Belasan Remaja Adu Kepiawaian 'Ngripta Prasi'
DENPASAR, NusaBali
Belasan peserta Wimbakara (Lomba) Ngripta Prasi ajang Bulan Bahasa Bali ke-5, mencoba menghadirkan sebuah tafsir visual mereka dalam sebuah karya seni prasi yang mulanya merupakan sebuah karya ilustrasi dari sebuah teks seni tradisi, kelontaran, dan keaksaraan di Bali.
Keragaman visual dan gaya visual diinterpretasi dengan baik oleh masing-masing peserta. Meski semua peserta menyajikan hasil karya prasi terbaiknya, namun dewan juri memilih tiga terbaik dari yang terbaik.
Dari adu kepiawaian dalam lomba membuat prasi yang digelar di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Rabu (8/2), ini akhirnya dewan juri menetapkan Ida Bagus Made Astawa Diputra sebagai juara I, dan Kadek Ari Anjasmara serta I Gusti Ayu Widihiasih Putri Ardani sebagai juara II dan juara III.
Lomba yang diikuti 11 peserta itu memang menjadi daya tarik bagi pengunjung Bulan Bahasa Bali ke-5. Pengunjung yang didominasi anak-anak muda itu, sesekali melirik hasil karya yang dibuat di atas dulang oleh para peserta. Tiga dewan juri yang terdiri dari Drs I Made Suparta MHum, I Wayan Trisnayana, dan I Made Susanta Dwitanaya terkadang menghampiri para peserta untuk menyaksikan karya-karya mereka.
Made Susanta Dwitanaya mengatakan, lomba prasi kali ini mengambil tema tentang laut. Para peserta diajak menginterpretasi cerita tentang Samudra Montana yang diambil dari teks Adiparwa, tentang pengadukan Ksirarnawa atau lautan susu untuk mencari Tirta Amerta. “Masing-masing peserta menggambar penggalan atau interpretasi atas kisah naratif tersebut ke dalam selembar daun lontar. Hal itu memang tidak mudah,” ucapnya.
Dalam pembuatan karya prasi, ada tantangannya. Misalnya kepiawaian menggoreskan pangrupak di atas daun lontar yang memiliki serat dan karakter tersendiri. Medianya juga menjadi tantangan, karena membuat gambar di atas bidang kecil, yakni daun lontar dengan panjang 30 centimeter dan lebar sekitar 4 centimeter.
“Nah, ini yang menjadi sebuah tantangan bagi para peserta, dan itu pula yang menjadikan kekhasan dari sebuah karya prasi yang bersifat naratif itu,” ucap Made Susanta Dwitanaya.
Menggambar dengan media daun lontar dengan teknik toreh menggunakan pangerupak, memang menjadi tingkat kesulitan dan kerumitan. Para peserta yang menggunakan media lontar itu menaklukkan dengan teknik toreh. Media itu berukuran kecil, sehingga menuntut tingkat kreativitas dan ketekunan masing-masing peserta.
“Karya prasi ini sangat dekat dengan cara mengapresiasi sebuah karya. Karya prasi itu kecil, bisa digenggam, dan bisa dibaca seperti lontar. Di situ ada kedekatan antara si penikmat karya dengan karya seni itu sendiri,” ungkap Made Susanta Dwitanaya.
Prasi ini juga terkait dengan aspek aksara, bahasa, dan sastra. Prasi menjadi sebuah penginterpretasian visual atas teks aksara tersebut, yang nantinya akan digabungkan dengan sebuah gambar aksara, sehingga bertemu dengan karya klasik. “Ketika melihat peserta berproses, menjadi sebuah angin segar dari perkembangan seni prasi ke depan. Komunitas-komunitas anak muda tumbuh menekuni prasi, dan melalui ajang lomba ini bisa menjadi ajang untuk menjaring bakat-bakat baru utamanya anak-anak muda,” kata dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, ini.
Made Suparta yang dosen ISI Denpasar, ini mengatakan, prasi sebuah warisan leluhur yang sangat unik. Karena itu, seni prasi ini dimasukkan dalam bidang akademis untuk mempercepat pengembangan budaya membuat prasi. Sejak 1992, sudah menjadikan seni prasi ini sebagai mata kuliah. “Awalnya ada pada Jurusan Kriya, kemudian berkembang menjadi mata kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual hingga sekarang,” ucapnya.
Kalau melihat hasil dari sebuah penelitian, mulai tahun 90-an perkembangan prasi sangat menggembirakan. Sentra-sentra atau gudang-gudang pembuat prasi terus bertambah. Ketika di Tenganan sedikit berkurang, justru masyarakat di Sidemen yang intens membuatnya. Rata-rata masih aktif sekarang. Bahkan, hampir ada di seluruh daerah di Bali. Di Singaraja juga ada, hanya saja banyak yang belum diketahui. Banyak juga yang belum dikenal, karena mereka tidak mau mempromosikan diri.
“Secara melembaga, dengan adanya kebijakan Gubernur Bali ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan membuat prasi,” ujar Made Suparta.
Dia meyakini pembuat prasi ke depan akan terus berkembang. Di sini ada gaya Ubud, Kamasan, bahkan ada muncul gaya Tenganan. “Anatomi sudah banyak muncul, walau ornamen agak susah, rumit, dan medianya lebih kecil. Ini mungkin karena di sekolah-sekolah sudah ada pembelajaran ekstra membuat prasi mulai dari SD hingga perguruan tinggi, sehingga perkembangan prasi sangat bagus sekali,” sebutnya.
Hal senada juga dikatakan I Wayan Trisnayana. Dia sangat mengapresiasi para peserta dalam ajang ini. Itu sebagai bukti prasi sudah berkembang di masyarakat. Namun, perlu juga lebih digaungkan, sehingga seni prasi ini mendapat perhatian lebih. “Saat ini banyak muncul komunitas-komunitas, dan ajang untuk berekspresi seperti lomba prasi kali ini yang menjadi angin segar untuk lebih menggaungkan dan membangunkan semangat anak muda untuk menekuni prasi,” ujarnya.
Selain lomba, usul Trisnayana, perlu juga diperlihatkan masa depan prasi ini ke mana. Mestinya ada karir yang dibangun menekuni prasi. “Untuk membangkitkan anak-anak muda menekuni prasi, bisa saja melalui sosial media, sebab milenial paling cepat tertarik dengan hal-hal yang tren di media sosial. Ini perlu mendapat perhatian juga,” ucap koordinator komunitas prasi ini. *cr78
1
Komentar