Sakit-sakitan, Urus Anak Gangguan Jiwa
Gusti Ngurah Ketut Wijaya,55, krama Banjar Pengembungan, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, harus berjuang sendirian merawat anak pertamanya, Gusti Ngurah Putu Karbawa,35, penderita gangguan jiwa.
Derita Hidup Duda Tua GN Ketut Wijaya
GIANYAR, NusaBali
Sang istri, Gusti Nyoman Rusmini, telah meninggal akibat penyakit sesak nafas sekitar 10 tahun silam. Keduanya menjalani keseharian tanpa air dan listrik. Mereka pernah menikmati penerangan listrik. Namun akibat dari keterbasan ekonomi, beberapa kali nunggak pembayaran. Sekitar 5 tahun terakhir, petugas PLN mencabut aliran listriknya.
Ditemui di kediamannya, Minggu (28/5), Gusti Ketut Wijaya mengatakan kemiskinannya kian parah pasca ditinggal sang. Anak pertamanya mulai mengalami depresi, sementara anak keduanya Gusti Ngurah Made Suardika, memutuskan untuk kawin nyentana ke Banjar Pengosekan, Desa Mas, Ubud. "Turah (Gusti Ngurah Putu Karbawa, red) sudah berkali-kali bolak balik dirawat di RSJ Bangli. Dulu sering ngamuk-ngamuk, sekarang sudah bisa diajak bicara," ungkap Gusti Ngurah Ketut Wijaya yang menderita sakit hepatitis ini.
Meski demikian, pihaknya mengaku harus tetap waspada dan hati-hati dalam merawat Turah. Sebab tersinggung sedikit, fatal akibatnya. "Turah sering minta rokok. Kalau saya punya uang, saya belikan rokok. Tapi kalau tidak, saya bilang belum bisa beli," ujarnya. Untuk mengatakan tak punya uang pun, Gusti Ngurah Ketut Wijaya harus bicara halus. Lagi-lagi alasannya supaya putra sulungnya ini tak marah. Jangankan untuk membeli rokok, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja ia mengaku tak mampu. Ia tak bisa bekerja karena hepatitis. Dan, Turah pun harus selalu dalam pengawasan. "Dulu saya maburuh memanjat pohon kelapa. Langsung kelapanya saya jual ke pasar untuk beli beras. Sekarang, kalau saya merasa kuat baru manjat," ungkapnya.
Gusti Ngurah Ketut Wijaya merangkap tugas rumah tangga. Setiap hari, masak nasi untuk anaknya dengan kayu bakar. Namun lebih sering tak masak karea tak memiliki beras. Keduanya kemudian hidup dengan belas kasihan para tetangga dan warga sekitar. Dalam satu pekarangan, Gusti Ngurah Ketut Wijaya hidup bersama 4 KK lainnya. Namun kondisi ekonomi yang juga pas-pasan, membuat pihak keluarga tak bisa berbuat banyak.
Seperti diungkapkan, Jero Wirtaningsih menantu dari Gusti Made Puja (kakak kandung Gusti Ngurah Ketut Wijaya). Dari 4 KK lainnya, Jero Wirtaningsih yang memiliki kewajiban untuk merawat Gusti Ngurah Ketut Wijaya beserta Turah. Hanya saja, kemampuannya sebatas mengingatkan keduanya untuk mandi dan makan. Selebihnya, ibu 4 anak dengan tanggungan 2 mertua yang juga sakit-sakitan ini mengaku tak sanggup. Sebab ia sendiri hanya sebagai buruh harian lepas pada sebuah perusahaan kargo di desa setempat. Menurut Jero Wirtaningsih, depresinya Turah juga dipicu karena faktor pendidikan. "Semasih anak-anak, Turah sudah merasa minder karena ekonomi pas-pasan. Padahal guru-gurunya sering jemput ke rumah, supaya Turah mau sekolah. Tapi tidak digubris, sehingga Turah akhirnya putus sekolah saat SD," ujarnya.
Kondisi itu diperparah dengan kepergian sang ibu tercinta, Turah menjadi semakin tak terkendali. Sekitar lima tahun lalu, Turah sempat membawa pisau dan membacok kepala suami Jero Wirtaningsih. "Dibacok sekali kena kuping sebelah kiri," jelasnya. Suami Jero Wirtaningsih pun harus menjalani perawatan intensif di RS Sanglah. *nvi
1
Komentar