Teknologi Informasi Melanda Seni Pertunjukan
Denpasar, NusaBali - Seiring pesatnya teknologi informasi maka perubahan sikap secara kultural, sosial, dan spiritual telah melanda seni pertunjukan Bali.
Hal itu diakui Ketua Harian MKB (Majelis Kebudayaan Bali) Prof Dr I Komang Sudirga. Jelasnya, perubahan calonarang melalui pembaruan dan pembauran bentuk berakibat pada pembauran identitas calonarang. Dominasi calonarang bondres telah menurunkan keagungan dramatari calonarang yang cenderung menjadi seni sekuler menghibur. Dominasi demonstrasi kekebalan pada semua jenis pertunjukan calonarang menimbulkan benturan antara atraksi teatrikal simbolis dengan aksi-aksi realis.
Prof Sudirga mengatakan, penting untuk mensinergikan antara kreativitas dengan religiusitas, dalam artian bebas berkreativitas tanpa kehilangan pakem sebagai sumber nilai. Etika nebek (menikam) rangda di terajang, misalnya, mesti ditabukan karena tempat ketinggian titi gangsa tersebut sebagai simbol Gunung Kailasa. Sebaliknya Rangda boleh ditikam ketika turun ke pertiwi dan itu pun jika sudah didahului dengan pangruwakan, seperti menebang pohon pepaya dan sebagainya.
“Seniman, pemangku kepentingan (stakeholders) mesti memiliki kesadaran terhadap idealisme keluhuran seni calonarang agar seni tetap bertaksu, dan tidak larut dalam selera pasar dan godaan kepentingan material,” tandas Komang Sudirga.
Sementara itu, Dr I Komang Indra Wirawan SSn MFilH menambahkan, untuk memperbaiki pertunjukan calonarang yang kebablasan saat ini diperlukan tata kelola penyajian pertunjukan calonarang yang benar. "Seperti apa papeson, pangawak, pangecet, pamegat, klasik, atau modern. Kita harapkan si pelaku, penonton, penyelenggara, prajuru, pemegang kebijakan, apabila terjadi penistaan budaya atau agama siapa yang bertindak? Jadi PHDI, MKB, MDA harus bersinergi,” tegasnya. *cr78
Prof Sudirga mengatakan, penting untuk mensinergikan antara kreativitas dengan religiusitas, dalam artian bebas berkreativitas tanpa kehilangan pakem sebagai sumber nilai. Etika nebek (menikam) rangda di terajang, misalnya, mesti ditabukan karena tempat ketinggian titi gangsa tersebut sebagai simbol Gunung Kailasa. Sebaliknya Rangda boleh ditikam ketika turun ke pertiwi dan itu pun jika sudah didahului dengan pangruwakan, seperti menebang pohon pepaya dan sebagainya.
“Seniman, pemangku kepentingan (stakeholders) mesti memiliki kesadaran terhadap idealisme keluhuran seni calonarang agar seni tetap bertaksu, dan tidak larut dalam selera pasar dan godaan kepentingan material,” tandas Komang Sudirga.
Sementara itu, Dr I Komang Indra Wirawan SSn MFilH menambahkan, untuk memperbaiki pertunjukan calonarang yang kebablasan saat ini diperlukan tata kelola penyajian pertunjukan calonarang yang benar. "Seperti apa papeson, pangawak, pangecet, pamegat, klasik, atau modern. Kita harapkan si pelaku, penonton, penyelenggara, prajuru, pemegang kebijakan, apabila terjadi penistaan budaya atau agama siapa yang bertindak? Jadi PHDI, MKB, MDA harus bersinergi,” tegasnya. *cr78
1
Komentar