Selain Pariwisata, Sektor Manufaktur Jadi Peluang Pekerja Migran Bali
DENPASAR, NusaBali
Belasan ribu pekerja migran asal Bali diperkirakan berada di luar negeri. Para ‘pahlawan devisa’ ini banyak terserap di sektor hospitality seperti kapal pesiar ataupun spa.
Sektor lain seperti manufaktur belum banyak dilirik, padahal punya potensi ekonomi yang tidak kalah menarik. Iklim pariwisata yang kental di Pulau Dewata tampaknya membuat peluang bekerja di sektor lainnya belum dimaksimalkan. Industri manufaktur (pabrik) yang padat karya tidak banyak ditemukan di Bali. Pada gilirannya belum banyak pula lembaga pelatihan yang menyiapkan pekerja terjun ke industri manufaktur.
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Bali Anak Agung Gde Indra Hardiawan, mengatakan perlu sosialisasi lebih masif terkait peluang kerja sektor manufaktur di luar negeri.
Dia mengungkapkan, tahun ini pemerintah kembali menawarkan peluang kerja di sektor manufaktur ke negara Korea Selatan. Namun peminat Pekerja Migran Bali masih belum seberapa jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pendaftar yang mencapai sekitar 20 ribu orang di seluruh Indonesia.
“Untuk tahun ini ada sekitar 103 pekerja migran Bali yang mendaftar,” ujar Agung Hardiawan, Selasa (31/1).
Dia menambahkan, para pekerja migran yang mendaftar tersebut juga harus melewati beberapa tahap seleksi sebelum terpilih berangkat ke Negeri Ginseng. Adapun dalam beberapa tahun terakhir pekerja migran asal Bali yang akhirnya berangkat ke Korsel masih bisa dihitung dengan jari.
Menurut Agung Hardiawan, iklim sektor manufaktur yang masih kalah jauh dibanding sektor pariwisata juga berimbas pada sedikitnya jumlah lembaga pelatihan manufaktur di Bali. Adanya peluang kerja manufaktur di Korea Selatan juga memerlukan lembaga kursus Bahasa Korea.
“Kursus Bahasa Korea juga belum banyak di Bali,” sebut Agung.
Agung Hardiawan mengatakan, peluang bekerja di Korsel merupakan program tahunan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Korsel (G to G). Gaji yang ditawarkan mencapai Rp 22 juta – Rp 32 juta per bulan. Dan, karena program kerjasama pemerintah, pelindungannya pun akan maksimal di samping biaya keberangkatan yang minimal.
Terpisah, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (Disnaker ESDM) Provinsi Bali Ida Bagus Setiawan juga melihat adanya peluang bekerja di sektor manufaktur bagi pekerja migran Bali. Namun, dia juga mengingatkan pekerja migran Bali harus paham betul kompetensi yang dibutuhkan untuk bekerja di industri tersebut.
“Apa yang ditawarkan harus diketahui, jangan sampai terjadi kasus karena informasi yang didapat tidak lengkap, begitu datang berbeda jauh dengan yang dipikirkan,” ujarnya.
Ida Bagus Setiawan mengatakan, Disnaker ESDM Bali dan kabupaten/kota bertugas memetakan peluang kerja yang ada sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang ada di Bali dengan maksimal. Peluang kerja yang dikembangkan tidak terbatas pada sektor pariwisata tapi juga sektor lainnya.
Pihaknya pun siap mengadakan lembaga pelatihan untuk melengkapi pekerja dengan kompetensi yang dibutuhkan pasar. “Kita melihat pasar seperti apa, kemudian potensinya seperti apa, dan kerjasamanya dengan siapa. Supaya jelas, bahwa yang dididik dan dilatih akan mendapatkan kesempatan yang lebih besar,” tandas Ida Bagus Setiawan. *cr78
Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Bali Anak Agung Gde Indra Hardiawan, mengatakan perlu sosialisasi lebih masif terkait peluang kerja sektor manufaktur di luar negeri.
Dia mengungkapkan, tahun ini pemerintah kembali menawarkan peluang kerja di sektor manufaktur ke negara Korea Selatan. Namun peminat Pekerja Migran Bali masih belum seberapa jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pendaftar yang mencapai sekitar 20 ribu orang di seluruh Indonesia.
“Untuk tahun ini ada sekitar 103 pekerja migran Bali yang mendaftar,” ujar Agung Hardiawan, Selasa (31/1).
Dia menambahkan, para pekerja migran yang mendaftar tersebut juga harus melewati beberapa tahap seleksi sebelum terpilih berangkat ke Negeri Ginseng. Adapun dalam beberapa tahun terakhir pekerja migran asal Bali yang akhirnya berangkat ke Korsel masih bisa dihitung dengan jari.
Menurut Agung Hardiawan, iklim sektor manufaktur yang masih kalah jauh dibanding sektor pariwisata juga berimbas pada sedikitnya jumlah lembaga pelatihan manufaktur di Bali. Adanya peluang kerja manufaktur di Korea Selatan juga memerlukan lembaga kursus Bahasa Korea.
“Kursus Bahasa Korea juga belum banyak di Bali,” sebut Agung.
Agung Hardiawan mengatakan, peluang bekerja di Korsel merupakan program tahunan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Korsel (G to G). Gaji yang ditawarkan mencapai Rp 22 juta – Rp 32 juta per bulan. Dan, karena program kerjasama pemerintah, pelindungannya pun akan maksimal di samping biaya keberangkatan yang minimal.
Terpisah, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (Disnaker ESDM) Provinsi Bali Ida Bagus Setiawan juga melihat adanya peluang bekerja di sektor manufaktur bagi pekerja migran Bali. Namun, dia juga mengingatkan pekerja migran Bali harus paham betul kompetensi yang dibutuhkan untuk bekerja di industri tersebut.
“Apa yang ditawarkan harus diketahui, jangan sampai terjadi kasus karena informasi yang didapat tidak lengkap, begitu datang berbeda jauh dengan yang dipikirkan,” ujarnya.
Ida Bagus Setiawan mengatakan, Disnaker ESDM Bali dan kabupaten/kota bertugas memetakan peluang kerja yang ada sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang ada di Bali dengan maksimal. Peluang kerja yang dikembangkan tidak terbatas pada sektor pariwisata tapi juga sektor lainnya.
Pihaknya pun siap mengadakan lembaga pelatihan untuk melengkapi pekerja dengan kompetensi yang dibutuhkan pasar. “Kita melihat pasar seperti apa, kemudian potensinya seperti apa, dan kerjasamanya dengan siapa. Supaya jelas, bahwa yang dididik dan dilatih akan mendapatkan kesempatan yang lebih besar,” tandas Ida Bagus Setiawan. *cr78
Komentar