Berbahasa Bali Sehari-hari
WAYAN Sambat lahir dari ibu Solo, ayah Bangli. Kakeknya dari pihak ibu, setahun sekali, biasanya saat libur semester, mengunjungi Sambat yang kini kelas dua SMA di Denpasar.
Suatu hari, ketika mereka jalan pagi di Pantai Mertasari, si kakek bertanya, mata pelajaran apa yang paling ia suka.
“Bahasa Inggris, Kakek,” jawab Sambat sigap.
“Memangnya kenapa?”
“Di Bali, kalau kita pintar bahasa Inggris, Kek, gampang untuk mendapatkan banyak uang. Bisa jadi bekal buat punya banyak teman di mana-mana. Bisa jadi modal kerja di luar negeri.”
Si kakek manggut-manggut. “Yang paling tidak kamu suka? Matematika pasti ya?”
Sambat menggeleng. “Mmmmm…..”
“Kimia? Fisika?”
“Bahasa Bali, Kek. Tapi, jangan bilang-bilang sama bapak dan ibu saya gak suka pelajaran bahasa Bali ya.”
“Lho, memangnya kenapa? Kamu kan orang Bali, aneh kalau gak suka bahasa Bali.”
“Bahasa Balinya saya suka Kek, tapi pelajarannya yang saya gak suka. Pelajaran bahasa Bali di kelas itu sulit, Kek, ruwet, sama sekali tidak menarik. Beberapa teman bahkan suka bolos, ngaku sakit.”
“Apanya, misalnya, yang tidak menarik?”
“Materinya tidak menarik, pembahasannya, penyampaiannya juga, terasa sulit, tidak akrab. Aneh saya rasa, belajar bahasa Bali lebih sulit dibanding belajar bahasa Inggris atau bahasa Jepang. Kenapa belajar bahasa asing lebih hepi, belajar bahasa ibu kok gak bisa enjoi ya, Kek?”
“Tapi dengan teman-temanmu Kakek perhatikan kamu berbahasa Bali.”
“Iya Kek, soalnya kalau dengan teman bahasa Bali kami sederhana, gak rumit, gampang, dan akrab. Dengan enteng kami campur-campur dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing, tanpa beban.”
“Lalu, dari mana kalian belajar bahasa Bali seperti itu?”
“Dari jalanan, Kek, dari main futsal, dari pergaulan di balai banjar, atau ya, ketika jalan-jalan bareng seperti kita lakukan sekarang ini.”
Lelaki tua yang tinggal di Tawangmangu itu beberapa kali mendengar keluhan dari menantunya, lelaki polos dari Bebalang, banyak anak-anak Bali asli tidak merasa nyaman berbahasa Bali sehari-hari. Mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam lingkungan keluarga dan kerabat. Dia mendapat penjelasan, di kantor-kantor pemerintahan dan swasta kebanyakan pegawai menggunakan bahasa Indonesia untuk aktivitas resmi.
“Kalau orang Jawa, bagaimana, Kek? Apakah kebanyakan orang menggunakan bahasa Jawa sehari-hari?”
“Iya, iya, Kakek berbahasa Jawa dengan sepupu dan tante serta om-om kamu. Tapi di Bali sini, bahasa Bali sangat diperhatikan oleh pemerintah. Bukankah sudah diselenggarakan Bulan Bahasa Bali sebulan penuh saban Februari?”
“Iya Kek, tapi kami sibuk lomba untuk merayakannya, bukannya melakukan sesuatu bagaimana agar orang Bali semakin banyak yang menggunakan bahasa Bali sehari-hari. Usai lomba kami lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Perlu ada penelitian deh, Kek, apakah semakin banyak yang menggunakan bahasa Bali sehari-hari sejak ada bulan bahasa.”
“Jadi, bahasa Bali itu hanya rame di bulan bahasa?”
“Kayaknya begitu, Kek. Tapi, misalnya kalau bikin ogoh-ogoh dan mengaraknya menjelang Nyepi, kami pasti ramai dan akrab berbahasa Bali. Nanti kalau Nyepi Kakek di Bali saja, biar tahu banyak anak muda berbahasa Bali. Dari pergaulan itulah saya belajar bahasa Bali Kek, tidak dari sekolah.”
