Between Chaos and Form, 'Perayaan' atas Kehilangan Seniman 'Liar' Made Wianta
GIANYAR, NusaBali.com - Pameran lukisan bertajuk Between Chaos and Form menjadi ajang ‘perayaan’ dalam suasana kehilangan seorang seniman Bali yang radikal kelahiran Tabanan, Made Wianta.
Made Wianta berpulang di usia 71 tahun pada akhir tahun 2020 lalu. Tepat sebulan sebelum pameran solonya di Komaneka at Keramas Beach dimulai.
Seniman alumni Koservatori Karawitan (Kokar) ini meninggalkan istri, anak, dan cucu. Namun, Wianta juga meninggalkan seorang sahabat dekat yang sudah seperti saudaranya sendiri yakni Stephan Spicher, 72. Seorang seniman keturunan Jerman asal Basel, Swiss.
Pertemuan keduanya bermula ketika mendiang Urs Ramseyer, seorang musisi jazz asal Swiss, mengenalkan Stephan kepada Wianta. Keduanya bertemu ketika Stephan pertama kali ke Bali pada sekitar pertengahan 1990-an.
Pertemuan tersebut tidak kikuk bagi Wianta sebab ia sudah awam berinteraksi dengan seni pemikiran Eropa ketika tinggal dan bekerja di Belgia pada 1975. Hal ini pun diakui oleh Stephan bahwa Wianta bukan sebarang seniman Bali pada umumnya yang kurang cocok dengan karyanya yang cenderung abstrak.
“Kesan pertama saya bertemu Wianta, dia adalah orang yang ‘liar’. Tetapi, dia tahu betul apa yang ia percayai termasuk persepsinya terhadap karya saya,” kata Stephan ketika ditemui di sela-sela pameran lukisan Between Chaos and Form di Komaneka at Keramas Beach pada Selasa (24/1/2023) sore.
Tidak seperti kebanyakan seniman Bali yang Stephan temui hanya sekadar berbasa-basi soal seni lukis, Wianta justru langsung tertarik dengan apa yang Stephan kerjakan. Dari persamaan persepsi terhadap seni rupa dua dimensi inilah keduanya semakin dekat dan bahkan saling menginap di kampung halaman masing-masing.
Stephan yang terbiasa dengan suasana pegunungan Alpen di negaranya sempat bermalam beberapa hari di Apuan, Tabanan. Begitu juga Wianta membalas waktu bermalam Stephan di Basel, Swiss. Ketika di Swiss ini, Wianta menjadi lebih ‘liar’ sebab pemikiran Eropanya yang ‘chaos’ alias mempertanyakan tradisionalitas mulai menemukan ruang.
Dari pengalaman melewati batas pemikiran masing-masing budaya ini, keduanya membuat pameran duet pertama pada tahun 2001 di Bali. Pameran itu sangat representatif dari segi tajuk yakni 'Crossing Lines' atau melewati batas.
Pada pameran kali ini di Komaneka at Keramas Beach, Stephan berusaha memulai kembali tanpa dua sahabatnya, Urs dan Wianta. Seperti sebuah perayaan atas perjalanan tersebut, produk lukisan dari diskusi dan dialog antara 'chaos' dan 'form' dari kedua sahabat ini dipertontonkan.
Lukisan yang dipajang mulai dari koleksi pribadi Wianta dan Stephan sejak tahun 2000 maupun koleksi umum. Sebelum memulai pameran pertama bersama Wianta tanpa sosoknya, Stephan menyempatkan diri menggarap beberapa bingkai lukisan teranyarnya sembari mengenang Wianta dan berdialog dengan diri sendiri.
“Saya sangat merindukan Wianta sebagai seorang pribadi. Sebagai sahabat berdiskusi, sebagai teman minum wine. Tapi, hidup harus terus berlanjut,” sebut Stephan.
Pria kelahiran daerah Italianya Swiss ini mengaku menyimpan kesedihan mendalam tatkala ia tidak bisa melihat Wianta pada detik-detik terakhir. Sampai akhirnya di tengah kekangan pandemi, Stephan mendapat kabar duka dari Bali bahwa sahabatnya itu sudah berpulang dan meninggalkan memori mendalam.
Untuk merayakan memori selama lebih dari dua dekade itu, sebanyak 36 bingkai lukisan buah karya dari dialog keduanya dipajang di Komaneka at Keramas Beach hingga Selasa (7/2/2023). Meskipun secara fisik sahabat ‘liar’ Stephan sudah tidak ada, karya-karyanya tetap hidup merekam dialog ‘between chaos and form’ buah pemikiran sahabat dari dua budaya berbeda ini.
Putri sulung Wianta, Buratwangi pun tidak menampik bahwa acara pameran pasca sang ayahanda berpulang adalah perayaan dari seorang seniman yang selalu ceria itu. Wanita yang sempat berkarier dalam bidang humas ini mempercayai bahwa Wianta adalah sosok ayah yang tidak mau keluarganya sedih berlarut-larut.
“Pak Wianta adalah pribadi yang outgoing. Saya bersyukur karena Bapak selalu ingin dirayakan. Bapak tidak mau melihat kami sedih,” tutur Buratwangi ketika ditemui di sela-sela acara pameran.
Untuk mengabadikan warisan karya-karya Wianta, kata Buratwangi, keluarga bakal membuka museum. Selain museum, beberapa garapan digital lukisan Wianta dari pihak luar juga diapresiasi oleh keluarga. Buratwangi mengakui bahwa hal tersebut membuat ayahnya terasa hidup dan berada di mana-mana sehingga tidak perlu ditangisi berlarut-larut.
Di samping meneruskan spirit pribadi Wianta, keluarga juga turut menjaga idealisme Wianta agar tetap hidup. Di antaranya adalah meneruskan Wianta Foundation sehingga seniman muda berbakat dari penjuru tahan air bisa mendapat akses untuk maju dan berkembang. *rat
Komentar