Berawal dari 40 Warga Majapahit, Masjid Nurul Huda Kampung Gelgel Jadi Saksi Bisu Masuknya Islam di Bali
SEMARAPURA, NusaBali.com – Berlokasi tak jauh dari jantung kota Semarapura, Kampung Islam di Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Bali ini menjadi cikal bakal masuknya agama Islam di Pulau Dewata.
Berdasarkan catatan sejarah, Panglingsir Puri Agung Saraswati, Klungkung, Tjokorda Raka Putra menceritakan secara umum masuknya umat Islam di Bali berawal dari Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan yang mengirim leluhurnya ke Bali sekitar tahun 1352 Masehi dan kemudian putranya menjadi seorang Raja yang bernama Ida Dalem Semara Kepakisan.
Singkat cerita, terang Tjokorda Raka, Ida Dalem Smara Kepakisan di Majapahit atas undangan Maharaja Hayam Wuruk, beliau juga mendapat undangan dari Adipati Madura untuk menghadiri upacara yadnya di Madura.
Ida Dalem Smara Kepakisan berkenan untuk menghadiri undangan tersebut, sehingga berlayar diiringi oleh para patih.
Sekembali Ida Dalem Smara Kepakisan dari Madura menuju ke Gelgel, ia mengajak 40 orang warga Majapahit yang telah memeluk agama Islam ke Gelgel.
Warga beragama Islam itu ditempatkan di sebelah timur sebuah Keraton Suwecapura Gelgel dan dibuatkanlah masjid sebagai tempat beribadah yang saat ini bernama Masjid Nurul Huda. Tak ketinggalan, disiapkan areal untuk pemakaman.
“Setelah selesai upacara yadnya, beliau pulang ke Bali dan mampir ke Majapahit. Saat itu Majapahit kurang kuat, maka ia mengajak rakyat Majapahit yang beragama Islam sebanyak 40 orang ke Bali tepatnya di Gelgel,” terang Tjokorda Raka saat ditemui di kediamannya di Puri Agung Saraswati, Jalan Cempaka Nomor 3, Semarapura, Klungkung, Senin (1/5/2023) siang.
Sampai sekarang kampung tempat warga Islam itu dikenal dengan nama Selam Gelgel di Kampung Gelgel yang tetap lestari sampai saat ini.
Warga Islam ini yang kemudian dalam perjalanan sejarah, disebutkannya juga ada yang berpindah menuju kampung Lebah Klungkung hingga sekarang seketurunannya dan lainnya.
Mereka semua adalah warga Bali yang beragama Islam, seperti juga Bali lainnya yang beragama Hindu atau agama lainnya.
“Suatu saat Ida Dalem Dimade terjadi kudeta oleh menterinya, kemudian Ida Dewa Agung Jambe yang tinggal di Klungkung dan mengajak sebagian masyarakat Muslim di Gelgel untuk tinggal di Kampung Lebah,” tuturnya.
Tjokorda Raka bercerita, masyarakat Islam saat itu sangat berjasa karena turut membantu Puri Klungkung dalam Perang Puputan Klungkung.
Saat terjadi Perang Puputan Klungkung, warga Islam yang tinggal di Kampung Lebah didapuk sebagai pejabat kerajaan saat itu.
Bahkan, ada cerita bahwa cap kerajaan Puri Klungkung sampai bertuliskan huruf Arab.
Ditanya soal cerita cikal bakal sejarah ini, Tjokorda Raka mengungkapkan mengetahui cerita ini dari lontar yang sudah diterjemahkan ke dalam tulisan latin berbahasa Indonesia dan beberapa ia dapatkan dari beberapa referensi.
Sementara, untuk gambaran silsilah Warih Ksatria Dalem di Bali, ia dapatkan dari hasil guratan sang kakak pertamanya bernama Ida Dalem Pemayun.
“Pertama kali kakak saya yang memiliki pemikiran seperti ini, tetapi beliau sudah meninggal sehingga saya yang ditugaskan. Jadi ini arsip dari kakak saya yang masih berupa coretan di secarik kertas dan ini saya simpan bertahun-tahun. Lalu saya buat kembali versi bagusnya melalui Microsoft Excel dan ini saya buat selama hampir satu tahun,” ujarnya sembari menunjukkan arsip-arsip lamanya.
Foto: Penglingsir Puri Agung Saraswati, Klungkung, Tjokorda Raka Putra saat menerangkan silsilah Warih Ksatria Dalem di Bali. -RIKHA SETYA
Pria yang merupakan putra ke-11 dari Raja ke-19 Puri Klungkung, Ida Dewa Agung Gde Oka Geg itu menerangkan, sampai saat ini hubungan antar umat Islam dan Puri Klungkung masih terjalin harmonis dan erat.
Bahkan saat Ida Dewa Agung Gde Oka Geg (ayahnya) masih hidup, ayahnya menyebut warga Islam sebagai nyame selam (saudara muslim, Red).
Maka tak ayal, tiap kali ada upacara keagamaan di Puri Klungkung, nyama selam turut dibuatkan selaman atau makanan khusus seperti lawar yang halal dari olahan daging ayam atau itik.
“Selaman itu dari dulu sudah ada, biasa disebut tatadan atau bawaan kalau istilah Balinya. Kami di Puri Klungkung menganggap itu adalah tanggung jawab kami untuk warga Islam. Sehingga kalau seandainya ada apa-apa, kami yang bertanggung jawab,” terang pria yang juga berprofesi sebagai Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud) ini.