Si kakek manggut-manggut lagi, tersenyum, menarik tangan cucunya ke sebuah warung yang menjual nasi kuning. “Sekarang kita sarapan dulu ya,” ajaknya. *
“Bahasa Inggris, Kakek,” jawab Sambat sigap.
“Memangnya kenapa?”
“Di Bali, kalau kita pintar bahasa Inggris, Kek, gampang untuk mendapatkan banyak uang. Bisa jadi bekal buat punya banyak teman di mana-mana. Bisa jadi modal kerja di luar negeri.”
Si kakek manggut-manggut. “Yang paling tidak kamu suka? Matematika pasti ya?”
Sambat menggeleng. “Mmmmm…..”
“Kimia? Fisika?”
“Bahasa Bali, Kek. Tapi, jangan bilang-bilang sama bapak dan ibu saya gak suka pelajaran bahasa Bali ya.”
“Lho, memangnya kenapa? Kamu kan orang Bali, aneh kalau gak suka bahasa Bali.”
“Bahasa Balinya saya suka Kek, tapi pelajarannya yang saya gak suka. Pelajaran bahasa Bali di kelas itu sulit, Kek, ruwet, sama sekali tidak menarik. Beberapa teman bahkan suka bolos, ngaku sakit.”
“Apanya, misalnya, yang tidak menarik?”
“Materinya tidak menarik, pembahasannya, penyampaiannya juga, terasa sulit, tidak akrab. Aneh saya rasa, belajar bahasa Bali lebih sulit dibanding belajar bahasa Inggris atau bahasa Jepang. Kenapa belajar bahasa asing lebih hepi, belajar bahasa ibu kok gak bisa enjoi ya, Kek?”
“Tapi dengan teman-temanmu Kakek perhatikan kamu berbahasa Bali.”
“Iya Kek, soalnya kalau dengan teman bahasa Bali kami sederhana, gak rumit, gampang, dan akrab. Dengan enteng kami campur-campur dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing, tanpa beban.”
“Lalu, dari mana kalian belajar bahasa Bali seperti itu?”
“Dari jalanan, Kek, dari main futsal, dari pergaulan di balai banjar, atau ya, ketika jalan-jalan bareng seperti kita lakukan sekarang ini.”
Lelaki tua yang tinggal di Tawangmangu itu beberapa kali mendengar keluhan dari menantunya, lelaki polos dari Bebalang, banyak anak-anak Bali asli tidak merasa nyaman berbahasa Bali sehari-hari. Mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam lingkungan keluarga dan kerabat. Dia mendapat penjelasan, di kantor-kantor pemerintahan dan swasta kebanyakan pegawai menggunakan bahasa Indonesia untuk aktivitas resmi.
“Kalau orang Jawa, bagaimana, Kek? Apakah kebanyakan orang menggunakan bahasa Jawa sehari-hari?”
“Iya, iya, Kakek berbahasa Jawa dengan sepupu dan tante serta om-om kamu. Tapi di Bali sini, bahasa Bali sangat diperhatikan oleh pemerintah. Bukankah sudah diselenggarakan Bulan Bahasa Bali sebulan penuh saban Februari?”
“Iya Kek, tapi kami sibuk lomba untuk merayakannya, bukannya melakukan sesuatu bagaimana agar orang Bali semakin banyak yang menggunakan bahasa Bali sehari-hari. Usai lomba kami lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Perlu ada penelitian deh, Kek, apakah semakin banyak yang menggunakan bahasa Bali sehari-hari sejak ada bulan bahasa.”
“Jadi, bahasa Bali itu hanya rame di bulan bahasa?”
“Kayaknya begitu, Kek. Tapi, misalnya kalau bikin ogoh-ogoh dan mengaraknya menjelang Nyepi, kami pasti ramai dan akrab berbahasa Bali. Nanti kalau Nyepi Kakek di Bali saja, biar tahu banyak anak muda berbahasa Bali. Dari pergaulan itulah saya belajar bahasa Bali Kek, tidak dari sekolah.”
Si kakek manggut-manggut lagi, tersenyum, menarik tangan cucunya ke sebuah warung yang menjual nasi kuning. “Sekarang kita sarapan dulu ya,” ajaknya. *
Aryantha Soethama
Komentar