Seniman Ogoh-ogoh Tutup Usia
Jero Mangku Wayan Candra yang dikenal sebagai seniman Ogoh-ogoh asal Sesetan, Denpasar, tutup usia pada usia 62 tahun, Sabtu (3/6) sore sekira pukul 18.30 wita.
Sebelum Meninggal Jero Mangku Wayan Candra ‘Ingin Pulang’.
DENPASAR, NusaBali
Tokoh panutan yang terkenal karena kiprahnya mendirikan Yayasan Gases Bali itu meninggal setelah sempat menderita penyakit herpes atau tilas naga sejak tiga bulan belakangan.
Saat NusaBali bertandang ke rumah duka di Jalan Raya Sesetan nomor 213, Denpasar Selatan, tampak prosesi nyiramang layon (jenazah) tengah berlangsung, Minggu (4/6) siang pukul 14.00 wita. Suasana isak tangis dari keluarga dan karma banjar setempat pecah saat jenazah mulai dibasuh. Namun, keluarga mengaku telah mengikhlaskan. Jero Manggu Wayan Candra meninggalkan istri tercinta, Nyoman Widiani, 5 anak dan 11 cucu.
Anak ketiga almarhum, Komang Indra Wirawan, 32, menceritakan, penyakit herpes yang diderita almarhum sebenarnya sudah sembuh. Namun, seolah telah direncanakan untuk meninggal, Jero Mangku Wayan Candra banyak memberikan tanda-tanda. Namun, tidak satu pun anak-anaknya yang ngeh dengan tanda itu. Dikatakan, sejak dua minggu terakhir, almarhum Jero Mangku Wayan Candra terus berbicara tentang masalah niskala, dengan menyebut ‘ingin pulang’.
“Sejak 2 minggu kemarin bapak banyak bicara masalah niskala. Katanya ingin pulang. Kerabat dekat diajak ngobrol berbicara ingin pulang. Teman-temannya juga dicari secara gaib, minta dibuatkan kajang (salah satu sarana untuk ngaben),” cerita Indra Wirawan.
Lalu, lima hari lalu almarhum memanggil anak buah kesayangannya untuk membuat video. Dalam rekaman video itu, almarhum memberikan tanda bahwa tidak akan lama lagi akan pulang. “Kita anak-anaknya ndak ada yang tahu. Malah bapak manggil anak buah kesayangannya. Bapak menyuruh dibuatkan video pakai HP. Sambil tidur ngigau, bapak bilang tinggal empat hari lagi, suud otonan cucu, pragat suba (setelah otonan cucu, selesai sudah). Kita lagi-lagi tidak ngeh kalau kata pragat yang bapak ucapkan, itu tanda bapak akan meninggal,” ungkapnya.
Puncaknya, saat otonan sang cucu dua hari lalu, Sabtu (3/6) sekira pukul 16.30 wita sedang berlangsung, kondisi almarhum Jero Mangku Candra mendadak drop hingga harus dilarikan ke IGD Rumah Sakit Sanglah. Berselang dua jam, Mangku Candra dinyatakan meninggal pada ‘sandikala’ sekitar pukul 18.30 wita. “Sebelum hari dimana bapak meninggal, dua hari sebelumnya bapak manja, tidak mau makan, makanya kondisi beliau drop. Nah, kemarin pas saat cucunya selesai natab oton, bersamaan juga bapak sudah tidak ada,” tuturnya.
Indra Wirawan mengaku, pihak keluarga sudah benar-benar mengikhlaskan meski tentu ada perasaan sedih. Pasalnya, ini merupakan kali keempat pertanda almarhum akan pergi. Tiga peristiwa sebelumnya, dalam rentang waktu 2002 sampai 2017, almarhum sempat mengalami kejadian mengerikan yang hampir merenggut jiwanya.
“Kami sedih tetapi belajar mengikhlaskan. Ini perjalanan keempat bapak untuk pergi. Sebelumnya, tiga kali sudah antara tahun 2002 sampai 2017 sudah ada jalan untuk meninggal. Dulu lebih parah lagi. Fatal dan itu sudah nyata wajar meninggal, karena jatuh, retak, dan patah. Tapi ternyata bapak selamat. Nah sekarang, ini karena nggak makan langsung drop dan meninggal,” katanya.
