'Pungutan' Desa Adat Disebut Sah Tapi Perlu Standardisasi dan Penertiban
DENPASAR, NusaBali.com - Dudukan (pungutan) desa adat sempat menjadi perbincangan lantaran dianggap pungutan liar (pungli) oleh sebagian kalangan. Akan tetapi, pungutan ini dinilai sudah sesuai peraturan yang berlaku baik secara awig-awig maupun hukum positif.
Penilaian ini disampaikan oleh Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Provinsi Bali. Namun demikian, penjelasan lebih lanjut masih akan dimutakhirkan beberapa waktu ke depan. Sebab saat ini tengah dilakukan pengumpulan sampel data di beberapa desa adat di lima kabupaten/kota yakni Denpasar, Badung, Klungkung, Gianyar, dan Tabanan.
Pengumpulan data dimaksudkan untuk melakukan kajian yang mencakup peran Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) dalam pengawasan desa adat. Studi kasus yang diangkat adalah praktik dudukan di desa adat.
Ni Nyoman Sri Widhiyanti, Kepala Perwakilan ORI Bali menjelaskan dudukan merupakan bentuk kontribusi terutama dari krama tamiu dan tamiu di suatu wilayah adat. Dudukan ini sudah diatur berdasarkan awig-awig dan pararem (petunjuk teknis) khusus dudukan yang dimiliki oleh desa adat masing-masing.
"Secara aturan dudukan ini sudah ada di awig-awig masing-masing desa adat yang kemudian diturunkan melalui pararem. Payung hukumnya juga sudah ada yaitu Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali," buka Sri ketika dijumpai di Kantor ORI Bali, Jalan Melati Nomor 14, Denpasar beberapa waktu lalu.
ORI Bali menyebut dudukan ini sebagai 'kontribusi' alih-alih menggunakan istilah 'pungutan' yang berkonotasi pungli. Dari penelaah sementara, ada dua faktor yang menyebabkan dudukan desa adat menjadi pergunjingan yakni besaran atau nominal dudukan dan ketidaktahuan tamiu.
Tamiu sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menyebut warga selain krama desa adat dan krama tamiu (masyarakat Bali beragama Hindu yang tidak mipil, tetapi tercatat di desa adat setempat). Tamiu sendiri dapat diartikan sebagai warga pendatang yang tinggal sementara di sebuah wilayah adat.
"Yang menjadi sorotan adalah besaran dudukan dan pertimbangan atau dasar mengapa dudukan diambil dengan nominal sekian. Karena besaran dudukan ini sangat bervariasi di masing-masing desa adat. Sementara warga pendatang tidak tahu soal dudukan dan tidak terlibat dalam paruman (rapat) desa adat," imbuh perempuan Bali kelahiran Cimahi, Jawa Barat 47 tahun silam.
Oleh karena itu, ORI Bali merekomendasikan agar dilakukan standardisasi terkait aturan dan petunjuk teknis dudukan. Selain itu, Perda Desa Adat juga sudah mengamanatkan prajuru desa adat agar mendaftarkan awig-awig dan pararem ke perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan desa adat, dalam hal ini Dinas PMA.
Akan tetapi, ORI Bali mendapati baru sekitar 100-an desa adat yang mendaftarkan awig-awig sejak Perda Desa Adat diundangkan pada 28 Mei 2019 silam. Sementara baru satu desa adat yang mendaftarkan pararem terkait dudukan yakni Desa Adat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung.
Hal ini menjadi catatan tersendiri bagi ORI Bali. Sebab, dengan tercatatnya peraturan yang dibuat desa adat, Dinas PMA dapat melakukan standardisasi dan penertiban terhadap peraturan adat yang berpotensi bertentangan dengan hukum positif dan norma.
Di samping itu, peran dudukan juga tidak bisa dipungkiri berkontribusi terhadap kegiatan adat. Mulai dari jagabaya (urusan keamanan) hingga biaya yadnya umum atau kegiatan adat lainnya. *rat
Komentar