Peternak Babi di Bali Waspada Flu Afrika
Masih aman, GUPBI minta peternak meningkatkan bio security.
DENPASAR, NusaBali
Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali menyatakan sejauh ini Bali masih aman dari wabah African Swine Fever (ASF) atau wabah flu Afrika. Namun demikian peternak dalam hal ini GUPBI, meningkatkan kewaspadaan, mengantisipasi kemungkinan menularnya ASF ke Bali.
Ketua DPD GUPBI Bali I Ketut Hary Suyasa menyampaikan, Kamis(4/5) terkait isu yang menyebutkan Singapura menghentikan sementara impor babi dari Indonesia khususnya dari Pulau Bulan, Riau.
“Sejauh dari pantauan kami, astungkara masih aman,” ujarnya.
Apalagi kalau melihat dari sisi regulasi. Untuk mengantarpulaukan ternak, termasuk babi tidak bisa sembarangan. Babi bisa dikirim keluar atau perdagangan antar pulau, apabila sehat. Kondisi sehat berdasarkan SKHH (Surat Keterangan Kesehatan Hewan).
“Jadi berdasarkan regulasi, tidak ada kekhawatiran, “ terang pria asal Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Badung.
Namun demikian, Bali dalam hal ini peternak diminta meningkatkan kewaspadaan.
“Terutama meningkatkan bio security. Karena itu methode paling efektif mencegah penularan penyakit hewan,” lanjutnya.
Bali sendiri, kata Darma Suyasa pernah punya pengalaman ‘terwabah’ ASF, sekitar 3 tahun lalu. Namun berkat edukasi dan penanganan yang dilakukan secara bersama-sama, Bali termasuk salah satu yang paling cepat pulih dari serangan ASF. “Sehingga kami (GUPBI) mendapat apresiasi dari Pusat,” ungkapnya.
Selain meminta kepada kalangan peternak, GUPBI Bali juga meminta atensi yang lebih dari pemerintah. Khususnya tentang edukasi antisipasi dan pencegahan penyakit hewan, yakni ASF agar lebih diintensifkan lagi.
Agar lebih efektif, Hary Suyasa menyarankan edukasi kesehatan hewan, khususnya tentang bio security mengikutsertakan banjar maupun pihak adat. ”Langsung terjun ke bawah bersama stakeholder terkait,” sarannya.
Ternak babi di Bali kata Hary Suyasa, terkait dengan sejumlah aspek; bisnis ekonomi, sosial adat budaya dan agama serta juga aspek lingkungan.
“Dari peternakan babi banyak tenaga kerja terserap, produknya memiliki nilai ekonomis,” urainya.
Demikian juga bisnis samping dan turunannya. Dan babi merupakan salah satu bahan kebutuhan dalam kegiatan sosial keagamaan. Contohnya potong babi terkait upacara keagamaan. “Jadi kaitannya dengan pelestarian adat dan budaya,” lanjut Hary Suyasa.
Populasi babi di Bali saat ini, menurut Hary Suyasa, sekitar 500 ribu ekor. Dia berharap populasi bisa terus bertambah mengingat kebutuhan babi dalam 2 -3 bulan ke depan diperkirakan meningkat. Hal itu karena daerah lain di luar Bali yang dikenal sebagai sentra babi terjangkit ASF. K17.
Komentar