Konon, pihak keluarga meyakini meninggalnya Mangku Candra untuk menjalani karma tujuh turunan. Indra Wirawan menceritakan, selama ini dalam keluarganya tidak ada yang mampu bertahan sampai umur 50 tahun, terutama yang laki-laki. “Konon dulu dapat kepercayaan, dapat taksu. Namun karena disalahgunakan, sehingga ada kutukan 7 turunan yang harus dijalani. Bapak adalah keturunan yang ketujuh. Segala upacara sudah pernah dilakukan untuk memohon penyelesaian. Akhirnya diberikan kesempatan sampai umur segini. Kami sekeluarga sudah mengikhlaskan,” ceritanya.
Sepeninggal almarhum, banyak pesan yang disampaikan. Salah satunya menjaga hubungan baik dengan keluarga dan masyarakat. “Bapak pesan, melah-melahang menyama, metimpal (baik-baik dengan suadara dan berteman). Apa yang diajarkan itu semua diresapi,” ucap Indra Wirawan menirukan kata almarhum.
Permintaan almarhum pun sederhana. Mangku Candra tidak ingin diaben dengan menggunakan wadah atau lembu, cukup dengan tumpang salu. Tumpang salu seumpama tempat tidur jenazah yang dibuat dari tiying gading.
“Permintaan tumpang salu ini, beliau ingin sesederhana mungkin. Kalau dicari dari ketekan pitra yadnya ngaben, memang itu yang paling utama. Dia tidak ingin dibuatkan lembu atau wadah. Nanti kita lengkapi dengan sarana sepatutnya. Ngaben Prenawa Agung akan dilaksanakan besok siang (hari ini, red) di Setra Desa Adat Sesetan,” ungkapnya.
Di mata keluarga, menurut Indra Wirawan, sosok Mangku Candra dipandang sebagai sosok tegas dan tidak neko-neko. “Kalau bapak orangnya tegas, punya prinsip. Tidak neko-neko orangnya. Kalau A ya A, B ya B. Basic bapak memang preman berjiwa seni, ditambah belajar spiritual. Bapak jadi Mangku sejak 1995,” ceritanya.
Almarhum memiliki kemampuan bidang seni rupa. Ketika menyadari hal tersebut, kelima anaknya dididik menekuni seni, namun dengan bidang-bidang yang berbeda. Anak pertama, Putu Indra Bayu, mendalami seni lembu dan wadah. Anak kedua, Kadek Adi Indrayana, mendalami seni lukis dan patung, akan tetapi kini beralih ke seni banten. Sedangkan Komang Indra Wirawan, sebagai anak ketiga mendalami seni pedalangan dan tari. Saat ini Indra Wirawan juga sebagai dosen seni di IKIP PGRI Bali. Sementara anak perempuan satu-satunya yang keempat, Ni Luh Indra Susianawati ahli dalam seni tata rias, dan anak terakhir, Ketut Indra Wijaya lebih menyenangi seni musik dan sterofoam.
Kiprah almarhum dalam berkesenian selama ini memang totalitas. Beliau mendirikan Yayasan Gabungan Anak Seni Seni Serba Bisa (Gases), yang dulu merupakan singkatan dari Gabungan Seni Anak Sesetan. Ogoh-ogoh menjadi ikon dari yayasan ini. Setiap tahunnya, sekitar 200 ogoh-ogoh mampu dihasilkan selama kurun waktu tiga bulan. Tidak hanya di Bali, ogoh-ogoh juga laris manis dipesan di luar Bali seperti Amerika, Jepang, bahkan Australia rutin memesan tiap tahunnya.
Namun tidak hanya ogoh-ogoh, kesenian lain juga eksis di Yayasan ini. Sampai saat ini, Yayasan Gases bali berhasil melakukan upacara-upacara massal seperti nyapu leger massal setiap enam bulan sekali dan ngaben massal. “Kita melakukan upacara yadnya murni dari penghasilan kita sendiri. Sedangkan sumbangsih sifatnya sukkarela. Kita tidak memaksakan, kalau punya dana, upacara dijalankan, atau subsidi silang. Kalu tidak ya jangan dulu dibuat upacaranya,” tandas Indra Wirawan. *in
1
Komentar