Pancer Langiit Menculik Jiwa, Masuk ke Petualangan Magis Maha Awidya
Diproyeksikan Jadi Atraksi Wisata Reguler
MANGUPURA, NusaBali.com – Bagaimana rasanya diculik ke dunia lain selama 1 jam 10 menit? Sanggar Seni Pancer Langiit seakan-akan memberikan pengalaman magis nan sarat makna melintasi lorong waktu lewat seni pertunjukan Maha Awidya.
Berlangsung di kegelapan Puri Rangki Abianbase, Kecamatan Mengwi yang sudah tidak dihuni belasan tahun, dengan minim penerangan, aura magis begitu kental terasa. Pada Sabtu (21/1/2023) malam itu, Pancer Langiit memamerkan kreativitas seni anak didiknya melalui 8 repertoar pertunjukan.
Kedelapan repertoar itu dipadukan ke dalam satu kesatuan dalam pertunjukan Maha Awidya yang tidak mengenal panggung statis. Setiap repertoarnya menggunakan venue alami yang tersedia di puri yang dibangun pada 1996 silam.
Ketua Sanggar Seni Pancer Langiit, I Gusti Agung Gede Wresti Bhuana Mandala, 22, menjelaskan bahwa Maha Awidya merupakan simbol pencarian, pengendalian, dan pemeliharaan ilmu pengetahuan.
“Konsep dasar ilmu pengetahuan sendiri antara tidak ada dan ada (A dan Widya) itu menjadi satu kesatuan. Ketika itu menjadi kesatuan maka itulah ilmu pengetahuan yang sesungguhnya,” tutur pemuda yang akrab disapa Gungde Bhuana di sela-sela acara.
Manusia berangkat dari ketidakadaan ilmu pengetahuan kemudian berpetualang untuk memerolehnya. Inilah yang dikemas dalam pertunjukan yang dibawakan lebih dari 40 seniman muda dari sanggar yang bermarkas di Desa Adat Kapal.
Kedelapan repertoar tersebut terdiri dari Barong Pompom, Lampion, Ganggeng, Saka Anem, Fire Dance, Suluh, Baris Cakra, dan Legong Mahawidya. Masing-masing repertoar ini memiliki makna tersendiri yang mengisahkan seorang bocah lugu bernama Maya berpetualang mencari ilmu pengetahuan sejati.
Ketika kerakusan itu dikendalikan, manusia bisa mengantarkan dirinya melihat secercah cahaya ilmu pengetahuan. Lentera pengetahuan ini disimbolkan dengan tari Lampion. Seperti lampion, ilmu pengetahuan dapat menerangi jalan manusia ke tahap berikutnya, yakni proses pengendalian pengetahuan.
Pengendalian ilmu pengetahuan ini menggeser fokus pertunjukan dari pintu masuk Puri Rangki ke sebuah kolam belut di dalam puri. Kolam tersebut menjadi venue repertoar Ganggeng. Tarian ini mengusung nilai pelajaran bahwa pengetahuan itu harus dikendalikan seperti air agar fleksibel dan mampu bermanfaat dan menghidupi semesta.
“Setelah ilmu pengetahuan itu dikendalikan, perlu fondasi yang kuat untuk membesarkan pengetahuan itu sendiri. Ini digambarkan melalui repertoar Saka Anem,” kata pemuda asal Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Badung.
Seperti sebuah bangunan bale adat, terdapat tiang penyangga yang disebut saka. Saka yang menyangga atap bale ini harus kuat agar segala kegiatan dan buah pikiran yang lahir di bawahnya terlindungi dan mampu mengembang.
Ilmu pengetahuan yang sudah terkendali dan memiliki fondasi yang kuat, sudah saatnya dikobarkan seperti api yang disemburkan dalam repertoar Fire Dance. Namun, selayaknya api yang mampu membunuh sekaligus menghidupi, ilmu pengetahuan harus dijalankan dengan mawiweka.
“Repertoar bertajuk Suluh menjadi jawaban. Di repertoar ini terdapat seseorang yang berfokus disinari cahaya proyektor yang memberikan efek aksara Bali berjalan. Aksara itu berasal dari lontar, sastra dalam lontar itulah yang menjadi pertimbangan ke arah mana pengetahuan itu dibawa,” jelas pemuda lulusan ISI Yogyakarta.
Pengetahuan yang sudah adiluhung, kata pemuda yang memelihara rambut ini, harus diteruskan dari generasi ke generasi selayaknya perputaran cakra pada repertoar Baris Cakra. Ketika pengetahuan ini dipelihara secara berkesinambungan, maka jalan menuju ilmu pengetahuan sejati atau Mahawidya akan terbuka.
“Ilmu pengetahuan adalah jembatan menuju ke masa depan, sesuatu yang melekat ketika kita lahir dan kembali nanti. Ini yang perlu kami sampaikan ke pada penonton,” sebut Gungde Bhuana.
Pertunjukan yang menculik jiwa setiap penontonnya ini hanya disiapkan dalam kurun waktu satu bulan saja. Kata Gungde Bhuana, anak didik dimotivasi dengan penghargaan siswa terbaik di setiap repertoar. Dengan ini, latihan selama satu bulan menjadi efektif lantaran diwarnai semangat tinggi.
Sementara posisi repertoar yang tidak ada di satu panggung namun berpindah dari satu lokasi menuju ke lokasi lainnya memberikan kesan sebuah pertualangan di dunia yang tidak pernah dikenal sebelumnya.
Kata pembina Sanggar Seni Pancer Langiit, AA Gede Agung Rahma Putra, 35, karya yang ditampilkan sebagian besar merupakan kreativitas anak didiknya. Pria yang akrab disapa Gungde Rahma ini mengungkapkan, ia hanya memberikan benang merah gagasan saja, selebihnya digarap oleh para seniman muda berbakat Pancer Langiit.
“Prisip kami di Pancer Langiit adalah pelestarian dan pengembangan seni berbasis Tri Hita Karana. Pancer Langiit tidak hanya mencetak penari dan koreografer hebat tetapi juga calon pemimpin komunitas seni,” ungkap Gungde Rahma di sela-sela acara.
Tokoh Puri Abianbase AA Agung Gede Agung, tokoh Puri Rangki Jero Soka Astita, dan Sekretaris Daerah Kabupaten Badung I Wayan Adi Arnawa yang hadir langsung merasakan ‘penculikan’ itu, menyambut baik rencana Gungde Rahma.
Mewakilkan keluarga besar Puri Abianbase dan mendiang adiknya yang membangun Puri Rangki, Gede Agung menyebut pertunjukan Maha Awidya itu sangat luar biasa. Pintu puri bakal dibuka lebar untuk rencana pengembangan pertunjukan tersebut sebagai atraksi wisata reguler.
Sementara itu, Sekda Adi Arnawa pasang badan untuk memuluskan rencana tersebut. Sebab, ia percaya wisata berbasis budaya adalah ruh pariwisata Bali yang bakal mampu memperpanjang masa tinggal para turis.
“Kalau di Ubud dan Peliatan ada, kemudian di Uluwatu ada tari kecak yang reguler, mengapa dengan kemasan baru ini tidak bisa dibuat juga di sini?” tandas Gungde Rahma. *rat
Komentar