Kiprah di Balik Patung Tokoh Pariwisata Tjokorda Agung Sukawati
Siapkan Kesenian di Paris, Filmkan Tari Cak 1933
MEMAHAMI kepariwisataan Bali, khususnya Ubud, Gianyar, secara utuh dan otentik, tentu tak cukup hanya dengan ‘lensa kacamata‘ hari ini. Kemajuan pariwisata kini, sungguh tak otomatis menyembul. Karena era dahulu, Bali juga berada dalam pusaran koptasi penjajahan Belanda, ditandai dengan perikehidupan yang serba sulit.
Namun, kepariwisataan Bali, terlebih Ubud, tumbuh dan menyohor menjadi destinasi berkelas dunia. Kemasyuran bidang pelancongan tersebut tentu masih teramat sulit disandang oleh pulau-pulau lain di Nusantara, yang sama-sama bekas ekspansi penjajah.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada sederet tokoh penting di Bali yang sejak awal berambisi, berjuang untuk merintis dan mengembangkan pariwisata ini. Di antara deretan tokoh dimaksud, yakni Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati (almarhum), salah seorang tokoh penting dari Puri Agung Ubud.
Dalam buku ‘Tjokorda Gde Agung Sukawati (1910-1978) A Devotte of Art and Culture’ (2023), terungkap bahwa buku panduan untuk orang luar datang ke Bali pertama kali diterbitkan tahun 1914. Namun, pariwisata Bali baru benar-benar lepas landas pada tahun 1928. Hal itu ditandai setelah Bali Hotel, bangunan mewah pertama di Bali kala itu, dibuka di Denpasar. Hotel ini tidak hanya melayani semakin banyak turis asing kaya yang bepergian dengan kapal pesiar menuju destinasi eksotis, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung bagi seniman, penulis, pembuat film, pencinta seni, cendekiawan, dan pejabat pemerintah yang simpatik. Sejurus dengan itu, kemasyhuran Bali sebagai 'Surga Terakhir' menyebar ke seluruh dunia. Keadaan ini pula makin menarik wisatawan yang mempunyai rasa ingin tahu, idealis, dan ingin mencari kesenangan. Fenomena ini juga menciptakan komunitas seniman dan pengembara ekspatriat skala kecil, tapi penuh warna.
Iklim touristik yang mulai tumbuh tersebut disambut dengan kesadaran para seniman dan pengrajin Bali. Mereka menyadari bahwa para turis ataui pendatang baru itu sangat ingin membeli souvenir, ukiran kayu, lukisan, kerajinan perak, keranjang, topeng, dan segala macam pernak-pernik. Seperti dipaparkan Miguel Covarrubias, dalam kurun waktu hanya dua tahun (1931-1933) jumlah art shop di sekitar Bali-Hotel sudah menjamur. Meski pengrajin patung di Denpasar adalah yang pertama merespons permintaan tersebut, tak lama rekan-rekan mereka di Sanur, Batuan, dan Ubud segera bergabung, dibantu oleh kelompok Spies, Bonnet, Tjokorda Raka dan Tjokorda Gde Agung Sukawati.
Keempatnya sering berkunjung ke Bali-Hotel, di mana mereka bergaul dengan tamu baru. Sebagai orang yang berpengetahuan luas, Spies menjadi yang paling dicari dan pemandu bagi yang paling elit di antara mereka termasuk Covarrubias, Charlie Chaplin. Noel Coward dan ahli waris kaya, Barbara Hutton. Tjokorda Agung dan Spies juga membantu Baron Viktor von Plessen dalam pembuatan film tahun 1933 Island of Demons yang menampilkan pementasan pertama Tari Kecak yang terkenal itu. Meskipun tidak semenonjol yang lain, Bonnet dan Tjokorda Agung juga memainkan peran penting dalam menghibur dan memimpin tur untuk para bangsawan, cendekiawan, dan fungsionaris Belanda dihormati.
Bersama-sama dengan Tjokorda Agung, Bonnet yang merupakan penyelenggara ulung, menjadi pemimpin dalam upaya mendukung serta mempromosikan karya-karya seniman Bali. Tjokorda Raka dan Tjokorda Agung berperan penting dalam memperkenalkan tari, drama, dan musik Bali kepada dunia. Prosesnya dimulai dengan rombongan bertabur bintang yang mencakup penari legendaris 1 Mario (1 Ketut Maria) di Festival Pasar Gambir yang sangat populer di Batavia pada tahun 1929. Seperti sebelumnya, para sekawan ini berbagi tugas dengan Tjokorda Raka, anggota parlemen yang dihormati, yang mengatur urusan di ibu kota sedangkan Tjokorda Agung mengatur urusan di Bali. Setelah dinyatakan sukses besar, pemerintah kolonial pun memutuskan untuk mengirim rombongan besar Bali untuk tampil di Paviliun Hindia Belanda nan megah yang khusus dibangun untuk Pameran Kolonial tahun 1931 di Paris.
