Kapal Besar Langgar Zona, Nelayan Krisis Lobster
Sejumlah nelayan di Tabanan krisis tangkapan lobster. Kondisi ini diperparah dengan temuan kapal besar melanggar batas zona menangkap ikan.
TABANAN, NusaBali
Kapal besar dilarang menangkap ikan di zona laut 0 mil hingga 4 mil dari bibir pantai. Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tabanan, I Ketut Arsana Yasa berencana melaporkan kasus ini ke polisi.
Arsana Yasa yang akrab disapa Sadam mengaku sempat meneropong ke laut. Hasilnya, ia melihat sejumlah kapal besar menangkap lobster dengan jaring. Awalnya saya menduga hanya pasang jangkar. Ternyata mereka tangkap lobster gunakan jaring,” ungkap Sadam, Minggu (4/6). Menurutnya, kapal besar itu telah melakukan pelanggaran zona tangkapan. Sesuai peraturan kapal besar tangkap ikan di atas 4 mil dari bibir pantai.
Selama dua minggu ini, Sadam melihat sekitar 4 kapal besar beroperasi setiap pagi di wilayah Tabanan. Pertama ia melihat dua kapal di selatan Pantai Pasut, Kecamatan Kerambitan. Kedua, ada dua kapal besar di timur Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara, Kecamatan Tabanan. Biasanya kapal besar paling banyak beroperasi di selatan Pantai Soka, Desa Antap, Kecamatan Selemadeg Barat. “Saya mau beli lobster untuk konsumsi. Nelayan bilang hasil tangkapan nihil. Mungkin kalah dengan kapal besar,” duga Sadam.
Menurutnya, pelanggaran zona tangkap ikan harus ditertibkan. “Bila perlu Polda Bali harus turun,” harap Sadam. Setelah beroperasi, pergerakan kapal besar itu ke barat, diduga ke Jembrana. Jaring yang dibentangkan kapal itu sangat panjang, kira-kira 2 kilometer sehingga alat tangkap nelayan tradisional kalah saing. Dampaknya nelayan tradisional yang tangkap lobster dengan bubu tanpa hasil.
Sadam mengatakan, harga lobster masih bagus. Kualitas ekspor ukuran di atas 200 ons, sekitar Rp 340 ribu hingga Rp 450 ribu per kilogram. Kualitas lokal ukuran 100-200 ons sekitar Rp 250-300 ribu per kilogram. “Saya berharap polisi secepatnya menindaklanjuti kasus ini, kasihan nelayan tradisional. Untuk bukti saya sudah ada foto kapal besar tangkap lobster itu,” tegas Sadam.
Nelayan di Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara, Tabanan, I Wayan Bawa, 60, mengaku sejak dua minggu tangkapan lobster menurun. Biasanya jika pasang bubu 25 buah, dapat lobster 2 kilogram. Sekarang 0,5 kilogram pun tidak dapat. “Kadang-kadang bubu puyung (kosong),” keluhnya. Ia pun tak tahu penyebab paceklik lobster.
Nelayan lainnya di Pantai Soka, Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, I Ketut Arya Sedana, 66, mengaku sejak tiga bulan tidak melaut karena paceklik lobster. “Kalau paksakan melaut, kami merugi. Biaya bahan bakar tak kembali,” akunya. Ia pun memilih perbaiki jaring dan bubu dan berharap musim lobster dan layur segera tiba. *d
Arsana Yasa yang akrab disapa Sadam mengaku sempat meneropong ke laut. Hasilnya, ia melihat sejumlah kapal besar menangkap lobster dengan jaring. Awalnya saya menduga hanya pasang jangkar. Ternyata mereka tangkap lobster gunakan jaring,” ungkap Sadam, Minggu (4/6). Menurutnya, kapal besar itu telah melakukan pelanggaran zona tangkapan. Sesuai peraturan kapal besar tangkap ikan di atas 4 mil dari bibir pantai.
Selama dua minggu ini, Sadam melihat sekitar 4 kapal besar beroperasi setiap pagi di wilayah Tabanan. Pertama ia melihat dua kapal di selatan Pantai Pasut, Kecamatan Kerambitan. Kedua, ada dua kapal besar di timur Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara, Kecamatan Tabanan. Biasanya kapal besar paling banyak beroperasi di selatan Pantai Soka, Desa Antap, Kecamatan Selemadeg Barat. “Saya mau beli lobster untuk konsumsi. Nelayan bilang hasil tangkapan nihil. Mungkin kalah dengan kapal besar,” duga Sadam.
Menurutnya, pelanggaran zona tangkap ikan harus ditertibkan. “Bila perlu Polda Bali harus turun,” harap Sadam. Setelah beroperasi, pergerakan kapal besar itu ke barat, diduga ke Jembrana. Jaring yang dibentangkan kapal itu sangat panjang, kira-kira 2 kilometer sehingga alat tangkap nelayan tradisional kalah saing. Dampaknya nelayan tradisional yang tangkap lobster dengan bubu tanpa hasil.
Sadam mengatakan, harga lobster masih bagus. Kualitas ekspor ukuran di atas 200 ons, sekitar Rp 340 ribu hingga Rp 450 ribu per kilogram. Kualitas lokal ukuran 100-200 ons sekitar Rp 250-300 ribu per kilogram. “Saya berharap polisi secepatnya menindaklanjuti kasus ini, kasihan nelayan tradisional. Untuk bukti saya sudah ada foto kapal besar tangkap lobster itu,” tegas Sadam.
Nelayan di Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara, Tabanan, I Wayan Bawa, 60, mengaku sejak dua minggu tangkapan lobster menurun. Biasanya jika pasang bubu 25 buah, dapat lobster 2 kilogram. Sekarang 0,5 kilogram pun tidak dapat. “Kadang-kadang bubu puyung (kosong),” keluhnya. Ia pun tak tahu penyebab paceklik lobster.
Nelayan lainnya di Pantai Soka, Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, I Ketut Arya Sedana, 66, mengaku sejak tiga bulan tidak melaut karena paceklik lobster. “Kalau paksakan melaut, kami merugi. Biaya bahan bakar tak kembali,” akunya. Ia pun memilih perbaiki jaring dan bubu dan berharap musim lobster dan layur segera tiba. *d
1
Komentar