UU Provinsi Bali Bisa Akhiri 18 Tahun Ketidakadilan
DENPASAR, NusaBali.com - Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Bali disebut bisa memutus lebih dari 18 tahun ketidakadilan terhadap Pulau Dewata pasca berlakunya UU Nomor 33 Tahun 2004.
RUU yang diusulkan Pemerintah Provinsi Bali dan menjadi inisiatif DPR RI ini menjadi titik balik pembangunan Bali ke depan. Sebab, kekuatan Bali yakni ‘sumber daya’ kebudayaan, adat, dan pariwisata dimuat dan diperkuat dalam RUU ini.
I Nyoman Parta, anggota Komisi IV DPR RI Dapil Bali menyebutkan Pulau Dewata telah bertahan di tengah ketidakadilan sejak tahun 2004 silam. Di mana UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah itu menganaktirikan Bali sebagai daerah yang miskin sumber daya alam (SDA) namun kaya kebudayaan.
I Nyoman Parta, anggota Komisi IV DPR RI Dapil Bali menyebutkan Pulau Dewata telah bertahan di tengah ketidakadilan sejak tahun 2004 silam. Di mana UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah itu menganaktirikan Bali sebagai daerah yang miskin sumber daya alam (SDA) namun kaya kebudayaan.
“Lebih dari 18 tahun Bali mendapatkan perlakuan yang kurang baik pasca berlakunya UU Nomor 33 Tahun 2004. Soal dana bagi hasil memang Bali mendapat jatah dari pajak tetapi dari SDA tentu Bali tidak memiliki itu,” kata Parta ketika dijumpai usai rapat pertemuan Komisi II DPR RI dengan komponen masyarakat Bali di Kantor Gubernur Bali pada Minggu (19/3/2023) malam.
Foto: I Nyoman Parta (tengah), anggota Komisi IV DPR RI Dapil Bali. -EBI
Dalam rapat yang mendiskusikan RUU Provinsi Bali itu, politisi PDI-P ini menyayangkan sumber pemanfaatan dana bagi hasil yang sebatas pajak dan SDA. UU Nomor 33 Tahun 2004 itu tidak menjabarkan pemanfaatan sumber daya lain sebagai sumber dana bagi hasil. Sedangkan setiap daerah di Indonesia termasuk Bali memiliki kekhasan tersendiri yang menjadi sumber daya lain bagi daerah tersebut.
Jelas Parta, Bali tidak memiliki sumber pendapatan dari SDA yang bisa dikubikkan, digramkan, dan diliterkan seperti tambang dan sejenisnya. Oleh karena itu, pulau yang menyumbang devisa besar kepada negara ini tidak mendapat dana bagi hasil yang semestinya dibandingkan daerah lain yang memiliki SDA.
Dalam sebuah artikel jurnal yang ditulis I Nyoman Sugawa Korry, Ketua DPD Golkar Bali pada tahun 2018 silam menjelaskan, daerah yang memiliki SDA biasanya mendapatkan jatah bagi hasil lebih besar.
Alasannya, dari SDA tersebut pemerintah mendapat pendapatan negara yang besar. Selain itu, rehabilitasi pasca eksploitasi SDA juga memerlukan dana yang tidak sedikit sehingga daerah dengan SDA diberi dana bagi hasil ‘sepadan’.
Padahal, daerah pariwisata seperti Bali juga tidak kalah tereksploitasinya dibandingkan daerah dengan SDA. Sebagai daerah pariwisata, kebudayaan dan adat istiadat Bali ‘terkeruk’ permintaan pasar pariwisata. Di mana, APBD menanggung sendiri dana rehabilitasi kebudayaan yang menjadi nyawa pariwisata Bali sementara sumber dana APBD sebagian besar dari masyarakat lewat pajak.
Padahal, daerah pariwisata seperti Bali juga tidak kalah tereksploitasinya dibandingkan daerah dengan SDA. Sebagai daerah pariwisata, kebudayaan dan adat istiadat Bali ‘terkeruk’ permintaan pasar pariwisata. Di mana, APBD menanggung sendiri dana rehabilitasi kebudayaan yang menjadi nyawa pariwisata Bali sementara sumber dana APBD sebagian besar dari masyarakat lewat pajak.
Hal inilah yang diakomodasi oleh RUU Provinsi Bali, tepatnya pada pasal 39. Di mana, Pulau Dewata dimungkinkan untuk memeroleh pendanaan untuk pemeliharaan kebudayaan, desa adat, lingkungan hidup, hingga kebutuhan pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu, RUU ini secara kolektif diyakini mampu mengakhiri lebih dari 18 tahun ketidakadilan yang dialami Bali.
Foto: Gus Adhi, anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali. -EBI
Pendapat politisi PDI-P asal Gianyar ini pun diamini oleh AA Bagus Adhi Mahendra Putra, anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali. Sebagai anggota komisi yang menangani langsung penggodokan RUU Provinsi Bali, Gus Adhi meyakini pemerataan pembangunan akan tercapai di pulau yang kecil ini melalui UU Provinsi Bali.
“Perubahan terbesar yang akan terjadi adalah pemerataan pembangunan. Bali utara, timur, dan barat akan terhubung semuanya dengan cepat,” tutur politisi Partai Golkar Bali ini ketika dijumpai dalam kesempatan yang sama pada Minggu malam.
Di samping itu, dengan adanya desa adat yang termuat dalam RUU Provinsi Bali maka akan ada jaminan seni budaya Bali berkembang. Seni budaya yang berkembang menjadi garansi keberlangsungan pariwisata Bali. Keberlangsungan industri pariwisata di Bali menjaga cadangan devisa dan pendapatan negara.
Jelas Gus Adhi, dengan UU Nomor 64 Tahun 1958 tentang tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, pembangunan Bali tidak dapat dilakukan dengan leluasa. Problemnya ada pada keterbatasan pendanaan dan ruang sempit payung hukum yang tidak eksklusif dan khas sesuai karakteristik pembangunan Bali saat ini. *rat
Komentar