Foto: Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati-alm, (kiri), saat menerim tamu asing Puri Agung Ubud.-IST
Meskipun Tjokorda Agung tidak turut serta ke Paris dengan rombongan yang dipimpin oleh Tjokorda Raka, namun dia tetap memainkan peran kunci dalam menyelenggarakan acara global tersebut, yang menampilkan grup Gunung Sari dari Peliatan serta sejumlah penari terkenal. Repertoar yang memperkenalkan gerakan gemulai nan halus dari Legong Kraton dan kisah mendebarkan dari penyihir jahat Calonarang di panggung internasional untuk pertama kalinya, sangat ambisius dan disambut dengan pujian luar biasa yang masih bergema di seluruh dunia hingga saat ini.
Tahun 2018, Bupati Gianyar AA Gde Agung Bharata memberikan penghargaan kepada Tjokorda Gde Agung Sukawati dan Tjokorda Gde Raka Sukawati (Presiden NIT). Kreteria untuk perolehan penghargaan itu disusun sesuai keahlian dan jasa mereka. Penyusun dimaksud, budayawan Prof Dr I Made Bandem MA dan tim. Prof Bandem dan tim berhasil merumuskan lima kriteria sebagai landasan penilain. Rumusun dimaksud, yakni (1) Beliau (tokoh tersebut) memiliki terobosan baru dalam bidang pariwisata dan budaya yang tingg nilainya dan sangat bermanfaat bagi masyarakat; (2) Terobosan dalam bidang pariwisata dan budaya, dijadikan landasan kebijakan pegembangan pariwisata di tanah air yang bermanfaat bagi bangsa; (3) Selama hidupnya beliau aktif mengembangkan dan memanfaatkan seni budaya, khususnya dalam bidang seni rupa Bali yang semula berupa seni barter untuk sesuap nasi, kini menjadi seni adiluhung yang memiliki nilai ekonomi; (4) Inovasi beliau di bidang pariwisata dan budaya menyebabkan banyak tokoh seni, tokoh publik dan budayawan yang datang kepada beliau untuk berkonsultasi mengenai kebijakan pariwisata budaya; dan (5) Beliau sangat aktif dan berkesinambungan mempromosikan pariwisata budaya dengan mengadakan pameran seni rupa di beberapa kota besar di Indonesia yang mampu mengangkat harkat seni rupa Bali ke kancah nasional dan internasional.
Rumusan tersebut merujuk sejumlah penghargaan penting yang diraih Tjkokora Gde Agung Sukawati. Antara lain, The High Dutch Distinction, The Lion of Holland, 'Willem Order Oranje Van Nassau' Dari Ratu Juliana (Belanda)-1971. Doctor Honoris Causa di Bidang Filsafat dari University of Italy-1953. Doctor Honoris Causa Di Bidang Filsafat Dari University of Canada (National College Dominion of Canada)-1953. Anugerah Adikarya Kreatif Bidang Seni Rupa Dari Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif Republik Indonesia-2013. Anugerah Sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan-1992.
Anugerah Hadiah Seni Sebagai Pembina Seni Rupa Dari Presiden Republik Indonesia Penghargaan Bintang Wijaya Kusuma, sebagai pembimbing seni dan peduli lingkungan-1978. Piagam Dharma Kusuma untuk Yayasan Ratna Warta (yang didirikan oleh Tjokorda Gde Agung Sukawati) dari Gubernur Bali 2001. Piagam Karya Karana Pariwisata sebagai pelopor dalam membangun pariwisata Bali dari Gubernur Bali-2004.
Dua Penghargaan Dharma Kusuma dari Pemerintah Provinsi Bali, pertama sebagai pembimbing seni, dan kedua sebagai pendiri dan pengelola Museum Puri Lukisan-1978. Penghargaan Lempad Prize dari Sanggar Dewata Indonesia-2000. Anugerah Pembuat Perubahan (APP) atau Changemaker-2004. Award dari Change Makers Society dan Program Studi Ilmu Manajemen Pascasarjana Universitas Indonesia-2004. Anugerah Pers.K. Nadha Nugraha-2015. Piagam Penghargaan Widya Nugraha Dari Instiut Hindu Dharma Negeri Denpasar-2017.
Sejurus dengan penghargaan itu, Bupati Gianyar I Made Mahayastra membuat patung sosok ‘Ida Tjokorda Gde Agung Sukawati’. Patung ini dipasang di barat laut Pasar Ubud, dengan diresmikan Gubernur Bali Wayan Koster dan Bupati Gianyar I Made Mahayastra pada Purnama Kedasa, Budha Umanis Prangbakat, Rabu (5/4/2023). Pemasangan patung ini untuk menghargai dan menghormati jasa-jasa almarhum.7lsa
Komentar