Pariwisata Pulih, Harga Kopi Terangkat
DENPASAR,NusaBali
Petani maupun pelaku UMKM kopi mengaku lega. Hal itu menyusul terangkatnya harga kopi, diantaranya kopi Kintamani (Arabica).
Harga perkilo saat ini, berada di kisaran Rp140.000-145.000 ribu. Padahal sebelumnya, pada saat pandemi harga kopi Kintamani anjlok berada di kisaran Rp90.000 perkilo gram. Bahkan pernah sampai Rp85.000 perkilo gram. Itu semua kopi grean bean (biji kopi).
I Komang Sukarsana, seorang petani sekaligus pelaku UMKM kopi asal Songan, Kintamani mengiyakan membaiknya harga kopi seiring dengan pulihnya pariwisata Bali.
Kunjungan wisatawan, baik domestik maupun manca negara semakin ramai pasca pandemi berakhir. Otomatis kebutuhan terhadap kopi juga meningkat. “Hotel-hotel, restoran, kafe banyak yang sudah buka,” Kamis(2/3).
Karena itulah, untuk saat ini pasar tidak menjadi kendala bagi pemasaran kopi. Hal yang berbeda dengan produksi budidaya tanaman atau produk lain, yang umumnya sering terungkap terbentur pemasaran di kala produksi melimpah.
“Astungkara, untuk kopi saat ini pasarnya baik,” ujar pelaku UMKM yang merupakan binaan dari Bank Indonesia. Bahkan bisa dikatakan pasar sudah menunggu produksi kopi Bali yang memang dikenal kualitas rasanya.
Produksi kopi, khususnya kopi Kintamani sekitar 500 kilogram per hektare, untuk setiap masa panen. Hasil panen memang tidak banyak.
Menurut Sukarsana hal itu disebabkan, karena kopi masih dianggap tanaman sela. Sedangkan tanaman pokok, adalah jeruk. Jadi kopi ditanam di sela-sela jeruk. Karenanya populasi kopi dalam 1 hektare juga tidak banyak.
Dikatakan Sukarsana, populasinya paling sekitar 800 pohon per hektare. Sebaliknya apabila dalam 1 hektar semuanya ditanami dengan perkebunan, populasinya sampai 1.600 pohon.
Dengan membaiknya bisnis kopi tersebut, Sukarsana berharap pemerintah memberikan dukungan. Selain bantuan teknis dan sarana berkaitan dengan budidaya kopi, ada semacam regulasi yang bisa menjamin keberlanjutan pasokan bahan baku kopi.
“Mungkin tata niaganya yang diatur, agar bisa lebih banyak usaha hilir kopi di Bali,” ujarnya. Dengan aturan itu, produksi kopi dari hulu ke hilir, bisa lebih banyak dilakukan di Bali. “Bermanfaat jelas bagi petani dan pelaku UMKM, karena kopi mempunyai nilai tambah,” ujarnya. Pengiriman bahan baku atau biji kopi ke Bali, bisa dikurangi, karena sudah bisa terserap di Bali. *k17
I Komang Sukarsana, seorang petani sekaligus pelaku UMKM kopi asal Songan, Kintamani mengiyakan membaiknya harga kopi seiring dengan pulihnya pariwisata Bali.
Kunjungan wisatawan, baik domestik maupun manca negara semakin ramai pasca pandemi berakhir. Otomatis kebutuhan terhadap kopi juga meningkat. “Hotel-hotel, restoran, kafe banyak yang sudah buka,” Kamis(2/3).
Karena itulah, untuk saat ini pasar tidak menjadi kendala bagi pemasaran kopi. Hal yang berbeda dengan produksi budidaya tanaman atau produk lain, yang umumnya sering terungkap terbentur pemasaran di kala produksi melimpah.
“Astungkara, untuk kopi saat ini pasarnya baik,” ujar pelaku UMKM yang merupakan binaan dari Bank Indonesia. Bahkan bisa dikatakan pasar sudah menunggu produksi kopi Bali yang memang dikenal kualitas rasanya.
Produksi kopi, khususnya kopi Kintamani sekitar 500 kilogram per hektare, untuk setiap masa panen. Hasil panen memang tidak banyak.
Menurut Sukarsana hal itu disebabkan, karena kopi masih dianggap tanaman sela. Sedangkan tanaman pokok, adalah jeruk. Jadi kopi ditanam di sela-sela jeruk. Karenanya populasi kopi dalam 1 hektare juga tidak banyak.
Dikatakan Sukarsana, populasinya paling sekitar 800 pohon per hektare. Sebaliknya apabila dalam 1 hektar semuanya ditanami dengan perkebunan, populasinya sampai 1.600 pohon.
Dengan membaiknya bisnis kopi tersebut, Sukarsana berharap pemerintah memberikan dukungan. Selain bantuan teknis dan sarana berkaitan dengan budidaya kopi, ada semacam regulasi yang bisa menjamin keberlanjutan pasokan bahan baku kopi.
“Mungkin tata niaganya yang diatur, agar bisa lebih banyak usaha hilir kopi di Bali,” ujarnya. Dengan aturan itu, produksi kopi dari hulu ke hilir, bisa lebih banyak dilakukan di Bali. “Bermanfaat jelas bagi petani dan pelaku UMKM, karena kopi mempunyai nilai tambah,” ujarnya. Pengiriman bahan baku atau biji kopi ke Bali, bisa dikurangi, karena sudah bisa terserap di Bali. *k17
Komentar