Festival Tepi Sawah, Suarakan Pesan Lingkungan dan Seni
Untuk pertama kalinya festival berbeda hadir di Pulau Dewata.
DENPASAR, NusaBali
Jika biasanya festival musik diadakan di lapangan atau gedung, berbeda dengan festival yang satu ini. Mengusung konsep ramah lingkungan, Festival Tepi Sawah bakal dipusatkan di areal tepian sawah tepatnya di Omah Apik, Jalan Kenyem Bulan, Banjar Pande, Desa Pejeng, Gianyar, 3-4 Juni 2017.
Festival ini lahir dari gagasan dan passion tiga pelaku seni yaitu Nita Aartsen, Anom Darsana, dan Etha Widiyanto. Ketiganya memberikan kombinasi latar belakang pengalaman di bidang Music Education & Performance, Sound Engineering, Event Management, Architecture & Designs. Ketiganya memiliki ide untuk memadukan elemen kreatif dengan pendidikan serta penerapan akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup, baik di kalangan anak-anak maupun di kalangan dewasa. Lantas, mereka mewujudkannya melalui festival tepi sawah ini.
“Ini berawal dari perbincangan kami bertiga. Omah Apik Pejeng, yang didirikan dan dikelola Etha Widiyanto, punya program bulanan seperti program lingkuan dan workshop musik. Nah, saya mewakili Antida Music sangat tertarik untuk membuat seni pertunjukkan di Pejeng. Lalu kami terpikir mengkolaborasikan edukasi berupa workshop dan art performance,” ujar Anom Darsana saat jumpa pers di Kubu Kopi, Denpasar, Senin (29/5).
Sejumlah seniman dijadwalkan akan mengisi acara festival tepi sawah ini antara lain Tompi, Dewa Alit, Bona Alit, Sisca Guzheng, Brahma Diva Kencana, Nita Aartsen, Jasmine Okubo, Gustu Bramanta, Tebo Aumbara, Dodi Sambodo, dan Fascinating Rhytm Community, serta masih banyak lagi seniman lainnya. Festival tersebut akan menghadirkan seniman-seniman dari berbagai cabang seni, untuk berkolaborasi dan berkarya dalam kebersamaan.
Dikatakan Nita Aartsen, dalam festival tersebut terdapat empat panggung besar dan empat panggung kecil yang terbagi menjadi panggung tertutup, semi tertutup dan total outdoor. Di tempat acara yang unik di pinggiran desa ini, penyelenggara akan merancang panggung khusus, Uma, yang melatar-depani panorama simbolik tempat aspirasi ini terlahir, di tepi sawah. Nantinya, 80 lagu Indonesia akan dikelompokkan dalam belasan kelompok, seperti kelompok lagu-lagu Ismail Marzuki, lagu keroncong, lagu Baliku, Timormania (lagu-lagu dari daerah Timur), serta kelompok lainnya.
“Ada juga kelompok Latinindo, bagaimana lagu-lagu Indonesia ini bisa dibikin samba. Di sana Tompi bakal ikut nyanyi. Selain musik, akan ada juga paduan dance dari Jasmine Okubo dan okokan, serta pedalangan, tari dan musik dari Kokar,” jelasnya.
“Sebagai seniman ini yang bisa kita lakukan untuk menjaga keberagaman, karena dalam berkesenian tidak mengenal perbedaan warna kulit, suku ataupun agama. Nanti setelah berkelompok, nanti akan ada jam session. Semua akan menyanyi bersama-sama,” ungkapnya.
Sementara itu, Etha Widiyanto menambahkan, selain art performance, Festival Tepi Sawah bersama berbagai komunitas seni juga membangun beberapa relasi dan jaringan yang mendukung festival ini. Salah satu komunitas yang aktif mendukung festival ini adalah Komunitas Lingkara. Sehingga melalui kebersamaan ini Festival Tepi Sawah diharapkan menjadi cerminan dan pembawa pesan kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle (kurangi, gunakan kembali, dan daur ulang).
“Festival ini juga bekerjasama dengan Clean Bali Series, sebuah program buku dan pendidikan tentang kesadaran lingkungan untuk anak-anak, yang sudah dimulai sejak tahun 2006. Program ini telah aktif menggalang program bulanan ‘Bali Bersih’ di Omah Apik, bersama dengan sejumlah organisasi dan aktifis lingkungan, pendidikan, seni dan budaya, untuk memberikan ruang belajar kepada anak-anak tentang kesadaran lingkungan,” imbuhnya.
