Gunakan Media Lumpur, Tradisi Mebuug-buugan Desa Adat Kedonganan Jadi Sorotan
MANGUPURA, NusaBali.com – Suara riuh para krama Desa Adat Kedonganan terdengar jelas dari gelaran Tradisi Mebuug-buugan di dalam hutan Mangrove, Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Bali pada Kamis (23/3/2023) sore.
Hari Ngembak Geni atau satu hari setelah Hari Rara Nyepi, diisi warga Desa Adat Kedongan untuk mandi lumpur bertekstur tanah liat kecoklatan. Tradisi atau kebiasan warga setempat tersebut, dikatakan Bandesa Adat Kedonganan, I Wayan Sutarja sudah adak sejak ia masih kanak-kanak.
Bahkan menurut penuturan para penglingsir atau tetuanya, tradisi tersebut sudah ada sejak tahun 1965. Namun sempat terhenti akibat Gunung Agung Meletus kala itu, hingga akhirnya bangkit kembali sejak 2014 silam.
“Sejak dulu sudah aja, sewaktu saya kecil pun sudah ada. Saat tahun 1965 saya diberi tahu oleh para panglingsir saya, tradisi ini sudah ada. Kemudian tahun 2020-2021 terhenti lagi karena Covid-19. Lalu tahun 2022 kembali kami bangkitkan tradisi ini,” ungkapnya saat ditemui seusai tradisi.
Wayan Sutarja menjelaskan mengatakan tradisi mebuug-buugan berasal dari kata buug, yang dalam bahasa Bali berarti lumpur. Hal ini tak lepas dari proses dimana mereka saling melempar atau mengoleskan lumpur ke tubuh mereka. Tradisi ini, menurutnya, pada dasarnya bermakna filosofis dan masih terkait dengan Hari Raya Nyepi.
“Buug artinya lumpur karena lumpur sudah jelas kotor. Sehingga kotoran yang sudah melekat di tubuh kami lebur di pantai agar buug atau kotoran itu hilang,” jelas pria kelahiran 2 Agustus 1968 itu.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Tradisi mebuug-buugan bertujuan agar segala kekotoran yang ada di dalam diri bisa dibersihkan dan yang paling utama sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya.
“Secara geografis kami berada dekat dengan pantai, kami diberikan kelimpahan sumber daya seperti ikan oleh-Nya. Sehingga secara notabene pekerjaan kami adalah sebagai nelayan,” tuturnya.
Berlangsung pada pukul 13.00 Wita, tradisi diikuti oleh krama baik laki-laki dan perempuan dari segala umur. Pembedanya, para lelaki bertelanjang dada dan hanya dilengkapi dengan kamen sebagai penutup bagaian bawah. sementara krama perempuan, mengenakan pakaian adat Bali madia yaitu tetap mengenakan baju kaos.
Sambil menyusuri saluran sungai air rawa setinggi mata kaki, mereka nampaknya asyik melumuri diri dengan lumpur. Tak hanya ke tubuh mereka sendiri tapi juga ke teman-temannya. Bahkan terlihat anak-anak bersanda gurau saling lempar lumpur. Namun, kondisi ini bukanlah hal yang buruk, melainkan membuat suasana lebih meriah dan penuh canda tawa.
Tak sedikit pula warganya memetik dahan mangrove lalu mereka tancapkan ke kepala yang telah di lumuri oleh lumpur. Wayan Sutarja membeberkan hal tersebut bermakna bahwa warga Kedonganan hidup di dekat hutan mangrove dan dahan itu lah yang juga diguanakan dalam tradisi ini, yang sudah dikenalkan secara turun temurun.
“Mereka sangat berantusias, walaupun hanya dengan lumpur kami bisa bercanda ria untuk melaksanakan mebuug-buugan ini,” tuturnya.
Bahkan, media utama yang digunakan dalam tradisi ini adalah lumpur, tidak akan membuat kulit para krama gatal-gatal bahkan iritasi. Ia percaya, selama tradisi ini dilaksanakan belum didapati kasus seperti itu.
Sebab, sebelum turun ke hutan mangrove, pihaknya telah meminta izin kepada-Nya agar seluruh rangkaian tradisi ini dilancarkan dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, bagia wanita yang sedang haid dan krama yang sedang berduka kurang dari tiga hari, tidak diperkenankan mengikuti tradisi ini.
“Di Pura Dalem Kedonganan kami sudah ngaturang pejati (sarana upacara) dengan Jero Mangku, kami minta kepada Beliau agar perjalanan dan situasi selama tradisi berjalan dengan lancar. Kemudian kami dipercikkan tirta sebelum mencari lumpur,” imbuhnya.
Setelah saling melumuri badan dengan lumpur, ratusan peserta dari anak-anak sampai orang tua itu, berjalan menuju sisi barat Desa Kedonganan yaitu ke arah Pantai Kedonganan untuk membersihkan diri. Hanya dengan waktu sekejab, badan mereka yang awalnya berlumuran lumpur tebal akhirnya bersih tersapu oleh air ombak.
“Tirta yang digunakan adalah Tirta Kahyangan Desa. Jadi setelah malukat di pantai, maka dibersihkan kembali dengan oleh tirta ini,” terang Jero Mangku Puseh Desa, Made Satu.
Salah satu peserta yang mengikuti tradisi unik ini, Ni Komang Lisma Melinda Putri mengatakan ini adalah pengalaman pertama ia ikut serta dalam tradisi mebuug-buugan ini.
“Ini pertama kali saya ikut karena baru dikasih sama orang tua dan baru juga tahu ada tradisi ini,” terang wanita yang masih duduk dibangku kelas 6 SD Negeri 3 Kedonganan itu.
Berbeda dengan Lisma, rekannya yang lain Ni Putu Divtha Agni Mahayani menerangkan ini kali kedua ia terjun langsung merasakan sensasi mandi lumpur. Ditanya apakah kulitnya gatal-gatal setelah terkena lumpur, Devitha dengan tegas menerangkan ia tidak merasakan gatal sama sekali.
“Tidak gatal sama sekali, malah saya senang bisa menghidupkan kembali tradisi yang sudah lama mati,” tuturnya antusias.
Mereka pun berharap, tradisi ini dapat dilangsungkan setiap tahunnya agar anak-anak seusianya, bahkan generasi yang akan datang bisa merasakan keseruan tradisi ini. *ris
1
Komentar