Patologi Pembelajaran
DALAM kedokteran, patologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit, analisis, dan pengambilan sampel jaringan, sel, dan cairan tubuh. Rasa ingin tahu menanyakan, apakah ilmu ini dapat dimanfaatkan untuk menganalisis dan menerapi penyakit pembelajaran secara efektif ?
Menurut para ahli pembelajaran terdapat 7 (tujuh) macam penyakit pembelajaran yang biasa ditemui. Ketujuh penyakit pembelajaran, yaitu, disleksia, disgrafia, diskalkulia, gangguan pemrosesan oditori, gangguan pemrosesan visual, gangguan belajar nonverbal, dan gangguan perseptual/visual defisit gerak.
Setiap jenis penyakit tersebut harus didiagnosis menggunakan prosedur operasi standar (SOP). Misalnya, pemeriksaan darah harus dilakukan diagnosis secara sistematis, yaitu: menyiapkan reagen pada suhu kamar, meneteskan 1 tetes (±50 µl) anti-A, anti-B, anti-AB, dan anti-D pada objek glass, memijit-mijit ujung jari manis/tengah donor dan kemudian melakukan desinfeksi dengan alkohol 70 persen, menusuk jari manis/tengah dengan posisi vertikal, menggunakan blood lancet, mengusap darah yang pertama kali keluar dari jari donor dengan kapas kering, meneteskan 1 tetes darah yang keluar pada objek gelas yang sudah diberi antisera, mengaduk dengan batang pengaduk masing-masing campuran darah donor dengan antisera dan menggoyang-goyangkan, serta mengamati ada tidaknya aglutinasi secara makroskopis.
Demikian hendaknya, pemeriksaan penyakit pembelajaran agar dilakukan oleh agen pendidikan secara prosedural. Misalnya, disleksia merupakan kesulitan belajar yang menyebabkan masalah dalam membaca, menulis, dan mengeja. Gangguan belajar ini termasuk ke dalam gangguan saraf pada bagian batang otak. Bagian otak inilah yang memroses bahasa. Penyebab disleksia belum diketahui secara pasti. Namun, kondisi ini erat kaitannya dengan faktor genetik. Salah satu faktor yang meningkatkan risiko seseorang mengalami disleksia adalah memiliki keluarga dengan riwayat disleksia. Disleksia bermula dari ketidakmampuan otak dalam memroses bahasa. Anak dengan disleksia memiliki inteligensi dan penglihatan yang normal. Meski tidak lancar membaca, anak-anak disleksia memiliki kemampuan berpikir yang cepat dan kreatif, serta kemampuan berlogika yang kuat. Penderita disleksia akan kesulitan dalam mengidentifikasi kata-kata yang diucapkan, dan mengubahnya menjadi huruf atau kalimat.
Contoh lain, yaitu disgrafia atau kesulitan belajar yang ditandai adanya kesulitan dalam mengungkapkan pemikiran dalam komposisi tulisan. Menurut Lerner (2000) faktor yang menyebabkan disgrafia, yaitu, gangguan motorik anak, gangguan perilaku yang dialami anak, gangguan persepsi pada anak, gangguan memori, gangguan tangan pada anak, gangguan anak pada saat memahami instruksi. Terapi disleksia harus dilakukan sesuai dengan penyebabnya secara tepat.
Diskalkulia berbeda dengan disleksia atau disgrafika. Diskalkulia adalah kesulitan belajar dalam memahami simbol-simbol. Diskalkulia awalnya diidentifikasi pada pasien yang menderita ketidakmampuan dalam aritmatika tertentu sebagai akibat kerusakan daerah tertentu dari otak.
Penyakit pembelajaran yang kompleks, seperti menyontek, tidak hirau dengan mutu, prostikrasi, rendahnya budaya literasi, tidak suka belajar tetapi ambisi meraih nilai baik, tidak kritis dalam belajar, kurang kreatif, tidak percaya diri, kurang kolaboratif, dan kurang produktif membaca dan menulis ilmiah. Berbagai upaya telah dilakukan guru, orangtua, masyarakat, dan pemerintah, namun hasilnya belum maksimal bahkan terkesan paradoksal. Semakin sarat kegiatan ilmiah guru diselenggarakan, namun kompetensi mereka ajeg atau bahkan menurun. Semakin tahun anggaran ditambah untuk peningkatan infrastruktur pembelajaran, namun budaya belajar tidak kunjung membumi. Sistem pendidikan disepadankan dengan zaman, kurikulum ditambal sulam dengan dalih kontekstualisasi, dan materi pembelajaran dijejal, namun semua itu tidak meningkatkan mutu pendidikan secara pasti.
Simpulannya, patologi pendidikan dan pembelajaran belum atau tidak dianalisis secara prosedural seperti pada bidang ilmu kedokteran. Semoga insan pendidikan belajar menuai ilmu dan keterampilan mendiagnosis seperti dokter. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
1
Komentar