Cerita Kelenteng Sing Bie di Jalan Gajah Mada Denpasar, Tempat Pemujaan Siwa-Buddha di Bali
DENPASAR, NusaBali
Dalam rangka Tahun Baru Imlek 2574, umat Konghucu di Bali melaksanakan persembahyangan di kelenteng-kelenteng, salah satunya di Kelenteng Sing Bie, Jalan Gajah Mada No 72, Denpasar.
Kelenteng yang mulanya milik pribadi itu kian dikenal masyarakat, terutama karena keunikannya, yakni adanya akulturasi budaya Tionghoa dan Bali.
Dalam kelenteng yang berada di tengah gang, tepatnya di belakang ruko-ruko kawasan Gajah Mada itu, terdapat gedung tempat pemujaan Siwa-Buddha yang dikelola I Wayan Gunawan dan Tio Sung Tao, pasangan suami-istri keturunan Tionghoa yang kini lebih dikenal dengan nama Jero Gede Kuning dan Jero Sung.
Memasuki halaman Kelenteng Sing Bie, masyarakat dapat melihat langsung perpaduan budaya Tionghoa dan Bali, yakni terdapat ruangan pemujaan bagi umat Konghucu yang berdampingan dengan padmasana atau bangunan Hindu.
“Sing Bie Bio atau Kelenteng Sing Bie diambil dari nama kakek, ada ruangan berhimpitan dengan padmasana, tapi ini tidak terpisah, seperti di Pura Besakih ada Pura Dalem Balingkang kisah Kang Xing Wei yang menikah dengan Raja Jayapangus, jadi tidak bisa terlepas,” kata Jero Gede.
Pada ruang persembahyangan bagi umat Konghucu, terdapat sarana upacara Hindu seperti canang, dupa, dan buah-buahan. “Ini tempat kami lebih mengusung Siwa–Buddha, Buddhanya lengkap ada Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong, dan dewa uang atau rezeki. Sedangkan di Siwa-nya ada Ratu Gede Nusa, Bunda Ratu Subandar, dan Bhatara Segara,” tambahnya.
Di dalam ruang suci berukuran sekitar 3 meter x 4 meter terdapat rupang atau patung-patung sakral yang mewujudkan Dewa Kwan Kong dan Dewi Kwan Im, ditambah topeng sebagai wujud Dalem Sidakarya, Ratu Gede, patung Bhatara Rambut Sedana, dan simbol pemujaan lainnya.
Selain itu, juga terdapat barongsai dan liong (barong naga) di mana sepasang barongsai berwarna hitam dan putih disakralkan di dalam ruangan.
Jero Gede dan Jero Sung bercerita bahwa bangunan Tionghoa dan Bali itu dibentuk pada tahun 2015 meskipun pemujaan Dewi Kwan Im lebih dulu sejak 10 tahun sebelumnya.
“Awalnya bahtera rumah tangga kami diberikan ujian secara ekonomi dan internal. Akhirnya, kami mencari tahu ke panglingsir dan diberi petunjuk diharuskan menjalankan tradisi seperti mabayuh dan mawinten, hingga berjalannya waktu akhirnya sampai di tahap menjadi Jero Gede,” tuturnya. Salah satu prosesi Hindu yaitu dwijati juga sempat dilakukan keduanya di Kabupaten Karangasem pada 2013.
Singkat cerita, masyarakat mulai datang ke Kelenteng Sing Bie untuk meminta petuah dan wejangan Jero Gede Kuning, bahkan seluruh patung pemujaan di sana mereka dapat dari umat yang datang.
“Ada semacam bisikan harus malinggihkan (menempatkan) apa saja di sini, dan patung rupang itu satupun tidak ada yang kami beli, umat yang memberikan misalnya mereka tahu melalui mimpi,” ujarnya.
Jero Sung menambahkan, dahulu saat Pasar Kumbasari di Jalan Gajah Mada terbakar, salah satu patung yaitu Patung Rambut Sedana menjadi benda yang tersisa tak tersentuh kobaran api dari kios seni di sana, dan akhirnya kini menjadi milik kelenteng.
Sejak 2019, keluarga tersebut mulai merasakan antusias masyarakat Bali untuk turut merayakan Tahun Baru Imlek dengan bersembahyang di Kelenteng Sing Bie.
Masyarakat yang datang tak hanya berasal dari etnis Tionghoa atau beragama Konghucu, namun dari berbagai agama. Masyarakat luas mengenal Jero Gede dan meminta banyak wejangan darinya.
Pada Senin (23/1) hari ini, akan dilakukan pawai dari sejumlah kelenteng salah satunya Kelenteng Sing Bie sejak pukul 15.00 Wita hingga puncak perayaan Tahun Baru Imlek dilakukan di pelataran Pasar Badung.
“Imlek sendiri sebenarnya perayaan pergantian musim dari musim hujan ke musim semi. Besok (hari ini) sekitar pukul 17.00 Wita akan dilakukan kirab, berbagi makanan, dan pentas puncaknya," kata Jero Sung.
Selain Imlek, Jero Sung mengaku dia dan suami tetap menjalankan prosesi Hindu seperti piodalan. Pelaksanaan piodalan juga dijadikan momentum untuk membersihkan rupang-rupang di dalam bangunan kelenteng, sehingga prosesnya dilakukan setahun dua kali saat menjelang Saraswati, bukan Imlek.
Jero Sung merupakan keturunan asli Tionghoa, dengan kakek dan ayah yang lahir di Tiongkok. Sementara Jero Gede Kuning merupakan keturunan campuran, orangtuanya berasal dari Buleleng dan Tabanan, Bali. Bahkan, dia memiliki sejarah, buyutnya seorang perempuan bernama depan Ida Ayu. *ant
1
Komentar