Ada Lontar Bertahun Saka 1819
Sebanyak 70 cakep lontar sakral milik Griya Gede Manuaba di Banjar Budi Tirta, Desa Siangan, Kecamatan Gianyar dikonservasi oleh Tim Penyuluh Bahasa Bali, Senin (29/5).
70 Lontar Sakral Griya Gede Manuaba Dikonservasi
GIANYAR, NusaBali
Dari 70 cakep lontar ini, beberapa di antaranya tercatat buatan Tahun Saka 1819 atau 1897 Masehi.
Jumlah lontar sakral yang dikeluarkan dari Pasineban Griya Gede Manuaba di Banjar Budi Tirta, Desa Siangan, Senin kemarin, mencapai 70 cakep. Namun, karena keterbatasan waktu, hanya sebagian lontar sakral yang bisa diidentifikasi. Kegiatan identifikasi dan konservasi puluhan cakep lontar sakral yang dilakukan Tim Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Gianya ini disaksikan langsung sesepuh griya sekaligus pemilik lontar, Ida Bagus Sutha Tanaya, 67.
Tim Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Gianyar yang terjun mengidentifikasi dan konservasi lontar-lontar sakral di Griya Gede Manuaba kemarin dikoordinasikan I Gusti Ngurah Budiarta. Dari identifikasi kemarin, salah satu lontar milik Griya Gede Manuaba yang berangka Tahun Saka 1819 berjudul ‘Gnirawana’. Selain itu, ada pula lontar Lelanangan’ yang berisi simbol alat kelamin laki-laki. Lontar Lelanangan ini berjudul nian panulak wong kena gering ala muah kene gering grubug.
Dari 70 lontar sakral milik Griya Gede Manuaba, yang berhasil diidentifikasi Tim Penyluh Bahasa Bali kemarin, antara lain, Lontar Upakara, Lontar Tetamban/Usada, Lontar Asta Kosala Kosali, Lontar Tantri (cerita rakyat), Lontar Darma Suaka, dan Lontar Darma Pemaculan---yang berkaitan dengan tata cara dan waktu bertani di sawah. Teridentifikasi pula sebuah Lontar Black Magic, tapi yang ini cukup diketahui saja, bukan untuk dipelajari.
Koordinator Tim Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Gianyar, IGN Budiarta, menyatakan kegiatan konservasi lontar rutin dilaksanakan 3 kali dalam sebulan. Sukses tidaknya penyelenggaraan konservasi lontar ini amat tergantung dari keterbukaan masyarakat (pemilik lontar). Sebab, kata Budiarta, kerap terjadi pihak pemilik lontar enggan karya sastra tradisional warisan leluhurnya dikonservasi.
“Lontar merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dirawat. Maka itu, kami sangat harapkan partisipasi masyarakat untuk terbuka dengan konservasi ini. Karena, tujuannya tiada lain supaya warisan leluhur ini tidak sampai punah,” jelas Penyuluh Bahasa Bali asal Banjar/Kelurahan Abianbase, Kecamatan Gianyar ini kepada NusaBali di Griya Gede Manuaba, Senin kemarin.
Budiarta menyebutkan, pihaknya melakukan konservasi secara bertahap terhadap lontar-lontar yang dipercayakan kepada Tim Penyuluh Bahasa Bali. Pertama-tama, lontar dibersihkan dulu dari debu-debu yang menempel. Selanjutnya, lontar diolesi minyak sereh bercampur alkohol 95 %. Setelah kering, barulah Tim Penyuluh Bahasa Bali melakukan identifikasi judul.
Karena terbatasnya waktu, para Penyuluh Bahasa Bali hanya menerjemahkan kalimat awal dan kalimat akhir dalam lontar. “Idealnya, seluruh isi lontar diterjemahkan, tapi itu perlu waktu. Satu lontar bisa membutuhkan waktu semalaman, bahkan berhari-hari untuk menterjemahkannya. Di satu sisi, jumlah lontar sangat banyak, sementara tenaga kami terbatas,” papar Budiarta.
Menurut Budiarta, ketika lontar sudah berhasil diidentifikasi, maka Tim Penyuluh Bahasa Bali langsung membuatkan sebuah katalog yang diserahkan kepada pemilik lontar. “Katalog ini diharapkan memudahkan pemilik lontar jika ingin mencari judul lontar yang dikehendaki. Jadi, tidak perlu ‘ngebitin’ lembar per lembar,” jelas Budiarta.