Dikatakan, pihaknya juga akan mengundang inisiator bank sampah dari Denpasar untuk memberikan edukasi tentang penanganan masalah sampah yang patut dipikirkan bersama. Selain juga workshop musik, workshop edukasi terhadap anak-anak juga akan menjadi bagian dari festival ini. Salah satunya dengan kegiatan story telling oleh Made Taro, juga tentang personal karakter. “Workshop akan diadakan hari Sabtu dan Minggu siang. Setelah sunset datang, festival musik kita mulai,” tandasnya. *in
Festival ini lahir dari gagasan dan passion tiga pelaku seni yaitu Nita Aartsen, Anom Darsana, dan Etha Widiyanto. Ketiganya memberikan kombinasi latar belakang pengalaman di bidang Music Education & Performance, Sound Engineering, Event Management, Architecture & Designs. Ketiganya memiliki ide untuk memadukan elemen kreatif dengan pendidikan serta penerapan akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup, baik di kalangan anak-anak maupun di kalangan dewasa. Lantas, mereka mewujudkannya melalui festival tepi sawah ini.
“Ini berawal dari perbincangan kami bertiga. Omah Apik Pejeng, yang didirikan dan dikelola Etha Widiyanto, punya program bulanan seperti program lingkuan dan workshop musik. Nah, saya mewakili Antida Music sangat tertarik untuk membuat seni pertunjukkan di Pejeng. Lalu kami terpikir mengkolaborasikan edukasi berupa workshop dan art performance,” ujar Anom Darsana saat jumpa pers di Kubu Kopi, Denpasar, Senin (29/5).
Sejumlah seniman dijadwalkan akan mengisi acara festival tepi sawah ini antara lain Tompi, Dewa Alit, Bona Alit, Sisca Guzheng, Brahma Diva Kencana, Nita Aartsen, Jasmine Okubo, Gustu Bramanta, Tebo Aumbara, Dodi Sambodo, dan Fascinating Rhytm Community, serta masih banyak lagi seniman lainnya. Festival tersebut akan menghadirkan seniman-seniman dari berbagai cabang seni, untuk berkolaborasi dan berkarya dalam kebersamaan.
Dikatakan Nita Aartsen, dalam festival tersebut terdapat empat panggung besar dan empat panggung kecil yang terbagi menjadi panggung tertutup, semi tertutup dan total outdoor. Di tempat acara yang unik di pinggiran desa ini, penyelenggara akan merancang panggung khusus, Uma, yang melatar-depani panorama simbolik tempat aspirasi ini terlahir, di tepi sawah. Nantinya, 80 lagu Indonesia akan dikelompokkan dalam belasan kelompok, seperti kelompok lagu-lagu Ismail Marzuki, lagu keroncong, lagu Baliku, Timormania (lagu-lagu dari daerah Timur), serta kelompok lainnya.
“Ada juga kelompok Latinindo, bagaimana lagu-lagu Indonesia ini bisa dibikin samba. Di sana Tompi bakal ikut nyanyi. Selain musik, akan ada juga paduan dance dari Jasmine Okubo dan okokan, serta pedalangan, tari dan musik dari Kokar,” jelasnya.
“Sebagai seniman ini yang bisa kita lakukan untuk menjaga keberagaman, karena dalam berkesenian tidak mengenal perbedaan warna kulit, suku ataupun agama. Nanti setelah berkelompok, nanti akan ada jam session. Semua akan menyanyi bersama-sama,” ungkapnya.
Sementara itu, Etha Widiyanto menambahkan, selain art performance, Festival Tepi Sawah bersama berbagai komunitas seni juga membangun beberapa relasi dan jaringan yang mendukung festival ini. Salah satu komunitas yang aktif mendukung festival ini adalah Komunitas Lingkara. Sehingga melalui kebersamaan ini Festival Tepi Sawah diharapkan menjadi cerminan dan pembawa pesan kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle (kurangi, gunakan kembali, dan daur ulang).
“Festival ini juga bekerjasama dengan Clean Bali Series, sebuah program buku dan pendidikan tentang kesadaran lingkungan untuk anak-anak, yang sudah dimulai sejak tahun 2006. Program ini telah aktif menggalang program bulanan ‘Bali Bersih’ di Omah Apik, bersama dengan sejumlah organisasi dan aktifis lingkungan, pendidikan, seni dan budaya, untuk memberikan ruang belajar kepada anak-anak tentang kesadaran lingkungan,” imbuhnya.
Dikatakan, pihaknya juga akan mengundang inisiator bank sampah dari Denpasar untuk memberikan edukasi tentang penanganan masalah sampah yang patut dipikirkan bersama. Selain juga workshop musik, workshop edukasi terhadap anak-anak juga akan menjadi bagian dari festival ini. Salah satunya dengan kegiatan story telling oleh Made Taro, juga tentang personal karakter. “Workshop akan diadakan hari Sabtu dan Minggu siang. Setelah sunset datang, festival musik kita mulai,” tandasnya. *in
1
Komentar