nusabali

Pentaskan Tari Memedi Gemblungan

  • www.nusabali.com-pentaskan-tari-memedi-gemblungan

Tari Memedi Gemblungan berkisah tentang memedi (mahluk halus) yang sering menyembunyikan anak kecil.

Lega Sawitra Angkat Kearifan Lokal


DENPASAR, NusaBali
Setelah dibuka secara resmi Sabtu (10/6) lalu, Paguyuban Seni Klasik Sanggar Lega Sawitra, Desa Pakraman Suwug, Sawan, Buleleng, tampil di hari pertama Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIX tahun 2017. Baru hari pertama, masyarakat langsung memenuhi tribun di Kalangan Angsoka Taman Budaya Bali, Minggu (11/6) siang.

Suasana khas tradisonal pedesaan langsung terasa diawali oleh 10 perempuan tua melakukan atraksi ngoncang. Lesung dan penumbuk dibunyikan secara bergantian sehingga membentuk suara yang seirama. Ngoncang sendiri terinspirasi dari kegiatan menumbuk padi beramai-ramai, yang merupakan kegiatan masyarakat Bali sejak puluhan tahun lalu.

Menurut Koordinator Sanggar Lega Sawitra, Ngurah Gede Tita, atraksi ngoncang yang dinamai ‘Banda Kala’ ini erat kaitannya dengan garapan Tari Memedi Gemblungan yang ditampilkan kala itu. Tita mengaku, garapan yang diciptakan sejak dua bulan lalu tersebut baru pertama kalinya ditampilkan. Tari ini terinsipirasi dari kearifan lokal Bali tentang kehidupan lain di luar kehidupan manusia yang sudah semestinya hidup berdampingan.

Tari Memedi Gemblungan berkisah tentang memedi (mahluk halus) yang sering menyembunyikan anak kecil. Jika dilihat suku katanya, kata Tita, Memedi mendapat awalan me, med dan ih. Jika digabung, memedih berarti marah, karena merasa diganggu tempat tinggalnya. Maka, suatu ketika bila melihat anak kecil akan disembunyikan di tempat gaib dan tidak sembarangan orang bisa melihat.

“Menurut tradisi di Bali, dengan bunyi-bunyian maka anak yang sempat disembunyikan memedi itu, akan dikembalikan. Nah, saya coba mengemasnya menjadi sajian yang menarik dengan ikut menampilkan seni ngoncang di dalamnya,” ujar Tita.

Untuk menggarap cerita Tari Memedi Gemblungan, konon Ngurah Gede Tita sampai memohon izin ke hutan-hutan di daerah sekitar tempat tinggalnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. “Karena cerita ini tentang kehidupan dunia lain (mahluk halus), kita tentu tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kerauhan atau hal di luar kendali kita. Saat pentas tetap kita juga haturkan banten,” katanya.

Lanjutnya, mengacu pada tema Ulun Danu PKB XXXIX, Tita mengaku garapan ini tidak sekedar untuk melestarikan air sebagai sumber kehidupan, melainkan melestarikan lingkungan melalui kearifan lokal. Salah satunya dengan tetap hidup berdampingan dengan mahluk lainnya melalui tradisi-tradisi yang sudah ada. Ditambahkan, selain tarian ada pula tabuh yang diciptakan yakni tabuh Telaga Wangi yang bermakna keadaan kerta landuh, banyak tetesan air menjadi kemakmuran dan kesuburan. *in

Komentar