Sementara itu, Ida Bagus Sutha Tanaya mengatakan lontar-lontar yang tersimpan di Griya Gede Manuaba ini merupakan warisan leluhur yang sangat disakralkan. “Setiap piodalan suci Saraswati, puluhan lontar ini diupacarai,” jelas Sutha Tanaya di Griya Gede Manuaba, Senin kemarin.
Disebut sakral, kata Sutha Tenaya, karena tidak sembarang orang bisa membawa lontar-lontar tersebut. Jika ada orang yang data ke Griya Gede Manuaba, mereka hanya dibolehkan membaca lontar di tempat. “Saya dalam posisi mengamankan dan menyelamatkan lontar-lontar warisan leluhur ini. Minimal, jumlahnya tetap sama sejak diwariskan ke saya. Kalau toh ada orang yang memerlukan, saya berikan sebatas dibaca dan disalin di sini (Griya Gede Manuaba),” jelas pensiunan guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Gianyar ini.
Suta Tenaya menyebutkan, pihaknya khawatir jika lontar dibawa keluar dari Griya Gede Manuaba, maka nilai sakralnya akan berkurang. “Bagi kami, pengetahuan itu penting untuk disebarluaskan. Hanya saja, sudah menjadi komitmen keluarga bahwa lontar yang bernilai ini harus dijaga dengan baik, terutama jumlahnya supaya utuh,” katanya.
Sutha Tanaya sendiri mengapresiasi kedatangan Tim Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Gianyar, yang terjun untuk mengidentifikasi dan konservasi cakep lontar milik Griya Gede manuaba. Selama ini, kata dia, pihaknya hanya membuka satu jenis lontar saja yakni yang terkait Wariga atau Padewasan. Maklum, selain menjadi guru, Suta Tenaya juga sebagai ahli ngewacakang.
“Saya seperti mimpi didatangi muda-mudi ini (maksudnya Tim Penyuluh Bahasa Bali, Red). Karena saya sendiri tidak tahu apa judul-judul lontar yang disimpan ini. Setelah tadi dicek, ternyata ada banyak jenis lontar,” jelas Sutha Tenaya.
Menurut Sutha Tanaya, kondisi lontar-lontar sakral warisan leluhurnya saat ini masih bagus, walaupun minim perawatan. “Terakhir, lontar-lontar ini dibersihkan sekitar 3 tahun lalu. Namun, lontar-lontar sakral ini tidak pernah dibaca selama 3 generasi, sehingga tak banyak yang mengetahui isinya,” beber Sutha Tenaya. *nvi
GIANYAR, NusaBali
Dari 70 cakep lontar ini, beberapa di antaranya tercatat buatan Tahun Saka 1819 atau 1897 Masehi.
Jumlah lontar sakral yang dikeluarkan dari Pasineban Griya Gede Manuaba di Banjar Budi Tirta, Desa Siangan, Senin kemarin, mencapai 70 cakep. Namun, karena keterbatasan waktu, hanya sebagian lontar sakral yang bisa diidentifikasi. Kegiatan identifikasi dan konservasi puluhan cakep lontar sakral yang dilakukan Tim Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Gianya ini disaksikan langsung sesepuh griya sekaligus pemilik lontar, Ida Bagus Sutha Tanaya, 67.
Tim Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Gianyar yang terjun mengidentifikasi dan konservasi lontar-lontar sakral di Griya Gede Manuaba kemarin dikoordinasikan I Gusti Ngurah Budiarta. Dari identifikasi kemarin, salah satu lontar milik Griya Gede Manuaba yang berangka Tahun Saka 1819 berjudul ‘Gnirawana’. Selain itu, ada pula lontar Lelanangan’ yang berisi simbol alat kelamin laki-laki. Lontar Lelanangan ini berjudul nian panulak wong kena gering ala muah kene gering grubug.
Dari 70 lontar sakral milik Griya Gede Manuaba, yang berhasil diidentifikasi Tim Penyluh Bahasa Bali kemarin, antara lain, Lontar Upakara, Lontar Tetamban/Usada, Lontar Asta Kosala Kosali, Lontar Tantri (cerita rakyat), Lontar Darma Suaka, dan Lontar Darma Pemaculan---yang berkaitan dengan tata cara dan waktu bertani di sawah. Teridentifikasi pula sebuah Lontar Black Magic, tapi yang ini cukup diketahui saja, bukan untuk dipelajari.
Koordinator Tim Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Gianyar, IGN Budiarta, menyatakan kegiatan konservasi lontar rutin dilaksanakan 3 kali dalam sebulan. Sukses tidaknya penyelenggaraan konservasi lontar ini amat tergantung dari keterbukaan masyarakat (pemilik lontar). Sebab, kata Budiarta, kerap terjadi pihak pemilik lontar enggan karya sastra tradisional warisan leluhurnya dikonservasi.
