengarai membuat permainan yang sebetulnya bukan permainan baru tersebut cepat viral. Namun tren lato-lato diprediksi hanya sesaat sebagai fenomena budaya yang kerap datang dan pergi.
Sosiolog Universitas Udayana (Unud) Wahyu Budi Nugroho SSos MA menyebut manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens) selalu terusik dan ingin tahu mengenai hal-hal baru membuat permainan lato-lato mudah viral.
"Tren sesaat saja. Saya kira nanti akan tergantikan tren lain," ujar akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unud ini, Kamis (12/1). Wahyu menjelaskan beberapa permainan anak-anak memang bisa bertahan lama di masyarakat. Mainan mobil-mobilan tamiya misalnya. Pada masanya tren mainan tamiya hingga membentuk komunitas-komunitas di kota-kota besar bahkan di desa-desa.
Dikatakan Wahyu, komunitas tamiya ini pada akhirnya bukan sekadar komunitas permainan saja, tapi juga ada modal sosial, modal ekonomi, jaringan kepentingan, dan sebagainya yang dipupuk di dalamnya.
Contoh lainnya adalah tren mainan mobil-mobilan hot wheels yang juga cenderung bisa bertahan lama karena ada komunitasnya, kemudian juga dipopulerkan oleh budaya pop.
"Sama seperti tamiya ada film kartunnya kemudian muncul di medsos-medsos, di youtube, dan sebagainya," sebut alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta ini. Wahyu menyimpulkan, beberapa permainan memang hanya akan menjadi tren sesaat, sebagian lagi bisa bertahan lama di masyarakat. Untuk bertahan lama permainan tersebut harus bisa menumbuhkan modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik dan lain sebagainya.
"Intinya sebuah permainan itu akan bisa bertahan lama di masyarakat kalau bisa memunculkan komunitas-komunitas soal permainan itu," tambahnya. Pada kasus tren lato-lato, menurut Wahyu akan sulit untuk permainan ini sampai bisa membentuk komunitas-komunitas. Pasalnya permainan lato-lato ini cenderung dimainkan oleh anak-anak berusia di bawah 10 tahun, sementara orang yang lebih dewasa hanya sekadar coba-coba saja. Terkait lato-lato sejatinya bukan hadir pertama kali di masyarakat, Wahyu melihatnya karena permainan lato-lato sebagai sebuah produk kebudayaan selalu memiliki karakteristik spiral. Dalam artian dahulu pernah hadir kemudian muncul lagi tapi dengan sedikit modifikasi.
Sama halnya dalam fashion, tahun 1960an dan tahun 1970an, misalnya, ada tren fashion-nya sendiri. Kemudian sekarang ini muncul lagi gaya fashion 60an dan 70an tapi dengan bentuk yang sedikit berbeda. "Ini yang dinamakan budaya itu punya karakter spiral, berulang. Berulang tapi dia ada modifikasi-modifikasi sedikit," tandasnya.
Terpisah, Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali, Ni Luh Gede Yastini menyambut baik tren permainan lato-lato di kalangan anak-anak di Bali. Ia mendukung anak-anak rehat sejenak memegang gawai (smartphone) dengan cara berolahraga, berkesenian, ataupun ikut tren bermain lato-lato.
Ia juga tidak menampik semua permainan termasuk lato-lato punya sisi bahayanya. Untuk itu pengawasan dari orangtua maupun orang dewasa menjadi satu hal yang perlu diperhatikan. "Permainan lato-lato sama seperti lainnya dalam kondisi tertentu bisa saja bikin cidera tetapi yang terpenting adalah pengawasan oleh orangtua atau orang dewasa dalam permainan itu," ujarnya.
Seperti diketahui permainan lato-lato kini sedang digemari anak-anak. Kehadiran permainan ini dalam beberapa waktu terakhir sedikit mengurangi durasi anak-anak untuk memainkan gadgetnya. Bahkan sejumlah pemerintah daerah di Bali membuat lomba lato-lato secara spontanitas. Seperti yang dilakukan Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta saat Car Free Day (CFD), Minggu (8/1) lalu. Hal serupa juga terlihat saat gelaran CFD di Jalan Pahlawan Tabanan. *cr78
Sosiolog Universitas Udayana (Unud) Wahyu Budi Nugroho SSos MA menyebut manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens) selalu terusik dan ingin tahu mengenai hal-hal baru membuat permainan lato-lato mudah viral.
