Arak Brem Pekak Cekol di Banjar Gelulung
DI Banjar Gelulung, Sukawati, Gianyar, pernah hidup seorang lelaki bernama Pekak Cekol. Dia pregina (penari), penabuh, perajin, penembang.
Di masa tua renta, dia membuat cedok (gayung dari tempurung kelapa), atau menganyam kukusan (untuk menanak nasi), dan sokkasi (semacam keranjang). Barang-barang itu dia bawa ke warung atau ke pasar, tidak untuk dijual, tapi dibarter dengan arak. Juga ditukar dengan makanan dan penganan: tipat santok, nasi, sirih, gambir.
Pekak Cekol tidak menenggak araknya dengan kopi, tapi mencampurnya dengan brem. Tahun 70-an ketika itu, di Sukawati lazim anak muda sampai kakek-kakek doyan menenggak arak plus brem. Rasanya manis dan menguarkan aroma merangsang ke mana-mana. Tentu lebih banyak araknya dibanding brem.
Usai minum arak brem Pekak Cekol pulang sambil menembang, menggoyang-goyangkan badannya yang mulai bungkuk. Dia berpikir sederhana: untuk apa menjual hasil pekerjaan, menukarkannya dengan uang, toh uang itu akan dibelikan nasi. Kenapa tidak langsung saja ditukar dengan arak dan nasi? Memegang uang, bagi Pekak Cekol, menjadi sulit, kebutuhan akan berbiak, pikiran jadi hilir mudik sana-sini melayani kebutuhan-kebutuhan baru. Bagi Pekak Cekol, arak dan brem membuat tubuhnya hangat, berpikir santai, dan menembang menjadi tambah semangat.
Anak-anak Banjar Gelulung menyukai Pekak Cekol karena dia senang bercerita dan mendongeng. Lelaki tua itu sungguh-sungguh menikmati hidup ketika dusun masih rimbun oleh pohon bunut dan sukun. Jalan desa belum diaspal, listrik belum masuk, suasana asri. Sepanjang hari dusun itu teduh, dan Pekak Cekol duduk, tidur-tiduran di antara rindang pohon.
Dia penutur ulung, sehingga anak-anak sering mengerumuninya. Cerita akan semakin hangat dan seru jika disertai suguhan satu sloki arak bercampur brem. Ya, hanya satu-dua sloki, tak pernah lebih. Di zaman itu tak pernah ada yang meminum arak sampai mabuk. Kebanyakan mereka petani, sehabis pulang dari sawah, mandi, dan ketika petang mampir ke warung membeli satu-dua sloki arak. Para petani itu pulang ketika badan sudah terasa hangat, tidur pun menjadi nyenyak berkat asupan arak dan brem. Besok mereka bisa segar kembali ke sawah. Tak pernah ada orang mabuk minum arak. “Penting minum arak brem biar sehat, sedikit saja, jangan banyak,” ujar mereka.
Tapi itu dulu, setengah abad silam. Sekarang tabiat orang-orang minum arak jauh beda. Kebanyakan mereka menenggak arak sampai mabuk, sehingga mengesankan arak itu dan para peminumnya suka bikin onar, kaum pengganggu, sehingga orang-orang sekitar ketakutan. Acap kali media pekabaran mewartakan, para peminum alkohol kelas berat itu adu tinju, saling gampar, dan main tikam ketika pesta minuman keras, sehingga miras selalu disepadankan dengan brutalisme. Di mana ada orang minum-minum arak atau tuak, di situ ada orang mabuk, hiruk pikuk oleh perselisihan saling ejek yang beranak pinak menjadi perkelahian. Tepat kalau ada yang berkomentar, arak itu “air berkata-kata”. Peminum yang menenggak alkohol berlebihan jadi ngoceh tidak karuan. Dan membahayakan. Padahal dulu, di zaman Pekak Cekol hidup tahun 70-an, minum arak campur brem itu untuk membangkitkan semangat bercerita dan menembang.
Made Sajan, yang ketika kanak-kanak senang mendengar Pekak Cekol mendongeng di bawah pohon dekat balai banjar, wajar kini sangat gelisah ketika cucunya yang di SMA senang minum miras. Berulang kali dia menegur dengan halus si cucu.
“Minum banyak miras mendatangkan bencana,” ujar Sajan menasihati si cucu. “Badan pasti binasa.” “Tenang saja, Pekak,” sahut si cucu enteng. “Nih, buktinya, saya masih seger oger. Ha-ha-ha.”
Sajan belakangan semakin gelisah, karena dia tahu cucu dan teman-temannya acap terang-terangan menenggak miras bersama-sama. Anak-anak itu bergembira karena miras samakin gampang didapat. Arak kini sudah menyatu dengan jiwa raga mereka.
“Siapakah yang sanggup menghentikan mabuk-mabukan ini?” kata hati Sajan. Pertanyaan ini dia lontarkan kepada teman-temannya. Beberapa di antara mereka adalah alumni pendengar cerita Pekak Cekol. Tak ada yang sanggup menjawab. Mereka bahkan balik bertanya, “Mengapa ini sampai terjadi?”
Seseorang di antara mereka berpendapat, “Kita tak sanggup bicara, tak kuasa menjawab, karena kita hidup di zaman mabuk.” *
Aryantha Soethama
Komentar