Puluhan Lontar Milik Puri Sunia Carangsari Dikonservasi
Menyimpan Rahasia Usada, Wariga hingga Kawisesan
MANGUPURA, NusaBali
Sebanyak 40-an cakep lontar milik Puri Sunia di Banjar Pemijian, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung berhasil dikonservasi oleh Penyuluh Bahasa Bali yang bertugas di Kabupaten Badung.
Konservasi dilakukan pada, Senin (6/2) di Puri setempat sebagai bagian dari Festival Konservasi Lontar serangkaian kegiatan Bulan Bahasa Bali Tahun 2023 tingkat Provinsi Bali. Belasan penyuluh terlihat sibuk membersihkan lontar dengan cara mengoleskan cairan khusus yang kemudian dilap dengan sangat hati-hati menggunakan kapas. Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Badung, I Wayan Budana menyebut, kondisi lontar di Puri Sunia Carangsari termasuk cukup terawat dengan tempat penyimpanan yang bagus.
Hanya saja memang beberapa lembar lontar ada yang sudah dimakan rayap. Selain itu, ada juga lontar yang patah. “Dalam mengonservasi lontar ini dibutuhkan kehati-hatian. Selain itu, pemilik lontar juga sangat terbuka terhadap upaya konservasi lontar ini. Sehingga memudahkan kami untuk melakukan konservasi,” terangnya, di sela acara.
Menurut Budana, festival konservasi lontar kali ini menyasar Puri Sunia Carangsari mengingat banyak lontar yang dimiliki oleh Puri tersebut. Dikatakan, setelah melakukan pembersihan lontar kemudian akan dibuatkan katalog mengenai isi lontar. Katalog tersebut lalu akan diserahkan kepada pemilik lontar. “Untuk konservasi lontar hari ini kami hanya baru sebatas membersihkan saja. Sedangkan untuk pembuatan katalog dan pengklasifikasian jenis lontar akan kami lanjutkan pada hari Kamis nanti. Tapi ada dua lontar yang tertua, yakni tentang kawisesan dan pangelukatan,” kata Penyuluh Bahasa Bali yang bertugas di Desa Abiansemal ini.
Puri Sunia Carangsari mengoleksi puluhan cakep lontar yang menyimpan rahasia usada, Kanda Pat, Wraspati Kalpa, Wariga, Semara Reka, tatwa hingga kawisesan atau tutur kadiatmikan. Jumlah koleksi lontar di puri ini diperkirakan mencapai sedikitnya 40 cakep. Kata Panglingsir Puri Sunia, I Gusti Ngurah Subrata,63, lontar berbagai ilmu ini adalah warisan dari sang kakek dan ayahandanya yang menekuni balian. Belum diketahui sudah sejak kapan lontar itu ada.
Sebab, selain ditulis sendiri oleh sang ayah, beberapa lontar juga berasal dari pemberian. Sedangkan Ngurah Subrata muda sudah mendapati lontar tersebut ada dan sering dibaca oleh sang ayah. Juga pada kala itu, ratusan murid ayahnya sering memadati puri tatkala hari-hari tertentu seperti saat Purnama dan kajeng kliwon.
Ngurah Subrata menjelaskan bahwa dahulu kakeknya mempelajari ilmu kawisesan atau kadiatmikan. Jalan menekuni ilmu ini adalah untuk melatih tenaga dalam sehingga memeroleh kesaktian. Sedangkan sang ayahanda, almarhum I Gusti Ngurah Oka Mayun, memilih jalan sedikit berbeda, yakni ilmu pengobatan dan tenung kelahiran.
“Saya tidak tahu pasti berapa jumlah lontar yang ayah saya wariskan. Yang pasti, dulu ayah saya adalah penekun balian untuk mengobati, mabayuh, dan menenung bawaan lahir dari orang-orang yang konsultasi ke sini,” tutur Ngurah Subrata ketika dijumpai di Puri Sunia, Senin kemarin. Pria yang kini menjadi Pamangku di Merajan Gede Puri Kawan ini adalah ‘penerus’ jalan sang ayah. Meskipun itu tidak dilakukan secara penuh melainkan sebatas menjawab konsultasi masyarakat soal urusan sekala maupun niskala berdasarkan tutur yang tercantum dalam lontar.
Ngurah Subrata masih mampu melayani konsultasi dari masyarakat soal pabayuhan otonan dan banten yang harus disiapkan per hitungan hari kelahiran. Pria kelahiran 1960 ini juga mampu menjelaskan kepada orang yang berkonsultasi mengenai bawaan kelahiran. Bawaan kelahiran yang dimaksud adalah watak, penyakit, dan pantangan dari seseorang berdasarkan hitungan otonan-nya. Tidak hanya hitungan otonan berdasar Sapta Wara, Panca Wara, dan wuku-nya, ditambahkan pula dauh atau jam kelahiran.
Masih soal kelahiran, pria dari 11 bersaudara ini juga sering dicari warga untuk meminta ‘surat ari-ari’ sesuai lontar Semara Reka. Dalam lontar ini terdapat penjelasan soal bagaimana langkah-langkah menanam ‘saudara lahir’ si bayi yakni ari-ari. Biasanya saat menanam ari-ari terdapat potongan lontar sepanjang sia guli atau sembilan kali panjang ruas tengah jari telunjuk. Potongan lontar sia guli ini ditanam bersama ari-ari. Di atas lontar itu berisi petikan bacaan dari lontar Semara Reka yang berbunyi permohonan kepada Ibu Pertiwi agar menjaga sang ‘saudara lahir’ di ‘rahim’-nya.
Selain soal kelahiran dan bayuhan, Ngurah Subrata juga sering didatangi warga apabila ada yang mau mencari hari baik membangun dan melaspas bangunan termasuk elemen persembahannya. Ada pula yang mencari hari baik pernikahan dan konsultasi hal-hal lain yang masih bisa dijawab oleh koleksi lontar di Puri Sunia. Bahkan apabila suatu upacara itu harus segera dilakukan padahal tidak ada hari baik saat itu, Ngurah Subrata bisa membantu hal-hal yang harus dilakukan untuk pamayuhan dewasa. Pamayuhan dewasa ini dilakukan untuk melebur sifat buruk suatu waktu atau hari. Dengan demikian, upacara tertentu yang tidak dapat ditunda bisa segera dilakukan.
“Sekarang saya masih aktif untuk sebatas mabayuhan dan membacakan lontar sesuai keperluan dari warga. Untuk menjadi seperti ayah saya, tanggung jawabnya sangat besar dan Beliau sendiri juga tidak mengizinkan apabila saya sendiri tidak siap,” pungkasnya. Puluhan cakep lontar koleksi Puri Sunia biasanya hanya dikeluarkan satu atau dua cakep jika ada yang berkonsultasi ke puri. Namun pada Hari Suci Saraswati, seluruh koleksi lontar dikeluarkan untuk dibersihkan dan diupacarai.
Dikarenakan tenaga yang terbatas, sedangkan jumlah lontar begitu banyak, beberapa cakep lontar pun kurang terawat, dimakan serangga, dan berlubang. Sebab, jarang dikeluarkan dan tidak sempat dibersihkan. Beruntung pada Senin pagi kemarin, Puri Sunia didatangi belasan Penyuluh Bahasa Bali untuk melakukan konservasi lontar serangkaian Bulan Bahasa Bali V Tahun 2023. *ol1, ind
Komentar