Amurkaning Pertiwi, Ogoh-Ogoh Suwung Bantan Kendal Usung Dampak Kerusakan Alam Dibalut Teknologi Otomasi
DENPASAR, NusaBali.com – Sekaa Teruna Dharma Gargitha dari Banjar Suwung Batan Kendal, Desa Adat Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan mengusung konsep yang tidak biasa mulai dari teknis penggarapan hingga pesan yang ingin disampaikan.
Ogoh-ogoh pada umumnya menggunakan kerangka besi atau kayu kemudian dibentuk dengan anyaman bambu atau rotan. Cara semacam ini tidak berlaku untuk ogoh-ogoh garapan ST Dharma Gargitha yang bertajuk Amurkaning Pertiwi.
I Wayan Pasek Ristawan, 32, sang konseptor mengungkapkan bahwa teknis penggarapan Amurkaning Pertiwi dilakukan dengan sistem kerangka yang minim anyaman. Setelah konstruksi dibentuk, kerangka dasar ini langsung ditutupi kardus bekas untuk mencari bentuk.
Teknik full kardus ini diterapkan oleh Pasek hampir di semua bagian dan modul ogoh-ogoh kecuali bagian-bagian yang bentuknya lebih tradisional dan memerlukan detail. Sebab, tekstur kardus yang tidak plastis sulit mengikuti figur tradisi yang penuh lengkungan.
Jelas guru seni rupa ini, ide awal Amurkaning Pertiwi berasal dari gerakan mekanik sederhana yaitu naik turun bukan berangkat dari filosofi. Dari gerakan sederhana itu, filosofi yang cocok adalah fenomena gempa bumi dan muncullah figur Bedawang Nala.
Setelah figur dasar ditemukan, sesuai filosofi Bedawang Nala yang merupakan makhluk penyangga bumi maka bagian atas figur penyu raksasa ini harus diisi oleh objek di atas muka bumi. Kata Pasek, dirinya ingin merespons kondisi lingkungan yang dirusak keserakahan manusia maka hadirlah figur beberapa fauna yang merupakan binatang terancam punah.
Setidaknya ada tiga jenis fauna yang diposisikan di atas Bedawang Nala yakni sepasang harimau, seekor orangutan, dan satu sosok badak yang dibuat lebih mitologis bukan sebagai seekor hewan. Badak bercula satu itu digambarkan memakai seragam perang sembari memeluk orangutan di depannya.
“Ketika keseimbangan alam itu dihancurkan manusia seperti kepunahan satwa dan lainnya maka bumi itu akan marah dan terguncang,” tutur jebolan Pendidikan Seni Rupa dari Universitas PGRI Mahadewa Indonesia.
Selain untuk membentuk kerangka, elemen kardus hampir digunakan seutuhnya terutama pada modul fauna. Seperti pada sepasang harimau, kardus yang disobek lapisannya sehingga memunculkan kontur dalam digunakan untuk lapisan luar figur hewan asal Pulau Sumatera ini.
Ungkap Pasek, ST Dharma Gargitha sama sekali tidak menggunakan terracotta clay untuk membentuk anatomi. Dirinya hanya memanfaatkan koran untuk menggantikan karakter plastis dari clay.
“Sejauh ini kami sudah menghabiskan 20 kilogram kardus, 6 kilogram kacang hijau dan ketan hitam untuk tempurung Bedawang, 10 kilogram kulit salak untuk tekstur kaki dan kepala Bedawang, juga beberapa pelepah pisang kering untuk sisiknya,” jelas Pasek.
Selain bahan alami tersebut ada pula satu keresek merah besar cangkang telur yang digunakan untuk tekstur perut Bedawang. Enam karung goni untuk kulit badak, satu renceng sabut kelapa, dan 15 kilogram kulit kayu tua untuk tekstur bagian bawah panggung penyangga modul fauna.
Kata I Kadek Angga Aditya Putra, 21, teknisi motorik Amurkaning Pertiwi, ada tiga jenis mesin yang digunakan untuk membuat tiga kelompok gerakan. Mesin sejenis derek mobil digunakan untuk gerakan naik turun yang mampu menahan beban hingga 4,5 ton sedangkan hasil akhir Amurkaning Pertiwi diperkirakan sekitar satu ton saja.
Ada mesin motorik dual axis untuk gerakan keluar masuk bagian tubuh penyu Bedawang dan gerakan memutar semacam berjalan agar terlihat hidup. Selain pada ogoh-ogohnya, panggung pun didesain bergerak naik turun dengan mesin equator linear untuk menutupi Bedawang
Ketiga kelompok gerakan ini ditenagai oleh sumber daya yang berbeda. Kata Angga, penggunaan daya secara terpisah ini untuk menghindari rugi daya dan merusak teknis motorik. Untuk mendukung gerakan motorik, ada 20 batang baja ringan dan sebatang balok besi berdiameter 10 cm dengan ketebalan dinding 3 mm digunakan.
“Ketiga gerakan itu dikendalikan melalui aplikasi dengan penerapan Internet of Things atau IoT. Kami bisa mengendalikan gerakan ogoh-ogoh secara realtime kapan pun dan di mana pun dengan bantuan perangkat kontrol bergerak yang saya pelajari di kampus,” sebut Angga.
Walaupun dengan kompleksitas penggarapan yang tinggi, sejauh ini dana yang dihabiskan baru senilai Rp 20 juta dan sudah termasuk konsumsi pada setiap penggarapan. Ogoh-ogoh ini ditarget rampung sebelum penjurian pada Kamis (9/3/2023) mendatang.
Pasek selaku konseptor mengungkapkan desain Amurkaning Pertiwi merupakan buah dari pola pikir untuk tampil beda lantaran selalu menelisik ogoh-ogoh yang sudah pernah dibuat sebelumnya. Meskipun sempat menyulitkan saat menggarap kerangka dengan kardus yang kaku, tantangan tersebut sudah bisa dilewati.
Pekerjaan rumah yang masih tersisa adalah beradu cepat dengan waktu yang tinggal dalam hitungan hari. Sementara itu, beberapa bagian terutama pada teknis motorik dan penyelesaian panggung tengah dikebut sembari try and error tetap berjalan. *rat
Komentar