“Lontar merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dirawat. Maka itu, kami sangat harapkan partisipasi masyarakat untuk terbuka dengan konservasi ini. Karena, tujuannya tiada lain supaya warisan leluhur ini tidak sampai punah,” jelas Penyuluh Bahasa Bali asal Banjar/Kelurahan Abianbase, Kecamatan Gianyar ini kepada NusaBali di Griya Gede Manuaba, Senin kemarin.
Budiarta menyebutkan, pihaknya melakukan konservasi secara bertahap terhadap lontar-lontar yang dipercayakan kepada Tim Penyuluh Bahasa Bali. Pertama-tama, lontar dibersihkan dulu dari debu-debu yang menempel. Selanjutnya, lontar diolesi minyak sereh bercampur alkohol 95 %. Setelah kering, barulah Tim Penyuluh Bahasa Bali melakukan identifikasi judul.
Karena terbatasnya waktu, para Penyuluh Bahasa Bali hanya menerjemahkan kalimat awal dan kalimat akhir dalam lontar. “Idealnya, seluruh isi lontar diterjemahkan, tapi itu perlu waktu. Satu lontar bisa membutuhkan waktu semalaman, bahkan berhari-hari untuk menterjemahkannya. Di satu sisi, jumlah lontar sangat banyak, sementara tenaga kami terbatas,” papar Budiarta.
Menurut Budiarta, ketika lontar sudah berhasil diidentifikasi, maka Tim Penyuluh Bahasa Bali langsung membuatkan sebuah katalog yang diserahkan kepada pemilik lontar. “Katalog ini diharapkan memudahkan pemilik lontar jika ingin mencari judul lontar yang dikehendaki. Jadi, tidak perlu ‘ngebitin’ lembar per lembar,” jelas Budiarta.
Sementara itu, Ida Bagus Sutha Tanaya mengatakan lontar-lontar yang tersimpan di Griya Gede Manuaba ini merupakan warisan leluhur yang sangat disakralkan. “Setiap piodalan suci Saraswati, puluhan lontar ini diupacarai,” jelas Sutha Tanaya di Griya Gede Manuaba, Senin kemarin.
Disebut sakral, kata Sutha Tenaya, karena tidak sembarang orang bisa membawa lontar-lontar tersebut. Jika ada orang yang data ke Griya Gede Manuaba, mereka hanya dibolehkan membaca lontar di tempat. “Saya dalam posisi mengamankan dan menyelamatkan lontar-lontar warisan leluhur ini. Minimal, jumlahnya tetap sama sejak diwariskan ke saya. Kalau toh ada orang yang memerlukan, saya berikan sebatas dibaca dan disalin di sini (Griya Gede Manuaba),” jelas pensiunan guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Gianyar ini.
Suta Tenaya menyebutkan, pihaknya khawatir jika lontar dibawa keluar dari Griya Gede Manuaba, maka nilai sakralnya akan berkurang. “Bagi kami, pengetahuan itu penting untuk disebarluaskan. Hanya saja, sudah menjadi komitmen keluarga bahwa lontar yang bernilai ini harus dijaga dengan baik, terutama jumlahnya supaya utuh,” katanya.
Sutha Tanaya sendiri mengapresiasi kedatangan Tim Penyuluh Bahasa Bali Kecamatan Gianyar, yang terjun untuk mengidentifikasi dan konservasi cakep lontar milik Griya Gede manuaba. Selama ini, kata dia, pihaknya hanya membuka satu jenis lontar saja yakni yang terkait Wariga atau Padewasan. Maklum, selain menjadi guru, Suta Tenaya juga sebagai ahli ngewacakang.
“Saya seperti mimpi didatangi muda-mudi ini (maksudnya Tim Penyuluh Bahasa Bali, Red). Karena saya sendiri tidak tahu apa judul-judul lontar yang disimpan ini. Setelah tadi dicek, ternyata ada banyak jenis lontar,” jelas Sutha Tenaya.
Menurut Sutha Tanaya, kondisi lontar-lontar sakral warisan leluhurnya saat ini masih bagus, walaupun minim perawatan. “Terakhir, lontar-lontar ini dibersihkan sekitar 3 tahun lalu. Namun, lontar-lontar sakral ini tidak pernah dibaca selama 3 generasi, sehingga tak banyak yang mengetahui isinya,” beber Sutha Tenaya. *nvi
1
Komentar