Griya sebagai Loci dan Foci Pengembangan
‘GRIYA’ merupakan sebutan tempat tinggal bagi para Brahmana secara turun menurun. Menurut Ida Pedanda Made Putra Kekeran bahwa griya sudah seharusnya menjadi wadah (loci) dan penuntun (foci) kehidupan sekala-niskala, atau memeroleh ‘aparavidya’ maupun ‘paravidya’.
Salah satu yang mendesak adalah ‘jana kertih’— pembangunan sumber daya manusia. Sampai pada era milenial ini, griya masih berkutat dengan ritual dan tidak beranjak menjadi loci dan foci mendidik insan-insan kritis.
Ke depan, peran griya perlu dicerahkan menjadi locus of control, sumber keyakinan, misalnya tentang dharanayoga — kecerdasan dalam menguasai indria di bawah pengawasan manah atau pikiran. Griya dapat juga berperan sebagai ‘pasraman’ yang membelajarkan tentang teologi pembebasan, seperti terukir prosais dalam wrhaspati tattwa. Para sisya seyogyanya belajar ‘nyastra’, yaitu menyusupi diri dengan nilai metakognitif yang dapat mengendalikan peristiwa yang terjadi dalam hidup dan bertanggung jawab atas pikiran, perkataan, maupun tindakannya.
Di samping dharanayoga, fokus manajemen griya tidak semata-mata bersifat pelayanan umat, seperti ‘nunas tirta’, ‘nunas ala ayuning dewasa’, dan lainnya. Griya semestinya sudah berubah ke arah ‘quality focus management’ sumber daya manusia. Melalui interaksi beretika dan berestetika, aspek fungsi manajemen sumber daya dijalankan berdasarkan atas susastra mutu. Sehingga, kualitas luaran pasraman griya mencapai konsistensi dan efisiensi dalam pengelolaan kearifan lokal.
Griya dapat lebih berperan mendemotivasi ‘tri guna’ agar keterikatan pada kelahiran maupun kematian menjadi minimal. Teologi kebebasan yang dibelajarkan dalam pasraman griya sebaiknya lebih menekankan esensi tentang jalan memeroleh kesejatiaan melalui yoga. Misalnya, pratyaharayoga, yaitu yoga yang dapat membentuk habitus agar ‘citta’, ‘buddhi’, ‘manah’, tidak mengembara liar karena dijaga oleh ‘citta’ suci. Yoga yang lebih kompleks adalah dhayanayoga.
Dhayanayoga adalah yoga yang terus menerus memusatkan pikiran kepada suatu bentuk yang tak berpasangan, tak berubah, damai, dan tidak bergerak. Pengetahuan yang indah tak berpasangan tidak berubah, indah dan tenang, tetap stabil, dan tanpa selubung, tidak sama dengan kecerdasan akademik. Agar memeroleh pengetahuan tersebut, belajarlah tentang pranayamayoga. Pranayamayoga prinsipnya adalah seluruh pintu yang ada dalam tubuh ditutup, seperti mata, hidung, mulut, telinga, nafas yang telah dihisap dan dikeluarkan melalui ubun-ubun. Tetapi bila tidak terbiasa, maka dapat dikeluarkan melalui hidung dengan cara perlahan. Pranayama berarti pengaturan pernapasan yang lancar panjang dan dalam. Dan, dhranayoga adalah praktik yoga untuk menguasai indria di bawah pengawasan ‘manah’. Sedangkan, Tarkayoga adalah bentuk yoga yang memercayai Sang Hyang Paramartha bagaikan langit yang tidak ada suara, bersih, dan halus. Pengetahuan yang penting ini tidak bisa disamakan dengan pengetahuan tentang berbagai mata pelajaran di sekolah maupun kampus.
Loci dan foci griya semestinya dicerahkan pada era milenial ini. Griya akan lebih berperan inovatif sebagai ‘loka pala sraya’, sebagai sandaran yang memberikan pencerahan tentang sistem aparavidya dan paravidya, bukan hanya ‘muput upacara’ keagamaan. Ketika griya berperan seperti itu, maka kesantunan atau etika harus dibangun dengan tulus. Umat hendaknya menghindarkan diri dari ujaran ‘membeli banten di griya’, ‘ngaturang sesari besar’, seperti transaksi bisnis, uang dibayarkan dan banten diperoleh maka berakhirlah relasi itu. Perlu dipikirkan siapa saja yang akan me-dwijati harus nyastra dan memahami aksara. Nyastra jangan dibatasi pada atau tentang susastra, tetapi sandaran yang menjamin keselarasan pikiran, perkataan, dan perilaku. Menurut Cok Sawitri, sandaran itu merupakan sebuah kematangan ideologi. Kematangan tidak diukur dari usia apalagi gelar pendidikan yang tinggi, seseorang dianggap matang ketika mampu menyelaraskan kata dan tindakan.
Adapun aksara adalah sebuah sistem penulisan yang menggunakan simbol-simbol atau keseluruhan sistem tulisan. Dalam simbol terdapat makna dalam yang berfungsi untuk memperindah bunyi dan penuturan, konkritisasi, menjelaskan gambaran, menekankan penuturan atau emosi, menghidupkan gambaran, membangkitkan kesan dan suasana tertentu, serta melukiskan perasaan. Jadi, pengetahuan tentang aksara bukan hanya penulisannya tetapi makna terdalamnya dari setiap sistem yang dituliskan. Semoga pemikiran positif datang dari segala penjuru. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Komentar