"Tren sesaat saja. Saya kira nanti akan tergantikan tren lain," ujar akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unud ini, Kamis (12/1). Wahyu menjelaskan beberapa permainan anak-anak memang bisa bertahan lama di masyarakat. Mainan mobil-mobilan tamiya misalnya. Pada masanya tren mainan tamiya hingga membentuk komunitas-komunitas di kota-kota besar bahkan di desa-desa.
Dikatakan Wahyu, komunitas tamiya ini pada akhirnya bukan sekadar komunitas permainan saja, tapi juga ada modal sosial, modal ekonomi, jaringan kepentingan, dan sebagainya yang dipupuk di dalamnya.
Contoh lainnya adalah tren mainan mobil-mobilan hot wheels yang juga cenderung bisa bertahan lama karena ada komunitasnya, kemudian juga dipopulerkan oleh budaya pop.
"Sama seperti tamiya ada film kartunnya kemudian muncul di medsos-medsos, di youtube, dan sebagainya," sebut alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta ini. Wahyu menyimpulkan, beberapa permainan memang hanya akan menjadi tren sesaat, sebagian lagi bisa bertahan lama di masyarakat. Untuk bertahan lama permainan tersebut harus bisa menumbuhkan modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, modal simbolik dan lain sebagainya.
"Intinya sebuah permainan itu akan bisa bertahan lama di masyarakat kalau bisa memunculkan komunitas-komunitas soal permainan itu," tambahnya. Pada kasus tren lato-lato, menurut Wahyu akan sulit untuk permainan ini sampai bisa membentuk komunitas-komunitas. Pasalnya permainan lato-lato ini cenderung dimainkan oleh anak-anak berusia di bawah 10 tahun, sementara orang yang lebih dewasa hanya sekadar coba-coba saja. Terkait lato-lato sejatinya bukan hadir pertama kali di masyarakat, Wahyu melihatnya karena permainan lato-lato sebagai sebuah produk kebudayaan selalu memiliki karakteristik spiral. Dalam artian dahulu pernah hadir kemudian muncul lagi tapi dengan sedikit modifikasi.
Sama halnya dalam fashion, tahun 1960an dan tahun 1970an, misalnya, ada tren fashion-nya sendiri. Kemudian sekarang ini muncul lagi gaya fashion 60an dan 70an tapi dengan bentuk yang sedikit berbeda. "Ini yang dinamakan budaya itu punya karakter spiral, berulang. Berulang tapi dia ada modifikasi-modifikasi sedikit," tandasnya.
Terpisah, Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali, Ni Luh Gede Yastini menyambut baik tren permainan lato-lato di kalangan anak-anak di Bali. Ia mendukung anak-anak rehat sejenak memegang gawai (smartphone) dengan cara berolahraga, berkesenian, ataupun ikut tren bermain lato-lato.
Ia juga tidak menampik semua permainan termasuk lato-lato punya sisi bahayanya. Untuk itu pengawasan dari orangtua maupun orang dewasa menjadi satu hal yang perlu diperhatikan. "Permainan lato-lato sama seperti lainnya dalam kondisi tertentu bisa saja bikin cidera tetapi yang terpenting adalah pengawasan oleh orangtua atau orang dewasa dalam permainan itu," ujarnya.
Seperti diketahui permainan lato-lato kini sedang digemari anak-anak. Kehadiran permainan ini dalam beberapa waktu terakhir sedikit mengurangi durasi anak-anak untuk memainkan gadgetnya. Bahkan sejumlah pemerintah daerah di Bali membuat lomba lato-lato secara spontanitas. Seperti yang dilakukan Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta saat Car Free Day (CFD), Minggu (8/1) lalu. Hal serupa juga terlihat saat gelaran CFD di Jalan Pahlawan Tabanan. *cr78
Komentar