Ogoh-Ogoh Lipya Bhisama Berlapis Kulit Telur dan Serutan Kayu, Angkat Cerita Batur Taskara
DENPASAR, NusaBali.com - ST Dharma Kusuma, Banjar Sima, Desa Sumerta Kaja, Denpasar Timur menampilkan ogoh-ogoh ‘Lipya Bhisama’ yang berlapis kulit telur dan serutan kayu.
“Sinopsis ogoh-ogoh ST Dharma Kusuma ini mengangkat cerita tantri, yakni, Batur Taskara yang menggambarkan sifat keraksasaan pada diri manusia (sad ripu),” terang I Gede Ari Wiranata selaku mentor pembuatan ogoh-ogoh ini.
Batur Taskara membuat kekacauan dan keonaran di sebuah desa yang sebelumnya damai, sejahtera, aman, tenteram dan bahagia. Kondisi ini membuat Batur Taskara menjadi target perburuan Sang Raja untuk dibunuh.
Menyadari hal tersebut, Batur Taskara melarikan diri ke tengah hutan untuk bersembunyi. Setelah sekian lama, Batur Taskara mulai sadar akan sifat dan kesalahannya, sehingga ia berguru kepada Maharsi bernama Empu Bajra Satwa.
Di tengah hutan, Batur Taskara akhirnya di-diksa menjadi orang suci. Setelah itu, Batur Taskara bertapa di tengah setra (kuburan) yang mendapatkan wahyu atau sabda dari Sang Hyang Wiracara, yakni, Batur Daskara tidak boleh kembali ke kerajaan pada saat sasih karo.
Masih di tengah hutan, di sekitar padepokannya, Batur Taskara bertemu dengan Istri Maya (wanita siluman) yang akhirnya dinikahinya. Singkat cerita Istri Maya mendorong Batur Taskara agar kembali ke kerajaan.
Karena mencintai istrinya, Batur Taskara melupakan sabda Maharsi. Bahkan kepergiannya dilakukan pada sasih karo di mana pada saat bersamaan kambing-kambing sang raja menghilang sehingga dicari abdi kerajaan hingga ke tengah hutan.
Saat Batur Taskara dan istrinya beristirahat di bawah pohon kepuh, para abdi dan prajurit raja menanyakan seekor kambing yang hilang.
Batur Taskara menjawab bahwa dia bersama istrinya tidak melihat kambing. Tapi selang beberapa waktu ada suara kambing terdengar. Ternyata istri Batur Taskara berubah menjadi seekor kambing dan dilihat oleh prajurit yang menuduh Batur Taskara sebagai pencuri kambing. Batur Taskara pun marah dan mengeluarkan sifat keraksasaannya (sad ripu).
“Dalam ogoh-ogoh ini terdapat tiga tokoh karakter ditambah dengan beberapa ogoh-ogoh figuran yang melambangkan sifat-sifat sad ripu,” kata Ari. Nantinya ogoh-ogoh dengan anggaran Rp 20 jutaan ini akan mencapai tinggi sekitar 4 meter.
Ogoh-ogoh ini menggunakan bahan ramah lingkungan yakni bahan ulatan bambu dan untuk melapisinya menggunakan kulit telur dan serutan kayu. Alhasil detil lapian ogoh-ogoh ini terasa menarik.
Untuk bahan kulit telur didapatkan di penjual martabak, toko kue dan penjual nasi goring, serta beberapa anggota sekaa teruna yang bekerja di hotel ikut serta mencarikannya di tempat kerja. Sedangkan serutan kayu diperoleh di tukang-tukang kayu dan perajin-perajin kursi, lemari dan lain-lain.
Dalam pembuatan ogoh-ogoh Lipya Bhisama ini sejatinya tidak ada arsitek (orang yang mempokoki pembuatan ogoh-ogoh).
“Karya ogoh-ogoh ini digarap 100 persen bersama-sama dengan saling bertukar pikiran, saling mengisi satu sama lain dan memberikan kesempatan bagi anak-anak usia SD hingga SMA belajar membuat ogoh-ogoh serta melibatkan juga para pemudi dalam berproses pembuatan ogoh-ogoh ini,” kata Ari saat ditemui Sabtu (18/2/2023).
Selain menggunakan kulit telur dan serutan kayu pada aksesoris ogoh-ogoh ini nantinya akan menggunakan tapis kepala dan kelopak bambu, serta bahan-bahan ramah lingkungan lainya.
Dalam penggunaan bahan-bahan seperti kulit telur dan serutan kayu ternyata ada alasan tersendiri.
“Kulit telur itu merupakan simbol dari sebuah emosi seseorang, jika dikaitkan isi telur tidak akan keluar jika tidak dipecahkan. Begitu juga dengan emosi jika tidak dipancing, maka tidak akan keluar. Sedangkan serutan kayu menggambarkan keadaan di dalam hutan,” kata Ari.
Ari mengakui jika tahun 2023 ini merupakan pertama kalinya menggunakan bahan-bahan seperti itu karena di tahun sebelumnya masih menggunakan media cat untuk mewarnai ogoh-ogohnya dan adapun kerumitan dalam pengerjaan ogoh-ogoh tersebut yakni dalam penempelan kulit telur yang tentu saja harus butuh kesabaran yang tinggi karena kulit telur mudah lepas dan banyak mengeluarkan lem. *m03
Berita ini merupakan hasil liputan Ngurah Arya Dinata, mahasiswa Praktek Kerja Lapangan di NusaBali.com
Komentar