Sanggar Seni Dewa Rucci Sibang Kaja Angkat 'Style Bongkasa' dalam Parade Wayang Kulit Ramayana
MANGUPURA, NusaBali.com - Sanggar Seni Dewa Rucci dari Banjar Lambing, Desa Sibang Kaja, Kecamatan Abiansemal menjadi duta Kabupaten Badung yang bakal menampilkan wayang kulit tradisi bergaya Bongkasa di Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV Tahun 2023.
Dalam parade bertajuk Wayang Kulit Ramayana itu, sanggar yang didirikan IB Putu Tilem Singarsa, 27, bakal menghidupkan kembali kekhasan wayang kulit tradisi gumi keris, khususnya yang berasal dari daerah Badung utara.
Dari dua dominasi gaya wayang kulit tradisi di Badung yakni Buduk dan Bongkasa, gaya Bongkasa yang akan ditampilkan. Lantaran, sang dalang yakni Gus Tilem sendiri menurunkan gaya ini dari sang ayah, IB Gede Mambal, 60, dari Griya Suksuk Sibang Kaja.
Kata IB Gede Mambal atau biasa disapa Gusaji, seni wayang kulit gaya Bongkasa ini dia warisi dari gurunya, almarhum Ida Pedanda Putra Singarsa dari Griya Gede Bongkasa, Kecamatan Abiansemal. Pada saat walaka, dia dikenal sebagai IB Gede Sarga atau lebih populer disebut Dalang Sarga. Cucu dari pencetus gaya Bongkasa ini sempat populer mulai tahun 1960-an.
"Style Bongkasa ini memang memiliki kekhasan. Berdasarkan yang saya saksikan dulu dari guru saya, Beliau itu memulai pertunjukan tanpa paguneman (permusyawarahan antartokoh). Langsung masuk ke alas arum dan runtutannya kemudian tokoh-tokoh masuk lantas ada penjelasan cerita dari punakawan," tutur Gusaji ketika dijumpai di markas sanggar, Senin (17/4/2023) malam.
Di antara alur pamungkah yang berbeda dari gaya wayang kulit tradisi di daerah lain, daya kejut pada bagian ngore merupakan pertanda paling kentara. Sebab, hanya gaya Bongkasa yang memiliki ngore alias menirukan suara kera seakan ada jutaan kera yang sedang ribut. Oleh karena itu, tarian wayang Sugriwa menjadi satu dari sekian daya tarik wayang kulit bergaya Bongkasa.
Wayang lemah sendiri bersifat wali yang berkaitan dengan suatu yadnya. Pesan dan tattwa yang digambarkan wayang lemah lebih ditonjolkan. Sementara wayang peteng sendiri sudah bersifat hiburan terlepas dari nilai ritualnya yang masih ada.
Selain itu, wayang peteng menggunakan klir atau layar dan blencong atau damar api. Di mana bayangan wayang yang dilihat penonton menjadi fokus utama pertunjukan. Melihat perbedaan kedua jenis wayang ini tentu teknik memainkan juga berbeda.
"Tantangan lainnya adalah sekaa kami ini baru mulai dibentuk lagi. Ada empat penabuh gender wayang usia belia yang belum familiar dengan tabuh wayang. Sisanya 8 penabuh lain untuk babatelan seperti kendang, kempur, kecek, suling, dan kajar adalah orang-orang yang dulu sempat ikut Gusaji pentas," imbuh Gus Tilem ketika dijumpai dalam kesempatan yang sama.
Meskipun tidak berformat lomba seperti tahun-tahun sebelumnya, persiapan tetap dilakukan dengan maksimal sebab akan ditonton banyak mata. Apalagi kata Gus Tilem, gaya Bongkasa tidak sekadar ngore. Ada tatikesan dan gerakan tarian wayang yang lebih bertenaga daripada daerah lain. Selain itu, vokal pun harus disiapkan dengan baik lantaran gaya Bongkasa juga dikenal menampilkan ngelur (teriakan) yang kuat.
"Sampai saat ini seperti yang sudah-sudah, Gusaji belum membocorkan alur ceritanya akan seperti apa. Paling dua atau sebulan menjelang pentas baru dikasih tahu. Yang jelas pesannya itu harus sesuai tema Segara Kertih," ujar Gus Tilem yang juga anak pertama dari Gusaji.
Ketika ditanya soal ini ke Gusaji, dia merespons dengan gurauan dan memang seperti itulah dia mendidik Gus Tilem. Namun, Gusaji membeberkan bahwa akan ada satu kanda dari Saptakanda Ramayana yang diangkat untuk menyambung tema Segara Kertih. Alternatifnya disebutkan ada dua yakni Anoman Duta dan Yuddhakanda.
"Karena saya latar belakangnya Sastra Jawa Kuno, tentu akan ada banyak pesan-pesan dan tattwa yang berasal dari sastra nanti disampaikan dan diterjemahkan oleh punakawan. Karena dengan mempelajari Sastra Jawa Kuno secara tidak langsung saya juga belajar sastra dan bahasa pedalangan," ucap Gus Tilem.
Parade Wayang Kulit Ramayana ini diharapkan bisa menjadi medium pengenalan wayang tradisi. Sebab, selama ini masyarakat lebih mengenal wayang kulit inovatif atau kontemporer yang sudah dimodernisasi. Sedangkan setiap daerah di Bali memiliki akar seni wayang kulit yang khas mencitrakan masing-masing daerah. *rat
Komentar