Umat Islam di Klungkung tersebar di empat wilayah yakni berlokasi di Kampung Islam Gelgel, Kampung Islam Lebah, Kampung Islam Jawa, dan Kampung Islam Toyapakeh.
Tjokorda Raka menerangkan, warga Islam di Kampung Toyapakeh berasal dari warga Kalimantan yang mengembara ke Nusa Penida. Sedangkan warga Islam di Kampung Jawa merupakan warga Jawa pendatang spontanitas yang masuk ke Klungkung.
“Masjid Al-Fatah Klungkung itu juga dulunya adalah tanah milik Kerajaan Klungkung yang kemudian dihibahkan untuk warga Islam Kampung Jawa,” bebernya.
Foto: Kepala Desa Kampung Gelgel, Sahidin saat ditemui di ruang kerjanya di Kantor Desa Kampung Gelgel, Jalan Raya Gelgel, Jumpai, Klungkung pada Rabu (3/5/2023) siang. -RIKHA SETYA
Dikonfirmasi secara terpisah, Kepala Desa Kampung Gelgel, Sahidin menuturkan hal yang sama. Bahwa keberadaan umat Islam di Kampung Gelgel seperti cerita sejarah bahwa pada sekitar abad ke-14 Raja Bali membawa rakyat Majapahit sebanyak 40 orang datang ke Kampung Gelgel. Sehingga berdasarkan catatannya, sampai saat ini, 40 orang itu beranak-pinak menjadi warga Islam Kampung Gelgel hingga mencapai 1.242 jiwa yang sekarang menempati Desa Kampung Gelgel.
“Keberadaan kami 100 persen memeluk agama Islam, tentunya kami hidup dengan harmonis, saling menghargai dan menghormati. Sampai saat ini tidak ada permasalahan, apa lagi yang berkaitan dengan agama. Karena kami saling memahami dan saling bersaudara hanya saja berbeda keyakinan,” jelas Sahidin saat ditemui di ruang kerjanya di Kantor Desa Kampung Gelgel, Jalan Raya Gelgel, Jumpai, Klungkung pada Rabu (3/5/2023) siang.
Ia menerangkan, berdasarkan arahan dari Panglingsir Puri Klungkung, Ida Dalem Smara Putra untuk tetap menjalin komunikasi dan tali silaturahmi untuk sebuah keharmonisan yang tentunya akan diwariskan ke generasi seterusnya.
Ini dibuktikannya pada setiap bulan puasa, pihaknya di Desa Kampung Gelgel mengundang selain Bupati Klungkung beserta jajarannya, mereka juga selalu mengundang Raja Klungkung dengan semua Panglingsir Puri Klungkung dan tokoh pemuda untuk hadir melakukan tradisi magibung atau aktivitas makan bersama saat buka puasa bersama di Masjid Nurul Huda.
Jika warga Muslim menggelar salat Idul Fitri dan
Idul Adha, maka warga umat lain akan turun tangan mengatur arus lalu
lintas di sekitar lokasi salat.
Idul Adha, maka warga umat lain akan turun tangan mengatur arus lalu
lintas di sekitar lokasi salat.
Sebaliknya, saat warga Hindu memperingati hari raya Nyepi, warga Desa Kampung Gelgel akan membantu bertugas bersama para pecalang untuk mengamankan wilayah.
“Kami sangat menghormati dan menghargai, bahkan kami memiliki pengaman yang bernama Laskar Nurul Huda yang bertugas dan menjaga keamanan kegiatan keagamaan seperti Hari Raya Nyepi. Sehingga sampai saat ini tidak pernah terjadi konflik apapun, sehingga toleransi ini jangan sampai ternodai oleh oknum-oknum yang tidak tahu apa sejarah,” terangnya.
Adapun benda-benda bersejarah yang masih tersisa di Desa Kampung Gelgel yaitu Masjid Nurul Huda yang berdiri di tengah-tengah Kampung Gelgel dengan luas sekitar 20 are, lalu pemakaman di sebelah timur Masjid Nurul Huda seluas 21 are, mimbar, bedug, Tari Rudat, dan menara.
Foto: (kiri) Bedug dan (kanan) mimbar peninggalan. -RIKHA SETYA
Sahidin menerangkan, sampai peninggalan bedug tersebut masih digunakan lima kali dalam sehari sesuai waktu salat.
Namun, kulit bedug tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan.
Sedangkan mimbar yang digunakan untuk tempat khatib masih kokoh lengkap dengan ciri khasnya yang berukiran Bali.
Selanjutnya, terdapat menara setinggi 17 meter di halaman Masjid Nurul Huda yang menjadi ciri khas dari masjid tersebut.
Ia mengatakan, alasan dibangunnya menara setinggi 17 meter itu merupakan simbol dari umat Islam yang melakukan salat sebanyak 17 rakaat dalam satu hari satu malam.
Sementara, kesenian Tari Rudat yang sudah diwariskan secara turun- termurun dikatakan Sahidin tidak bisa dipentaskan sembarang waktu alias ada waktu tertentu. Seperti dipentaskan pada saat hari Maulid Nabi dan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal.
“Namun juga dipentaskan pada saat Raja Klungkung kedatangan tamu dari Raja se-Nusantara dan kami wajib tampil. Karena ini mencerminkan masyarakat Islam di Klungkung salah satunya dengan kesenian Rudat ini,” pungkasnya. *ris
1
Komentar