Siapkah Guru Merespon Artificial Intelligence?
Perkembangan Artificial Intelligence (AI) akhir-akhir ini membawa efek sporadis, baik dalam berbagai diskusi hingga beragam testimoni dari para penggunanya. Pada bidang pendidikan, kehadiran generasi penerus search engine (google dan yahoo) ini diprediksi memberi pengaruh yang signifikan untuk mengubah budaya guru dan siswa dalam mengakses maupun mengolah informasi.
Penulis adalah Kepala SD No. 2 Penarungan, Guru Penggerak Kemdikbudristek, serta aktif menulis opini di berbagai media nasional dan lokal.
Hanya saja, dalam survei yang dilakukan menunjukkan sebagian besar guru belum tahu informasi tentang AI, termasuk cara mengaksesnya dan juga dampak dari AI tersebut.
Padahal AI memanjakan penggunanya dengan berbagai akses cepat, tepat, dan logis terhadap berbagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Salah satu aplikasi AI yang populer adalah ChatGPT yang bisa diakses melalui laman chat.openai.com. Pengguna cukup login dengan menggunakan akun email google dan melakukan verifikasi nomor Whatsapp, maka Chat GPT sudah siap menjadi asisten pribadi kita.
Kemudahan akses terhadap AI juga sekaligus tantangan besar untuk dunia pendidikan. Guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan harus paham betul bahwa AI berpotensi untuk membantu siswa belajar sekaligus juga memiliki peluang besar untuk disalahgunakan, utamanya dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam bentuk tes.
Sepintas ChatGPT ini mirip dengan google yang bisa memberikan informasi yang diperlukan oleh pengguna, namun dengan ChatGPT pengguna bisa mendapatkan informasi yang lebih luwes, tepat dan bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang memerlukan penalaran.
Penulis mencoba untuk akses ChatGPT dan meminta informasi terkait materi pembelajaran yang akan diajarkan di kelas, maka begitu pertanyaan diajukan, dalam hitungan detik berikutnya jawaban muncul dan juga disertai dengan alasan-alasan pendukungnya. Sebenarnya ini sangat membantu guru. Lalu bagaimana jika siswa melakukan hal yang sama?
Sebagai contoh, pada pembelajaran di SD yang membutuhkan penalaran, diajukan pertanyaan “Berapa luas persegi yang kelilingnya 80 cm?” Chat GPT langsung memberikan respon bahwa
“Untuk mencari luas persegi, kita perlu mengetahui panjang sisi persegi tersebut. Karena keliling persegi adalah 80 cm, maka panjang sisi persegi dapat dihitung dengan cara membagi keliling dengan jumlah sisi, yaitu:
sisi = keliling/4 = 80 cm/4 = 20 cm;
Setelah mengetahui panjang sisi, maka luas persegi dapat dihitung dengan cara mengalikan panjang sisi dengan lebar sisi, yaitu:
luas = sisi x sisi = 20 cm x 20 cm = 400 cm²
Jadi, luas persegi tersebut adalah 400 cm².”
Sangat fenomenal karena soal-soal semacam di atas merupakan permasalahan HOTS (higher order thinking skills) atau permasalahan yang memerlukan pemikiran tingkat tinggi yang level kognitifnya C4.
Tidak kalah dengan level C4, ChatGPT juga mampu menyelesaikan permasalahan level kognitif C6 yaitu mencipta. Instruksikan ChatGPT “Buatlah cerpen dengan tokoh utama Wawan dan bertema hormat terhadap orang tua dalam 1000 kata!”.
Beberapa saat kemudian muncullah cerpen yang dimaksud. Berikut kutipan jawabannya, "Wawan adalah seorang pemuda yang hidup di sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Ia hidup bersama keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, dan adik perempuannya. Meskipun mereka tidak memiliki kekayaan yang berlimpah, Wawan selalu merasa bahagia karena keluarganya selalu memberikan kasih sayang dan dukungan yang tidak terhingga (dan seterusnya)."
Benar saja kita disajikan cerpen yang tokoh utamanya Wawan sesuai dengan tema dan jumlahnya 1000 kata. Banyak lagi soal berlevel C4 hingga C6 yang bisa diselesaikan oleh ChatGPT ini, termasuk soal-soal di jenjang PAUD, SMP hingga SMA/SMK. Guru bisa mengambil sisi positif hadirnya AI karena bisa mempermudah pekerjaan, termasuk memerintahkan ChatGPT untuk menyusun soal. Namun, ada hal-hal yang harus diantisipasi guru menghadapi siswa agar tidak kecolongan.
Pertama, kurangi pembuatan soal standar. Lakukan asesmen secara otentik. Misalnya, soal-soal yang diberikan berbeda antara satu dengan yang lain sesuai dengan tempat tinggalnya, sehingga jawabannya diperoleh berdasarkan lingkungan tempat tinggal siswa tersebut.
Kedua, lakukan project baset learning (PjBL), perbanyak mengajak siswa melakukan aktivitas-aktivitas proyek yang menghasilkan sesuatu gagasan, kesimpulan atau produk berdasarkan permasalahan yang ditemukan di lapangan.
Ketiga, berikan siswa tugas-tugas yang bersifat relasional yang memupuk kerjasama. Ini dilakukan karena tugas-tugas yang bersifat relasional belum bisa diselesaikan oleh AI.
Keempat, kaitkan tugas dengan area sosial-emosional. Keterampilan seperti empati, kecerdasan emosional dan kemampuan untuk memahami serta mengekspresikan perasaan dan emosi adalah hal yang tidak dapat diwakilkan oleh teknologi AI.
Semoga respon lebih awal akan hadirnya AI akan membuat guru semakin siap dan sigap mengarungi kemerdekaaannya, tiada lain untuk mewujudkan merdeka mengajar. Hadirnya temuan baru pasti meninggalkan dua sisi positif dan negatif, tugas kita untuk memanfaatkannya sehingga tercipta ruang kolaboratif dan bermanfaat untuk menumbuhkan kualitas literasi secara holistik dan akseleratif, sembari mengejar ketertinggalan skor literasi Indonesia dari negara-negara tetangga.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Komentar